spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Revisi UU TNI Dinilai Berpotensi Kembalikan Dwifungsi Militer

JAKARTA – Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Wawan, mahasiswa yang menjadi korban Tragedi Semanggi I, mengkritik keras revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Dalam konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Senin (17/3/2025), Sumarsih mengingatkan revisi UU TNI berisiko menghidupkan kembali dwifungsi militer serta memperkuat impunitas aparat dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Ia menyoroti aturan yang memungkinkan perwira aktif TNI menempati jabatan sipil, yang menurutnya dapat membuka jalan bagi kembalinya militerisme dalam pemerintahan.

“Sejarah menunjukkan bahwa dwifungsi TNI pernah dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Kita tidak boleh membiarkan itu terulang,” ujarnya.

Sumarsih juga menyoroti lambannya penyelesaian pelanggaran HAM berat, baik di era Orde Baru maupun setelah Reformasi. Ia menegaskan hingga kini, tidak ada satu pun pelaku yang diadili secara tuntas.

“Sudah lebih dari dua dekade, tapi keadilan masih belum ditegakkan. Para pelaku tetap kebal hukum,” katanya.

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM selama ini hanya menjadi simbol tanpa implementasi nyata.

Ia mencontohkan kasus Tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan peristiwa lainnya yang hingga kini masih belum menemukan kejelasan hukum.

Lebih lanjut, Sumarsih juga mengecam tindakan hukum terhadap aktivis yang memprotes revisi UU TNI dalam rapat di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 15 Maret 2025.

Ia menegaskan bahwa aksi tersebut adalah bagian dari hak demokratis warga negara untuk menyampaikan pendapat dan mengawasi kebijakan pemerintah.

“Menolak revisi UU yang mengancam demokrasi bukanlah tindakan kriminal. Itu hak warga negara,” tegasnya.

Ia juga mengkritik sikap negara yang cenderung membungkam kritik melalui jalur hukum, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi.

“Negara seharusnya menjamin kebebasan berpendapat, bukan justru melaporkan mereka yang bersuara kritis,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia meminta pihak Hotel Fairmont memahami bahwa aksi protes pada 15 Maret adalah bagian dari ekspresi demokrasi, bukan pelanggaran hukum.

Di akhir pernyataannya, Sumarsih mendesak pemerintah dan DPR untuk membatalkan revisi UU TNI yang dinilai berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer dan memperkuat impunitas aparat.

“Kami tidak ingin masa kelam kembali. Reformasi harus tetap dijaga,” tutupnya.

Pewarta : M Adi Fajri
Editor : Nicha R

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.

62.1k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img