DALAM beberapa dekade, sistem dan proses komunikasi terus mengalami perubahan disertai dengan hadirnya new media (media baru) sebagai sarana pendukung dalam proses penyebaran informasi.
Komunikasi berperan aktif di dalam proses interaksi sosial yang terjadi pada seluruh lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk dapat menciptakan kebersinambungan dan memperluas informasi untuk didistribusikan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya pengecualian dan ketidakadilan yang dimungkinkan dapat terjadi.
Sistem komunikasi memiliki berbagai macam bentuk dan fungsinya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, tak terkecuali di desa. Sistem Komunikasi Masyarakat Desa (SKMD) atau lebih dikenal dengan Sistem Komunikasi di Pedesaan adalah sistem komunikasi di masyarakat yang entah sadar atau tidak telah berjalan dengan sendirinya, seolah-olah menjadi kesepakatan di antara mereka.
Kebanyakan dari mereka melakukan komunikasi secara langsung atau lisan dengan berbagai saluran seperti arisan, pengajian, penyuluhan, duduk-duduk di depan rumah dan lainnya mengikuti kebiasaan daerah setempat, dilansir dari laman website p2k.stekom.ac.id.. Komunikasi ini hadir sebagai jembatan antara pemerintah dengan mereka yang kurang memiliki akses lebih luas terhadap masifnya gelombang informasi yang terjadi, di mana segala informasi hadir tak terbendung hingga melahirkan misinformasi, mispersepsi, dan miskomunikasi.
Sistem komunikasi di pedesaan memiliki ciri khasnya sendiri, dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia oleh Nuruddin menyebutkan, salah satu yang paling mencolok yaitu, komunikasi yang terjadi lebih banyak dilakukan dengan komunikasi antarpersona yang diakibatkan oleh minimnya kepercayaan yang tumbuh pada masyarakatnya terhadap media luar dan menyerahkan seluruh kepercayaan yang dimiliki kepada pemimpin desa, dalam bidang akademis biasa kita kenal dengan pemimpin opini (opinion leader).
Komunikasi desa merupakan salah satu proses komunikasi yang secara simultan terjadi guna mencapai kesatuan tujuan dari masyarakat setempat, tak terkecuali pada tiga daerah di Kalimantan Timur yang belakangan ini menjadi sorotan dengan kilatan peristiwa yang terjadi di sana mengenai hadirnya pertambangan ilegal dan penggusuran PKL lebih tepatnya, yaitu Kelurahan Makroman di Sambutan, Kecamatan Sanga-Sanga di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pasar Pagi di Kecamatan Samarinda Kota.
Berbicara mengenai kedua daerah yakni Makroman dan Sanga-Sanga yang tidak luput dari jangkauan industri ekstratif, salah satunya yaitu pertambangan ilegal, Kementerian ESDM RI dalam diksi lain menyebut PETI (Pertambangan Tanpa Izin) adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RT-RW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air apabila berada di dekat pemukiman.
Makroman Kian Tertelan
Ketiga daerah tersebut memiliki karakteristik permasalahan yang cenderung sama dan sangat disoroti oleh masyarakat saat ini. Di Makroman sendiri, merupakan daerah penghasil padi dan hampir seluruh warga hidup dan bekerja mengandalkan sektor pertanian, hadirnya pertambangan ilegal menjadi momok yang kian hari menguasai seluruh lini kehidupan warga di sana, di Sanga-Sanga sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi dan batu bara, juga memiliki banyak ukiran-ukiran lubang sebagai tanda terjadinya pertambangan ilegal maupun pengeboran minyak oleh Pertamina, dan di Pasar Pagi telah terjadi penggusuran PKL (Pedagang Kaki Lima).
Persoalan ini turut menjadi sorotan para akademisi, tidak terkecuali oleh penulis yang mengangkat fenomena ini untuk kemudian dikaji dari aspek komunikasi antara warga setempat dengan pemerintah juga beberapa pihak terlibat. Karena banyak permasalahan yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi, ketidakefektivan juga keefisienan media komunikasi sebagai sarana utama menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan bersama.
Sistem komunikasi di pedesaan sendiri dapat diakui kurang memberi jalan baru untuk banyaknya informasi yang semakin masif. Seperti yang terjadi di Kelurahan Makroman sendiri, diketahui bahwa telah terjadi penambangan ilegal yang secara terang-terangan mengambil alih lahan pertanian tempat warga bertumpu, menjahit benang kehidupan.
Kegiatan pertambangan yang legal menurut penuturan warga setempat bermula di tahun 2008 yang dilakukan oleh CV Arjuna, namun tetap memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan warga dan berhenti di tahun 2018. Kemudian, tak berselang lama para penambang, khususnya yang ilegal kembali muncul silih berganti.
Penambangan ilegal beroperasi sejak 11 Juli 2022, lalu masuk ke dalam kawasan pertanian warga, jelas Baharuddin Ketua Kelompok Tani “Tunas Muda” sampai dengan tulisan ini diunggah. Menurut observasi penulis, para penambang secara ilegal masuk ke wilayah Makroman setelah melihat potensi tambang yang ada.
Dari sisi warga sendiri juga menyebutkan bahwa mereka secara lugas mengambil alih lahan pertanian tanpa adanya perjanjian mengenai kompensasi dan reklamasi, pasalnya lahan sawah yang hilang karena aktivitas lancang tersebut mencapai 10 hektare (ha). Tumpukan batu bara secara jelas terlihat, namun sangat disayangkan petugas yang berwenang enggan untuk bergerak mengamankan dan menghentikan aktivitas ilegal tersebut.
Bagaimana Komunikasi yang Terjalin antara Warga dengan Pemerintah?
Dalam buku Nuruddin, Sistem Komunikasi Indonesia menyebutkan bahwa terdapat tiga media yang sangat berpotensi dalam menyebarkan informasi untuk masyarakat di pedesaan, yakni Koran Masuk Desa – KMD (koran kota yang dikelola dan dicetak di kota untuk masyarakat desa), Media Rakyat – MR (Media profil pedesaan dari, oleh, dan untuk rakyat pedesaan), Media Tradisional – MT (Alat komunikasi yang sudah lama digunakan di suatu tempat sebelum kebudayaannya tersentuh oleh teknologi modern dan sampai sekarang masih digunakan di daerah itu), dan hadirnya seorang juru penerang dan atau penyuluh pembangunan di desa.
Dilihat dari beragamnya media yang dapat digunakan sebagai penyaluran informasi, penulis melakukan observasi dengan turun ke lapangan dan bertanya kepada seseorang yang memiliki andil di sana, yaitu Baharuddin, Ketua Kelompok Tani “Tunas Muda” di desa Makroman, menyebutkan bahwa tidak ada program Koran Masuk Desa (KMD) dikarenakan mayoritas warga di sana buta huruf, perlu diketahui bahwa KMD adalah salah satu program yang dirancang pemerintah untuk membangun partisipasi masyarakat desa dalam Indonesia yang lebih baik.
Sebab problematika buta huruf, program KMD yang dicanangkan pemerintah dianggap tidak memungkinkan dan tidak efisien untuk masuk atau diimplementasikan dalam aktivitas warga di sana.
Lebih lanjut, kehadiran seorang penyuluh yang datang sebagai “wakil pemerintah” tidak membawa hasil yang baik karena antusias yang rendah dari masyarakat. Seharusnya penyuluh-penyuluh ini datang dengan analisis media yang baik agar cara yang digunakan bisa menarik daya minat masyarakat.
Selain itu, berdasarkan pengakuan dari warga, penyuluh yang datang tidak memahami dan peka dengan situasi di lapangan. Misalnya, ketika ada penyuluhan terkait penggunaan pupuk organik pada para petani, padahal dalam kenyataannya menggunakan pupuk kimia saja tingkat keberhasilan mereka minim.
Dilain sisi, warga juga merasa tidak adanya arahan dan pengajaran yang diberikan untuk menggunakan pupuk tersebut. Hal lainnya yang disoroti mereka, ialah tidak adanya penyuluhan terkait penggunaan obat ke padi yang mendapat efek dari aktivitas tambang. Padahal, ini menjadi salah satu permasalahan penting dan krusial yang mempengaruhi ekonomi warga Desa Makroman.
Padahal, sangat jelas dikatakan oleh Everet M. Rogers, penyuluh adalah seorang yang atas nama pemeirntah atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhan untuk mengadopsi inovasi. Para penyuluh kurang memiliki adanya sikap seperti, keterbukaan, empati, kepositifan, dukungan, dan kesamaan di dalam menyosialisasikan kebutuhan desa terkait.
Salah seorang warga juga mengatakan, memang telah banyak penyuluhan dilakukan, namun fokus mereka saat ini terletak pada aktivitas penambangan ilegal yang di mana dengan hadirnya penyuluhan yang diberikan pun sampai saat ini belum dapat mengubah keadaan terhadap permasalahan tersebut dan lahan pertanian mereka tempat membangun kehidupan akan tetap rusak.
Pemerintah tak Mendengar, Warga Semakin Bingar
Menghadapi permasalahan tersebut, warga semakin vokal dalam menyuarakan hak-hak hidup mereka, tempat tinggal yang kini ditempati rasanya tak lagi aman untuk dapat berlindung di hari tua nanti. Berbagai media komunikasi dirasa sudah tidak efektif, salah satunya peran dari pemerintah daerah yang seharusnya menjadi telinga untuk mereka kini diam membisu dan bungkam seribu bahasa tanpa kata.
Warga mengatakan pemerintah bahkan tidak tahu menahu tentang persoalan ini, menurut penuturan warga setelah berkomunikasi dengan penulis di lapangan, wargalah yang tahu secara keseluruhan dibanding pemerintah. Di sini, tampak bagaimana komunikasi yang terjalin tidak menunjukkan adanya kesatuan tujuan dan belum sepenuhnya berjalan dengan baik dan lancar, baik pemerintah maupun masyarakat masih kurang paham mengenai beberapa standar operasional sebuah kebijakan, padahal itu adalah hal penting yang harus dipahami secara luas (Gemiharto, I., & Juningsih, E. R., 2021).
Belum adanya upaya berpengaruh dari pihak pemerintah atas berbagai aduan yang telah disuarakan oleh warga Makroman, padahal komunikasi seharusnya saling memengaruhi seperti yang dikemukakan oleh Shannon & Weaver. Hal tersebut senada dengan pernyataan Aristoteles yakni tujuan komunikasi pada umumnya bersifat persuasi, maksudnya di sini komunikator berupaya untuk mengajak komunikannya agar masuk dalam sudut pandang dirinya.
Kembali pada penuturan warga, mereka semakin lelah dalam menyuarakan permasalahan ini karena tidak ada lagi pihak yang mendengar di dalam berkomunikasi terkait dengan perlawanan warga terhadap para penambang ilegal. Hal itu dibuktikan dengan masih beroperasinya tambang ilegal di Desa Makroman hingga saat ini.
Di sisi lain, desas-desus mengenai perbedaan pendapat antara warga dan ketua RT setempat juga menjadi perbincangan kami. Warga mengatakan RT baru yang ada saat ini lebih pro terhadap perusahaan tambang tersebut. Kerja sama dari perusahaan yang kerap diterima begitu saja oleh RT baru menjadi alasan mereka hampir menyerah akan hal ini.
Selain RT, beberapa warga lain juga sering melakukan transaksi penjualan lahan dengan perusahaan. Padahal menurut mereka, dampak yang akan diberikan dari banyaknya pengerukan lahan disana akan dirasakan oleh semua petani Desa Makroman. Polemik ini tentu merugikan bagi warga yang kontra terhadap penambangan ilegal.
Dapat dilihat kembali, bahwa peran RT yang seharusnya sebagai pemimpin dalam lingkup kecil diharapkan dapat menggerakkan warga, yang terjadi adalah sebaliknya. Hal ini dapat menjadi ciri bahwa komunikasi yang kurang baik telah menjadi kebudayaan yang mengakibatkan pada kesenjangan dan ketidakjelasan informasi yang hadir.
Sistem kemasyarakatan yang merupakan buah dari proses komunikasi seharusnya berjalan sesuai dengan norma-norma yang berlaku tanpa adanya tuntutan dari pihak tertentu sebagai jalan pemuas kebutuhan mereka secara eksklusif. Kuranganya sistem pengetahuan yang hadir di Makroman menjadikan beberapa warga turut mengiyakan persoalan tambang ilegal ini, mereka merasa bahwa cukup dengan patuh kepada RT dengan menyetujui aktivitas tersebut akan mendapatkan imbalan yang setimpal, namun kenyataan ini perlu ditelan pahit-pahit dikarenakan sejak hadirnya aktivitas tambang legal maupun ilegal tidak pernah ada kompensasi maupun solusi lain yang diberikan. Nyatanya, permintaan warga kerap dianggap sebagai kebutuhan tidak penting.
Baharuddin, Ketua dari salah satu Kelompok Usaha Tani “Tunas Muda” juga turut mengatakan hal serupa bahwa mereka seringkali mengadakan aksi kampanye menolak adanya penambangan ilegal tersebut, namun lagi-lagi tidak mendapatkan respon yang baik dari aparat berwenang. Dilansir dari laman website korankaltim.com, Baharuddin turut memaparkan, “Kami sudah membuat laporan pada 8 Agustus kemarin ke Polresta Samarinda, setelah kami laporkan, memang sempat berhenti sekitar 4 hari,” kata Baharuddin. “Setelah 4 hari, mereka kembali beroperasi, malah ini bergerser ke wilayah kelompok tani lainnya,” ungkapnya.
Meski semangat para warga kian memudar, Baharuddin tetap teguh pada pendirian yang dimiliki untuk terus mempertahankan tanah Makroman. Dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki, memiliki empati besar, dan adanya kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas) yang terbentuk dalam dirinya, hal tersebut dipicu dari banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh hadirnya aktivitas penambangan ilegal batu bara ini, salah satunya berdampak bagi lingkungan sekitar, sebab limbah air tambang telah masuk ke lahan persawahan warga.
Hal tersebut sangat mengganggu keberlangsungan aktivitas warga setempat. Warga di sana hanya berharap dengan terus bersuara, permasalahan ini dapat menemukan jalan baru dan solusi atas apa yang terjadi. Mereka sangat berharap pihak penambang dapat setidaknya memfasilitasi mereka untuk tetap mengurus lahan pertanian salah satunya dengan cara, pembagian batu kapur yang dapat meminimalisir kerusakan air yang telah tercemar oleh aktivitas tambang ilegal tersebut. Baharuddin terus berusaha meyakinkan dan mengajak warga untuk tetap memperjuangkan tanah mereka dan mengembalikan Makroman dengan hijau pertaniannya yang menjadi penopang hidup warga setempat.
Sanga-Sanga, Tak Ada Harga Batu Bara Seharga Nyawa
Selain pengkajian mengenai sistem komunikasi yang berkaitan dengan penambangan yang terjadi di wilayah Makroman, penulis juga berusaha mengulik mengenai sistem komunikasi yang terjadi dalam permasalahan pertambangan ilegal di Kecamatan Sanga-Sanga.
Sanga-Sanga sendiri merupakan sebuah kecamatan yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memiliki luas wilayah 233,4 km kubik, yang dibagi dalam 5 kelurahan, dengan total penduduk mencapai 11.855 jiwa (2005). Salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya alam, berupa minyak bumi yang sangat diperlukan di Kalimantan Timur sejak sumur minyak Louise untuk pertama kalinya mulai berproduksi pada tahun 1897.
Bukan hanya minyak, potensi batu bara kerap digandrungi oleh perusahaan tambang sejak 2003 silam. Sehingga, awal mula kehancuran Sanga-Sanga bukan hanya dipicu oleh sebuah perusahaan minyak, tetapi juga tambang batu bara yang masuk pada tahun 2006, yakni CV Surya Bersinar. Pengoperasian perusahaan tersebut berlangsung sekitar 5 tahun, hanya sampai 2011 sebab buah manis perjuangan warga dalam merombak kondisi struktural yang rusak akibat pengisolasian oleh perusahaan tambang yang tidak memiliki prestise akurat (legal atau ilegal).
Hal tersebut dikonfirmasi oleh Zainuri, selaku ketua RT 24, bahwa pada 2003 silam, pernah ada cikal bakal perusahaan tambang, diyakini bahwa itu adalah CV Surya Bersinar, dengan menyematkan delegasi perusahaan yang turun ke lokasi, yakni area yang digandrungi akan potensi batu baranya, tepatnya di RT. 24.
Dengan berbekal pengetahuan seadanya dalam memproses informasi yang dilancarkan perusahaan, janji-janji perusahaan yang akan mempertanggung jawabkan kerusakan ekologi akibat tambang, janji untuk membuatkan waduk, membangunkan jalan, dan mengembalikan lahan bekas pakai, serta permintaan izin atau penyuluhan perusahaan kepada warga yang tidak berwenang karena dalam SK Bupati, RT. 24 termasuk dalam Kelurahan Sarijaya, padahal di Kartu Tanda Penduduk, mereka termasuk dalam Kelurahan Sanga-Sanga dalam.
Akibat 90% warga Sanga-Sanga yang tidak kooperatif akan bencana di Sanga-Sanga dalam, mereka turut menandatangani surat perizinan itu. Peristiwa tersebut berlangsung kembali setelah PT. Sanga-Sanga perkasa hadir pada 2012 hingga 2014, dengan membawa janji akan memperbaiki kondisi ekologi yang telah dihancurkan atau dirusak oleh CV Surya Bersinar. Pada awalnya, kinerja dan janji Sanga-Sanga perkasa terpenuhi, dengan melakukan penggarapan parit-parit, dan banyak bantuan lainnya yang dilakukan untuk keberlangsungan hidup warga, sehingga pada selang waktu 2 tahun tersebut, warga RT.24 merasa aman, namun sayangnya, PT. Sanga-Sanga Perkasa kembali mengulang kesalahan perusahaan sebelumnya, dengan enggan bertanggung jawab, dan lagi-lagi meninggalkan kerusakan di RT.24.
Akibat yang Menyiksa Rakyat
Akibat dari berbagai aktivitas tambang yang dilakukan dan minimnya upaya pertanggungjawaban dari pihak perusahaan tambang untuk memperbaiki kerusakan alam, menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan sekitar. Menurut pandangan salah satu narasumber yang penulis wawancarai, yaitu Ibu Sarijena sebagai salah satu perempuan yang turut serta berperan dalam perjuangan dan advokasi di wilayah RT. 24 Sanga-Sanga.
Ia mengatakan bahwa sebelum adanya aktivitas pertambangan masuk ke dalam desa, air sumur yang dimilikinya menjadi sumber air utama yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum dan keperluan konsumsi lainnya tanpa perlu diolah sebelumnya, tetapi sejak masuknya perusahaan tambang di sana membuat sumber air sumur tersebut terkontaminasi/tercemar menjadi kuning dan berbau karat yang mengakibatkan air tersebut menjadi tidak layak untuk keperluan konsumsi lagi.
Selain itu, air yang sudah terkontaminasi sangat bahaya apabila digunakan masyarakat khususnya perempuan untuk membersihkan bagian-bagian sensitif di tubuhnya. Karena bisa saja air tersebut telah terkontaminasi oleh zat, bakteri ataupun senyawa kimia seperti arsenik, nitrat, dan merkuri, dan lain – lain.
Selain dalam hal kesehatan, menurut ibu Sarijena dalam konflik ini juga terdapat dampak sosial berupa ketimpangan gender yang dialami oleh perempuan, berupa beban ganda yang diterima perempuan setelah adanya konflik tambang di wilayah ini, seperti pada saat mengerjakan pekerjaan domestik, menyelesaikan permasalah bencana alam dan lain sebagainya.
Selain berdampak pada sumber air bersih, sebuah gorong-gorong perusahaan CV Surya Bersinar yang berfungsi sebagai tempat penampungan air untuk penyiraman pun juga pernah memakan tiga korban jiwa dan menjadi ancaman serta skeptis bagi warga sekitar.
Sehingga, seringkali warga meminta untuk menutup gorong-gorong tersebut dan memberikan pengamanan berupa pagar di area bekas kerokan tambang. Hadi Mulyadi selaku Wakil Gubernur pun turut meninjau dan menjanjikan pembangunan, tetapi hingga saat ini janji manis itu tidak termanifestasikan.
PT. Sanga-Sanga pun tidak ada bedanya, bendungan lumpur bekas tambang pun kerap memicu bencana di sana, pasalnya, ketika bendungan itu bocor, dengan lokasi yang berada di atas perbukitan dan dekat dengan mata air warga, sehingga menyebabkan tanah longsor akan lumpur-lumpur bekas tambang dan mencemari mata air dan perkebunan. Warga juga seringkali mengajukan surat kerugian dan meminta pertanggung jawaban perusahaan, benar saja, segala kerugian perkebunan pun diganti namun dengan pungli yang tinggi juga, jadi tidak benar-benar membantu warga.
Selain itu, Sanga-Sanga kerap ditimpa bencana akibat kekayaan sumber daya alam minyaknya, melalui tangan-tangan PT. Pertamina. Pertamina juga kerap melakukan penyuluhan yang banyak mengumbar janji manis berupa merunding beberapa hal terkait kompensasi, berupa 16 sapi beserta kandangnya yang pada tahun 2017 dibanderol harga Rp10.000.000,00 sehingga total dari semuanya adalah Rp160.000.000,00, dengan pembagian hasil berupa 30% untuk pemelihara/ternak, dan 50% untuk kelompok, ambulans, excavator mini, serta penawaran harga beli batu bara, RP30.000,00/ tonnya.
Namun, selaku ketua RT, Zainuri mengambil Langkah tegas dengan mendeportasi kompensasi yang dianggap sebagai bentuk grativikasi. Langkah tersebut diemban, sebab Pertamina lebih banyak menyumbangkan dampak negatif pada warga, selain kilang-kilang minyak yang mencemari lahan, dan aliran air warga.
Tidak hanya itu, Pertamina kerap mengintimidasi warga dengan seringkali membendung fasilitas warga berupa jalanan yang diportal, sehingga menyulitkan distribusi warga. Bahkan, tiap kali pihak Rukun Tetangga berusaha memberhentikan tindakan sewenang-wenang ini, kerap kali diserang dengan bertubi ancaman, bahkan Pertamina seringkali meninjau warga bahwasannya 90% warga tidak memiliki hak akan tanah dan tidak memiliki sertifikat tanah, dilansir bahwa tanah RT. 24 adalah tanah milik Pertamina (BUMN) sejak zaman Belanda.
Pertamina kerap melancarkan tindakannya ini dengan banyak memberikan bantuan sembako kepada warga, beberapa warga menyadari bahwa hal tersebut dilakukan Pertamina guna membungkam suara warga karena merasa mendapatkan keuntungan dari mereka.
Upaya Komunikasi Warga Kepada Pemerintah Terkait Aktivitas Pertambangan
Zainuri, selaku ketua RT yang menjabat di wilayah RT. 24, berperan aktif dalam menyuarakan hak-hak warganya yang menuntut lingkungan bersih dan sehat serta terbebas dari penambangan yang terjadi. Berbagai upaya terus-menerus dilakukan untuk menyuarakan perlawanan terhadap aktivitas pertambangan di wilayah tersebut, mulai dari aksi massa, aksi damai, aksi kreatif melalui media, aksi penutupan jalan dan lain sebagainya yang dalam hal ini juga masyarakat banyak dibantu oleh rekan mahasiswa dan organisasi atau lembaga seperti JATAM, LBH dan lain-lain.
Salah satu bentuk unjuk rasa yang dilakukan oleh warga RT. 24, yakni mengenai penolakan pengoperasian kembali PT. Sanga-Sanga Perkasa yang telah dihentikan semenjak tahun 2014. Namun secara tiba-tiba, pada 9 April 2018, operasional PT. Sanga-Sanga Perkasa kembali aktif dengan masa berlaku selama 5 tahun dan telah mengantongi restu Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kaltim.
Padahal saat itu PT. Sanga-Sanga Perkasa belum melengkapi dokumen-dokumen perizinan operasional pertambangan. Perwakilan warga berupaya melayangkan laporan terhadap PT. Sanga-Sanga Perkasa kepada Polda Kaltim atas dugaan tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan, serta fakta bahwa perusahaan tersebut belum mengantongi surat izin lingkungan menjadi alasan kuat dilayangkan nya laporan ini. Perwakilan warga juga menemui Wakil Gubernur, Hadi Mulyadi, untuk mendesak Pemprov Kaltim dan Pemerintahan Kukar untuk menolak penerbitan izin lingkungan terhadap perusahan tersebut.
Warga meminta kejelasan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertambangan terhadap status penambangan oleh PT. Sanga-Sanga di wilayah RT. 24, mengingat telah dihentikannya aktivitas pertambangan perusahaan tersebut sejak 2014. Pada 2018 ratusan warga RT. 24 kelurahan Sanga-Sanga menggelar upacara HUT Kemerdekaan RI ke-73 di kawasan konsesi tambang milik PT. Sanga-Sanga Perkasa sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap masuknya perusahaan tambang. Sehingga pada 2019, Dinas Lingkungan Hidup bersama Dinas Perizinan Kabupaten Kukar akhirnya menerbitkan surat penolakan izin terhadap PT. Sanga-Sanga Perkasa untuk beroperasi.
Namun, tampaknya surat tersebut hanya dianggap angin lalu saja oleh PT. Sanga-Sanga Perkasa, sehingga aktivitas penambangan masih terus berlanjut. Hal ini mengakibatkan memuncaknya amarah warga sekitar. Pada Senin, 17 Januari 2022, Zainuri beserta warganya kembali melakukan aksi protes di depan kantor kecamatan Sanga-Sanga.
Mereka memprotes adanya aktivitas tambang oleh CV Sanga-Sanga Perkasa setelah dicabut izin operasionalnya oleh Pemprov Kaltim. Zainuri mengatakan, pada 15 Januari 2022, terdapat tiga buah unit alat berat milik perusahaan SSP masuk ke wilayah RT. 24 yang telah siap beroperasi dan disebut-sebut hendak menambang emas hitam. Produksi pertambangan oleh PT. Sanga-Sanga Perkasa masih tetap dilanjutkan hingga saat ini, karena perusahaan tersebut merasa telah mengantongi izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kaltim.
Warga menyayangkan tindakan pemerintah yang dinilai tidak tanggap dan hanya berpaku pada berkas yang ada serta kurangnya kajian mendalam sebelum diberikannya perizinan aktivitas pertambangan pada PT. Sanga-Sanga Perkasa.
Setelah pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan masih tumpang tindihnya komunikasi yang terjadi, warga melakukan perlawanan namun nyatanya pemerintah daerah pun tidak lagi bergerak membantu warga. Zainuri merupakan salah satu kekuatan warga untuk terus memperjuangkan hak-hak hidup mereka di tengah carut-marut tempat hidup yang mereka tinggali. Pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan dalam penabung suara warga.
Perlawanan silih berganti oleh para oknum penambang, tak lagi memikirkan bagaimana kehidupan warga, namun keuntunganlah yang menjadi tujuan mereka saat ini. Komunikasi yang efektif tidak dapat terbentuk jika di dalamnya terdapat intervensi dan adanya rasanya eksklusifitas pada sebelah pihak.
Pasar Pagi, Kenyataan Pahit Bagi Para Pengais Rezeki
Sama halnya dengan Makroman dan Sanga-Sanga, penulis kembali mengkaji sistem komunikasi yang terjadi di Pasar Pagi, yaitu pasar tertua di Kota Samarinda yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Samarinda Kota, Provinsi Kalimantan Timur.
Pengkajian sistem komunikasi di Pasar Pagi kali ini dikaitkan dengan peristiwa “penertiban”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, penertiban adalah perbuatan, hal yang menertibkan, proses, pembuatan atau cara menjadi tertib. Penertiban adalah suatu proses pengaturan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik (Wibowo, 2007:2).
Di Pasar Pagi sendiri, pedagang kaki lima (PKL) kerap kali mengalami “penertiban” atau yang biasa disebut penggusuran oleh masyarakat. Untungnya, beberapa kali aksi penertiban tersebut dapat dicegah dan dihentikan dengan adanya pergerakan dan penolakan dari masyarakat. Salah satu contohnya terjadi sekitar tahun 2010 pada masa pemerintahan Drs. H. Achmad Hamins, M.M. sebagai wali kota Samarinda. Saat itu, para PKL melakukan rapat yang dipimpin oleh Alm. H. Ali Haang (Ketua Dermaga Mahakam Ilir).
Kemudian, mereka melakukan aksi atau demonstrasi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Samarinda agar tetap diizinkan berjualan di Pasar Pagi. Aksi tersebut berujung pada keputusan wali kota yang memberi mereka izin untuk berjualan kembali di Pasar Pagi dan situasi pun kembali normal seperti semula. Apa yang dilakukan oleh Alm. H. Ali Haang ini dapat kita kaitkan dengan opinion leader.
Opinion leader sendiri merupakan orang yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau mempersuasi orang disekitarnya (Katz & Lazarsfeld, 1955). Dalam kasus ini, Alm. Ali berperan sebagai opinion leader yang memimpin perkumpulan para PKL dalam menyuarakan aspirasi mereka agar tidak digusur dan berujung pada keputusan bahwa mereka boleh berjualan kembali seperti semula. Alm. Ali memiliki kriteria dari seorang opinion leader (Rogers, 1983), yaitu; seseorang/individu yang menonjol di dalam masyarakat dan memiliki status sosial yang lebih tinggi (Dalam hal ini, Alm. H. Ali Haang adalah seorang ketua dermaga Mahakam Ilir).
Tidak Semua “Penertiban” Dapat dihentikan dengan Aksi Unjuk Rasa
Meskipun penggusuran pada 2010 lalu dapat dihentikan setelah adanya aksi demo dari para PKL yang dipimpin oleh Alm. H. Ali Haang, tidak menjamin bahwa penggusuran tidak akan datang dikemudian hari dan dapat dicegah kembali. Seperti penggusuran yang terjadi pada tahun 2011 yang mana dinilai sebagai penggusuran yang paling parah. Saat itu, semua instansi dan aparat keamanan seperti Tentara, PNS, dan Satpol PP bekerja sama dalam pembongkaran PKL di pasar pagi dengan menggunakan senso (gergaji mesin).
Pembongkaran tersebut bertujuan untuk penataan keindahan kota. Selain itu, penyebab lain yang menjadi alasan utama penggusuran ialah karena salah seorang pedagang yang tidak tahu bahwa perbuatannya ternyata dilarang, sehingga pedagang membuat petakan semen pada jualannya. Hal ini membuktikan bahwa minimnya pemahaman dan penyuluhan dari pemerintah terhadap masyarakat khususnya para PKL serta kurangnya komunikasi yang ada antara pemerintah dan masyarakat.
Dalam sistem komunikasi saat ini, khususnya di era digital dimana semua masyarakat telah menggunakan media sosial, sangat mudah untuk menyebarkan informasi-informasi apa saja kepada masyarakat. Salah satunya, informasi mengenai tata tertib dan penataan kota. Selain itu, untuk memastikan informasi dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dapat menerapkan salah satu sistem komunikasi pedesaan yaitu penyuluhan.
Dalam kasus penggusuran PKL di Pasar Pagi ini, penyuluhan dapat diselenggarakan dengan cara menjadwalkan pertemuan untuk seluruh PKL dan masyarakat setempat mengenai aturan-aturan yang ada dan lokasi-lokasi yang memang tidak boleh ditempati sekaligus memberikan solusi dan pencerahan kepada masyarakat yang ada dan para PKL untuk mencoba cara baru dalam berjualan, seperti dengan memanfaatkan media sosial.
Penggusuran PKL di Pasar Pagi Pada Tahun 2011
Jika dilihat dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja pasal 2 ayat (5) mengenai teknis persiapan operasional ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, seharusnya ada 7 tahapan yang dilalui sebelum proses penertiban itu terjadi.
Pertama, pemberian teguran pertama kepada pelanggar. Kedua, pemberian teguran kedua apabila teguran pertama tidak diindahkan dalam waktu tiga hari. Ketiga, pemberian teguran ketiga apabila teguran kedua belum diindahkan setelah tiga hari. Keempat, pemberian surat peringatan pertama untuk menertibkan sendiri dalam waktu tujuh hari apabila teguran ketiga belum diindahkan setelah tiga hari. Kelima, pemberian surat peringatan kedua untuk menertibkan sendiri selama tiga hari. Keenam, pemberian surat peringatan ketiga untuk menertibkan sendiri selama satu hari. Ketujuh, pemberlakukan tindakan penertiban secara paksa apabila hingga surat peringatan ketiga belum juga diindahkan.
Namun pada kenyataannya di lapangan, proses penertiban pedagang kaki lima tidak sepenuhnya sama dengan apa yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja pasal 2 ayat (5).
Dari penuturan Ibu Hadariah, salah satu PKL di Pasar Pagi, penulis mengetahui bahwa Satpol PP telah memberikan himbauan terkait penggusuran tersebut kepada PKL namun tidak digubris. Para PKL tetap berjualan dengan berbagai strategi agar tidak ketahuan dari Satpol PP yang sering melakukan patroli. Hal tersebut mereka lakukan karena hanya itulah sumber penghasilan yang mereka punya untuk menyambung hidup. Namun, sayangnya setelah tiga kali mendapat teguran, penggusuran pun terjadi.
Menanggapi kejadian tersebut, para PKL mendirikan paguyuban/organisasi yang bernama Serikat Pedagang Kaki Lima Menggugat. Atas nama paguyuban tersebut, mereka melakukan perlawanan dan meminta perlindungan ke kantor DPRD Samarinda namun tidak digubris. Tak hanya itu, mereka pun sempat memberi uang sejumlah 150 ribu kepada Satpol PP selama setahun, namun tetap saja digusur. Mereka juga sempat dpindahkan ke daerah Karang Asam. Akan tetapi lokasi tersebut dinilai tidak strategis akibat kurangnya pembeli. Oleh karena itu, para PKL bersikeras untuk mempertahankan tempat mereka di Pasar Pagi.
Begitu amat pentingnya lokasi tersebut untuk mereka berdagang hingga membuat Pak Sugeng (salah satu PKL di Pasar Pagi) selalu memberontak apabila terjadi penggusuran. Berkali-kali beliau bahkan mendatangi kantor DPRD Samarinda sendirian namun sayangnya tidak pernah digubris.
Akhirnya, dengan dibantu oleh mahasiswa, para PKL melakukan aksi untuk menghalangi penggusuran. Namun, meski sudah dihalangi hingga terjadi kericuhan yang menyebabkan sebagian orang-orang dari kedua belah pihak terluka, penggusuran tetap terlaksana.
Dilansir dari kalimantan-news.com, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Geram (Gerakan Rakyat Menggugat), dan PKL menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Samarinda untuk menyampaikan aspirasi agar anggota dewan mau memfasilitasi pertemuan antara PKL dan pihak Pemerintah Kota Samarinda guna mencari solusi yang tepat agar PKL tetap bisa berjualan di kawasan Pasar Pagi dan dilindungi secara hukum dari sikap arogansi Satpol PP dan aparat hukum lainnya.
Pihak Front Geram mengaku bahwa mereka mendukung kebijakan Pemerintah terkait penataan kota. Namun, menurut mereka pemerintah tidak harus mengorbankan rakyat kecil dan seharusnya tetap memberi mereka kesempatan untuk berjualan ditempat semula, tidak semata-mata menggusur dagangan mereka tanpa solusi dan relokasi yang mengakibatkan hilangnya sumber penghasilan/mata pencaharian warga kecil. Para PKL di Pasar Pagi pun berharap agar mereka dapat berdagang dengan aman tanpa adanya gusuran dari pihak pemerintah.
Merajut Asa Untuk Kembali Menghidupkan Harapan
Berdasarkan observasi penulis atas fenomena yang telah terjadi hal ini dapat dikaitkan dengan konteks dalam pembelajaran sistem komunikasi Indonesia khususnya pada bagian sistem komunikasi di Pedesaan. Dilihat dari kacamata sistem komunikasi di Pedesaan, desa memang merupakan tempat kecil yang memiliki karakteristik sendiri yaitu komunikasinya yang masih bersifat langsung dan didominasi oleh komunikasi antarpersona yang dimana hal ini mengakibatkan banyak warga desa hanya mempercayai keputusan dari seseorang (leader) yang memiliki kewenangan cukup besar dalam desa tersebut.
Selain pada aspek komunikasi, media yang hadir disana kurang dapat memberikan hasil yang signifikan terhadap apa yang mereka butuhkan. Hal ini pun sejalan dengan tingkat pendidikan yang hadir di sana. Dalam keadaan riil contohnya di makroman sendiri, tingkat buta huruf masih sangat tinggi dan di beberapa daerah lain seperti di Sanga-Sanga dan Pasar Pagi juga masih didominasi oleh warga dengan lulusan SD & SMP diperlukan adanya edukasi mengenai baca dan tulis dengan menyisipkan pernyataan mengenai kondisi lingkungan sekitar dan hal-hal struktural masyarakat guna memicu kepekaan akan apa yang terjadi di sekitar.
Hadirnya media sebagai sarana komunikasi juga turut berperan penting di dalam menyelesaikan permasalahan di sekitar. secara teori dilihat dari buku Nuruddin dari sistem komunikasi Indonesia, hadirnya seorang penyuluh bangunan dan atau seorang juru penerang di ketiga daerah tersebut harus ditingkatkan sumber daya manusianya. seorang penyuluh yang hadir nantinya diharuskan sudah mengetahui masalah di sekitar sehingga untuk terjun kepada warga telah memiliki formulasi yang cocok dan dapat menyasar kondisi warga setempat.
Seperti yang telah dipaparkan di atas baik jupen maupun penyuluh harus memiliki beberapa syarat kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara efektif sebagaimana yang dikatakan oleh Josep A Devito (Ninik Sri Rejeki dan Anita Herawati, 1999:8) yakni: opennes, empathy, positiveness, supportiveness, dan equality. dengan kehadiran seorang penyuluh diharapkan tidak hanya sekedar menggugurkan tugasnya saja melainkan dapat memberikan perubahan bagi warga setempat. Penyuluh merupakan dapur informasi di tingkat desa untuk dapat memberikan informasi-informasi, langkah nyata, dan pelayanan informasi pada tiga daerah tersebut.
Dari Makroman, Sanga-Sanga, hingga Pasar Pagi
Makroman, Sanga-sanga, dan Pasar pagi merupakan contoh nyata dari kurang baiknya sistem komunikasi yang hadir pada daerah setempat. Penulis melakukan observasi dengan bertanya kepada warga perihal harapan dan inovasi apa saja yang mereka inginkan agar tetap dapat menyambung tali kehidupan di tempat mereka tinggal.
Di Makroman sendiri, sebagian besar warga berharap diberikan fasilitasi terkait penyediaan batu kapur guna menetralisir kontaminasi antara air mereka dengan limbah tambang yang mengaliri lahan pertanian. Mereka juga berharap penyuluh yang hadir dapat memiliki keterbukaan dalam berkomunikasi sehingga tidak adanya lagi miskomunikasi dan kekurangan informasi dalam mengurangi permasalahan mereka terkait dengan hadirnya pertambangan ilegal.
Seperti yang telah dipaparkan pada awal kesimpulan, edukasi atau penyuluhan terkait buta huruf juga penting untuk dilaksanakan. Dibutuhkan seorang penyuluh yang kompeten untuk dapat menyadarkan warga pentingnya membaca dan menulis karena hal ini akan sangat berdampak pada kontribusi warga untuk ikut bersuara di dalam memperjuangkan hak-haknya dan mengajak anak muda Makroman untuk mengadakan “ngobrol bareng” sebagai salah satu pendekatan internal dalam membahas dan memperjuangkan isu yang terjadi di sana.
Selanjutnya di Kecamatan Sanga-Sanga warga beserta penulis berharap diadakannya metode “Rapat dengar pendapat”, sebab pendekatan yang dilakukan selama ini hanya melalui delegasi pemangku kebijakan sekitar. Dengan mengumpulkan massa dan tidak melulu mengandalkan satu orang saja diharapkan pengetahuan dapat menyebar pada seluruh lapisan warga.
Di tengah masifnya media baru menurut penulis sangat penting untuk bisa mengadakan Propaganda Media Melalui sosmed (dalam bahasa Latin modern: “propagare” diartikan “mengembangkan” atau “memekarkan”) merupakan serangkaian pesan dengan tujuan agar dapat mempengaruhi pendapat seseorang, tindakan masyarakat atau sekelompok orang dalam hal ini kelompok kami menggunakan media sosmed sebagai pendukung kegiatan nya.
Jika inovasi dari Propaganda Media terbilang cukup sulit dilakukan pada ketiga wilayah tersebut penulis menyarankan untuk bisa mengadakan Propaganda yang bersifat langsung ke masyarakat karena hal ini sejalan dengan karakteristik sebuah desa itu sendiri yang berupa membagikan selebaran atau poster yang berisi informasi terkait pentingnya menolak hadirnya pertambangan ilegal yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan sekaligus sebagai sarana edukasi bagi warga setempat.
Fenomena terakhir hadir di Pasar Pagi terkait penggusuran PKL. Masyarakat terus bersuara namun sulit sekali untuk bisa didengar oleh pemerintah, sehingga penulis berpendapat untuk dapat menyebarkan informasi mengenai tata tertib dan penataan kota lewat media digital dengan mengikuti kondisi dan perkembangan sosial yang ada. Kembali ditekankan bahwa komunikasi secara langsung memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
Penyuluhan merupakan salah satu cara yang kembali diharapkan dapat memberi pengaruh kepada warga. Karena dalam proses penyuluhan sendiri, seorang penyuluh diharuskan memiliki berbagai kemampuan komunikasi yang baik, seperti komunikasi verbal dan nonverbal yang menyangkut tata cara berbahasa secara lisan maupun tulisan dalam menyampaikan ide-ide dan pemikiran mengenai kebutuhan warga setempat.
Komunikasi nonverbal pun penting di dalam diri seorang penyuluh hal ini menyangkut bahasa tubuh, seperti raut wajah dan gerak-gerik tubuh. Karena menurut Morissan dalam buku Teori Komunikasi Individu hingga Massa (2013), komunikasi nonverbal memberi pengaruh kuat dalam interaksi sosial dan hubungan antarmanusia.
Dengan demikian analisis penulis terhadap fenomena di atas dapat memberikan jalan baru dalam menyelesaikan permasalahan diketiga daerah tersebut. Perlunya kerja sama diantara pemerintah dan warga didalam membangun iklim komunikasi yang baik dan sejalan untuk kembali bersama mengkaji permasalahan yang saat ini menjadi perjuangan warga setempat. (**)
Profil Penulis
Salwa Ayu Rofiah (14 Juni 2004), Adinda Rahmadhani (2 November 2003), Alyda Khairunnisa (14 April 2004), Nur Putri Balena (09 Maret 2004), Risna (16 Desember 2003), Yaasiina Nur Laila Aprilia (23 April 2004), Galluh Tiara Al Husna (07 Juli 2003) , Revita Selviana ( 17 September 2003).