spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Resolusi Konflik Agraria, Menurut Praktisi dalam Buku Kehampaan Hak: Masyarakat Vs Perusahaan Sawit

KONFLIK agraria yang tak kunjung selesai jika dibiarkan maka akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak memberikan dampak signifikan pada penyelesaian konflik agrarian di Indonesia. Pada tahun 2022, sektor perkebunan menjadi penyebab utama konflik agraria yang paling tinggi dalam satu dekade terakhir.

KPA mencatat bahwa ada 99 insiden konflik agraria di sektor perkebunan, yang melibatkan luasan lahan mencapai 377.197 hektar dan menimbulkan dampak pada 141.001 keluarga. Dari total 99 kasus konflik di sektor perkebunan, sebanyak 80 di antaranya terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Jika ditelisik dari penyebabnya, konflik agraria di Indonesia telah mengakar puluhan tahun silam tepatnya sejak diberlakukkannya konsep domein verklaring oleh pemerintah kolonial Belanda. Konsep ini menyatakan bahwa “Semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya (berdasarkan akta pembuktian barat) maka kepemilikan tanah tersebut dianggap milik negara”.

Meski pada mulanya konsep ini dipergunakan untuk membatasi masyarakat dan memberikan kebebasan pada pemerintahan kolonial Belanda dalam memberikan akses kepada penambang Eropa, namun hingga Indonesia Merdeka tahun 1945 konsep ini tetap dipakai oleh negara Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika negara masih menguasai sekitar 63 persen pertanahan khususnya di wilayah perhutanan.

Faktor penyebab kedua yang menyebabkan konflik agrarian berkepanjangan, yakni karena distribusi manfaat dari pengelolaan lahan yang tidak dinikmati oleh Masyarakat desa. Pada awalnya pemerintah telah menerapkan kebijakan yang mengharuskan perusahaan kelapa sawit untuk menawarkan berbagai program kemitraan.

Salah satu program utama yang ada adalah program inti-plasma, dimana penduduk desa memiliki kesempatan untuk memilikiatau mendapatkan sebagian dari perkebunan kelapasawit sebagai imbalan atas lahan yang mereka sediakan.

Namun, beberapa tahun terakhir, manfaat yang diberikan kepada masyarakat lokal semakin mengecil. Pada tahun 2013, Kementerian Pertanian bahkan mengizinkan 20 persen dari plasma tersebut berasal dari luar wilayah konsesi, semakin mengurangi manfaat yang diterima oleh penduduk desa.

Selain itu, masyarakat lokal juga harus membayar untuk membuka dan menanam lahan plasma mereka sendiri, yang mengakibatkan mereka terbebani oleh hutang. Dalam skema terbaru, penduduk desa tidak memiliki kepemilikan individu atas lahan plasma mereka, melainkan hanya mendapatkan sebagian keuntungan dari hasil plasma yang dikelola.

Hal ini diperparah dengan kurangnya transparansi dalam oleh perusahaan yang menjadi sumber konflik lahan (Berenschot et al., 2021). Selanjutnya faktor ketiga adalah karena kuatnya pemerintahan oligarki, proses demokrasi Indonesia melalui pemilu menghabiskan dana yang cukup tinggi. Hal ini membuat calon legislatif yang ingin menduduki posisi DPR seringkali bekerjasama dengan elit ekonomi (perusahaan swasta).

Hubungan dekat politisi dengan pengusaha ini tidak selalu legal, dalam temuan KPK disebutkan jika terjadinya pengamanan Perusahaan sawit, pembungkaman pada demonstran dari masyarakat lokal, dan suap dalam mempermudah izin pembukaan lahan terjadi karena adanya pemerintahaan oligarki yang bertujuan mengembalikan dana kampanye yang telah diberikan perusahaan di awal-awal.

Karena ketiga faktor inilah yang membuat masyarakat lokal terdampak konflik agraria mengalami kehampaan hak. Dalam buku ini para penulisnya mendefinisikan kehampaan hak sebagai kondisi dimana terdapat upaya yang disengaja untuk melemahkan masyarakat dengan mengabaikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Sehingga narasi-narasi seperti menuntut keadilan dan hak-hak masyarakat adat sudah kian ditinggalkan.

Masyarakat lokal lebih memilih menempuh cara-cara humanis dengan memperkuat posisi tawar kepada perusahaan. Hal ini dilakukan masyarakat karena mereka mulai sadar telah ada “kehampaan hak” yang akan mereka rasakan, akan ada sikap represif dari perusahaan sawit maupun dari pejabat negara jika mereka melakukan tindakan demonstrasi maupun pergerakan untuk melawan.

Selain itu mereka juga menyadari hukum positif di Indonesia masih bersifat kaku dan terdapat upaya menghidupkan kekuasaan “khas” kolonial dalam pasal-pasalnya, yang tentu bisa kapan saja mengamputasi hak-hak masyarakat. Hukum yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat lokal seringkali malah mencari celah kecacatan dokumen yang dimiliki masyarakat lokal untuk memenangkan kepentingan Perusahaan.

Adapun saran yang diberikan oleh penulis buku ini dalam penyelesaian konflik,sebagai berikut:

1. Mendirikan lembaga mediasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
2. Meningkatkan keterbukaan dalam proses pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan.
3. Mengawasi pelaksanaan kewajiban perusahaan dalam memperoleh free, prior dan informed consent (FPIC) dari masyarakat.
4. Melakukan penyelidikan terkait permasalahan kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap korporasi yang melanggar.
5. Menetapkan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar kebijakan tersebut.

Penulis sepakat dengan resolusi konflik agraria yang ditawarkan dalam buku ini, resolusi konflik dalam buku ini terlihat cukup ideal untuk menyelesaikan konflik agraria di Indonesia agar tidak semakin berkepanjangan. Namun kelima resolusi konflik diatas tidak akan berjalan maksimal jika masyarakat lokal yang terdampak konflik agraria tidak teredukasi dengan baik.

Orang-orang yang terdampak seringkali kurang memiliki pendidikan dan pengalaman yang diperlukan dalam melakukan advokasi dan mengorganisir masyarakat. Selain itu, berbagai mekanisme penyelesaian konflik seperti pengadilan, mediasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan RSPO semuanya memiliki prosedur-prosedur yang kompleks, yang mengharuskan masyarakat untuk memahami cara mengukur tanah mereka, mengumpulkan bukti kepemilikan tanah, dan menyampaikan tuntutan mereka dengan jelas.
Sehingga perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat yang terdampak konflik agraria agar mereka dapat mendapatkan hak-hak tanah seharusnya mereka dapatkan.

Peningkatan kapasitas inilah yang kemudian membuat masyarakat berdaya, dapat menentukan pilihan mereka sendiri, kemampuan ini yang kemudian dapat membuat pelaksanaan FPIC menjadi lebih maksimal. Karena dalam penerapannya FPIC memiliki banyak dampak positif.

Dalam konteks politik, FPIC menekankan kewajiban untuk menghormati keinginan masyarakyat, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada kepentingan masyarakat itu sendiri.

Dari segi hukum, kesepakatan yang setara antara semua pihak dan hak untuk menolak isi perjanjian tanpa penyalahgunaan adalah manifestasi prinsip dasar dalam negara hukum, yaitu kesetaraan di mata hukum dan kebebasan menerima kontrak.

Dari sudut pandang sosial, pengakuan terhadap hak masyarakat atas tanah dan wilayahnya berfungsi sebagai upaya untuk mencegah potensi konflik sosial di masa mendatang. Sehingga dengan FPIC Masyarakat lokal memiliki posisi tawar yang tinggi di mata perusahaan. Adapun standar indigenous people mitigation, sebagai prinsip pelaksanaan FPIC, yaitu:

  1. Identifikasi masyarakat lokal: langkah awal adalah mengenali apakah ada masyarakat lokal yang terdampak oleh proyek tersebut. Proses ini dilakukan melalui evaluasi sosial dan lingkungan.
  2. Konsultasi dan partisipasi: berdiskusi dengan masyarakat lokal serta memperhatikan pendapat dan kebutuhan mereka. Masyarakat lokal harus terlibat dalam perencanaan proyek dan memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan.
  3. Penghindaran dampak negatif: jika memungkinkan, proyek harus dirancang untuk menghindari dampak buruk terhadap masyarakat lokal dan lingkungannya. Jika tidak bisa dihindari, maka upaya harus dilakukan untuk meminimalkan dampak tersebut.
  4. Pemindahan masyarakat lokal: jika pemindahan masyarakat lokal dari tanah adat mereka tak dapat dihindari, proses ini harus melibatkan negosiasi yang adil. Mereka harus diberikan kompensasi yang layak dan juga harus ada kesempatan untuk kembali ke tanah adat mereka jika alasan pemindahan telah berakhir.
  5. Penggunaan sumber daya budaya: jika proyek memanfaatkan budaya, pengetahuan, atau praktik masyarakat lokal untuk tujuan komersial, perlu adanya negosiasi dengan masyarakat lokal mengenai pembagian manfaat yang adil.
  6. Pembagian manfaat: semua pihak yang terlibat harus memahami cara pembagian manfaat, termasuk rumusan dan prosedur yang transparan.

Dapat penulis disimpulkan bahwa penerapan FPIC sangat penting dilakukan karena telah menggarisbawahi hak masyarakat adat untuk menerima informasi sebelum pelaksanaan program atau proyek pembangunan di wilayah mereka. Lalu berdasarkan informasi tersebut, mereka memiliki kebebasan untuk memberikan persetujuan atau menolaknya.

Dengan kata lain, FPIC ini adalah hak Masyarakat adat yang harus dilindungi untuk menentukan jenis kegiatan pembangunan apa yang diizinkan di wilayah adat mereka. FPIC memberikan wewenang kepada masyarakat lokal untuk secara bebas memilih pilihan yang terbaik bagi mereka. FPIC minimalnya dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan yang telah dicapai, bahkan memberi kesempatan untuk kesejahteraan di masa yang akan datang.

Referensi:
Berenshot, W., Dhiaulhaq, A., Afrizal, A., & Hospes, O. (2023). Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Berenschot, W., Dhiaulhaq, A., Afrizal, A., & Hospes, O. (2021). Ekspansi dan Konflik Kelapa Sawit di Indonesia: Evaluasi Efektivitas Mekanisme Penyelesaian Konflik. 5(5), 1–67.

Penulis : Nabila Mar’atun Khasanah
Mahasiswa, Prodi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti