spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Putus di Tengah Jalan

Catatan : Andhika Dezwan

Kepala Biro Berau, Mediakaltim.com

PERSOALAN klasik tentang putus sekolah terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Seperti di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini menurut saya, tentu harus diperhatikan serius oleh pihak Pemerintah.

Anak putus sekolah juga tak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Untuk mengetahui persoalan apa yang terjadi, dibutuhkan pendekatan secara intim dengan pihak keluarga. Agar lebih dapat dipahami dimana titik permasalahannya.

Bulan Maret 2020, Bumi Batiwakkal pertama kali dimasuki oleh virus Covid-19. Hal itu membuat seluruh aktivitas sedikit terganggu. Tak terkecuali dunia pendidikan, dimana para pelajar yang terbiasa belajar secara tatap muka, terpaksa harus menuntut ilmu melalui sistem dalam jaringan (online).

Pandemi itu juga memberi dampak yang buruk. Terutama dari segi ekonomi. Hal itu juga menjadi faktor pemicu berhentinya para pelajar di tengah jalan. Sebab, tak sedikit para orang tua kehilangan pekerjaan. Hal itu menyebabkan anak kesuliatan biaya melanjutkan pendidikan.

Hal ini mungkin tidak pernah terduga bahwa persoalan di bidang kesehatan, seperti pandemi, akan bermuara pada persoalan anak putus sekolah. Namun, kenyataannya, penyakit berskala luas juga dapat menyebabkan anak putus sekolah.

Ruang berjarak antara pelajar dan sekolah, ditambah gawai yang kian dekat dengan pelajar seiring kebutuhan pembelajaran jarak jauh, berpotensi menyebabkan anak kecanduan game online jika tidak diawasi. Meski tidak banyak, kondisi ini pada akhirnya juga turut menjadi faktor pendorong anak putus sekolah di tengah pandemi.

Merujuk kepada data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Berau, persentase angka putus sekolah pada kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun tergolong rendah. Akan tetapi untuk mereka yang berusia 16-18 tahun tergolong tinggi.

Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) Berau, Lita Januarti Hakim menjelaskan, pada kelompok usia 16-18 dan 19-24 tahun, disebut Lita persentase putus sekolah masih cukup tinggi. Ia mencontohkan pada tahun 2021, kelompok usia 16-18 memiliki angka putus sekolah sekitar 18 orang dari 100 penduduk.

Melihat dari data yang dipaparkan, hal itu menggambarkan kondisi dunia pendidikan Kota Sanggam pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) masih kurang baik. Walaupun dari tahun ke tahun dikatakan Lita terus menurun.

Ditanya faktor apa yang menjadi pemicu, Lita membeberkan ada 36 unit SMA di Berau. Tetapi lokasinya belum merata. Hal itu tentu saja menyebabkan akses penduduk dari 110 kampung dan kelurahan masih cukup terbatas.

Pada usia 19-24 tahun, angka putus sekolahnya sangat tinggi, yakni mencapai 85 per 100 penduduk di tahun 2021. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak penduduk usia 19-24 yang berhenti mengenyam pendidikan setingkat perguruan tinggi.

Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi dapat disebabkan faktor dari dalam diri sendiri, misalnya tidak cocok dengan jurusan yang diambil, tidak ada motivasi melanjutkan atau faktor eksternal seperti kondisi ekonomi, ketersediaan fasilitas belajar mengajar yang memadai, letak geografis, dan sebagainya.

Program prioritas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau salah satunya berbunyi Tata kelola pemerintahan yang baik dan berkualitas melalui sumber daya manusia (SDM) yang profesional berbasis digital teknologi.

Kalau dari sarana pendidikan saja kurang memadai, bagaimana menciptakan kualitas SDM yang baik? Padahal, kita ketahui bersama pendidikan sebagai acuan dasar agar melahirkan SDM yang memiliki daya saing.

Sepertinya hal ini harus diusulkan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Berau. Jika ada acara yang menyangkut soal pendidikan, jangan hanya seremoni belaka. Harus dicari bersama solusinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Bumi Batiwakkal. (**)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti