PADA zaman Rasulullah, seorang pemuda yang gemar bermaksiat begitu tertarik masuk Islam. Tetapi dia ragu menemui Rasulullah. Bagaimana mungkin saya menjadi Muslim sementara saya gemar bermaksiat?
Waktu berlalu hingga rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Di sebuah majelis, Sang Pemuda memberanikan diri menemui Rasulullah, menyatakan niatnya. Tak dia sangka, Rasulullah merespon baik. Beliau bahkan hanya memberi satu syarat, “Jangan berbohong.”
“Ah, Islam ternyata mudah,” gumam sang pemuda. Ia pun memeluk Islam.
Suatu ketika, hasrat berzina menagih. Namun si pemuda teringat pesan Rasulullah. “Saya harus jawab apa kalau beliau bertanya dari mana,? Kan tidak boleh berbohong?” katanya dalam hati. Ia menahan diri.
Hari selanjutnya, ketika hasrat itu kembali datang, dilema yang sama muncul lagi. Tetapi rasa takut membohongi Rasulullah membuatnya lagi-lagi mampu meredam gelora hasratnya. Begitu seterusnya, setiap kali muncul niat maksiat, setiap kali pula ia bisa meredamnya.
Hingga akhirnya ia pun sadar bahwa hal yang dianggapnya mudah, hanya cara Rasulullah membuatnya berlatih membiasakan diri dengan sesuatu yang baik sembari membuang kebiasaan buruk.
***
Bangun kebiasaan agar kebiasaan membangunmu, kira-kira begitu hikmah kisah di atas. Dalam kitab al-Muwaththo, Imam Malik menceritakan dialog seorang sahabat dengan Rasulullah.
Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah mukmin seorang mukmin itu kikir?”
Rasulullah menjawab, “Mungkin saja.”
Sahabat bertanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin itu bersifat pengecut?”
Rasulullah menjawab, “Ya, mungkin saja.”
Sahabat bertanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?”
Rasulullah menjawab, “Tidak.”
Jadi, kejujuran itu pondasi iman. Sebagai pondasi, ia harus kuat, harus tahan banting. Dan untuk kuat serta tahan banting, kejujuran harus dilatih.
Sasana latihan terbaik kejujuran adalah bulan suci Ramadan. Prosesnya melalui puasa. Mengapa puasa? Sebab ibadah ini berbeda dengan ibadah lainnya. Sifat ibadah puasa adalah sangat rahasia (sirriyah). Kerahasiaan inilah yang melatih kejujuran diri.
Itu pula alasan puasa menjadi satu-satunya ibadah mahdhah yang bebas dari riya’. Shalat, misalnya, dengan mudah disusupi riya’. Pun dengan zakat, berhaji, sedekah dan ibadah lainnya. Itu karena ibadah-ibadah itu tampak secara fisik. Kita bisa menduga-duga tingkat kesalehan seseorang berdasar penilaian subjektif atas ibadahnya itu.
Tetapi tidak dengan puasa. Tidak ada pembeda orang yang puasa dengan orang yang tidak berpuasa. Wujud puasa tidak terlihat secara fisik.
Seseorang bisa tidak berpuasa, tetapi tetap kelihatan berpuasa. Berbeda dengan shalat, Anda tidak akan bisa tidak shalat tetapi terlihat shalat.
Itu sebabnya Allah menyebut puasa adalah persoalan khusus antara Dia dan hamba-Nya. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan, “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Kejujuran Berbangsa Bernegara
Melatih kejujuran di bulan Ramadan bukan sebatas jujur untuk tidak makan dan minum dari bedug subuh hingga azan Maghrib.
Karena puasa bukan hanya ibadah raga, maka kejujuran itu tidak terbatas raga. Ya kejujuran mempuasakan panca indra, kejujuran mempuasakan hati dan kejujuran mempuasakan pikiran.
Esensi puasa adalah mengantar menuju takwa. Secara personal, semakin pelaku puasa mampu mengendalikan kejujuran pada semua dimensi itu, semakin dia memperoleh derajat takwa yang lebih baik.
Secara komunal, kejujuran kolektif membawa anggota masyarakat saling bermuamalah lebih baik. Bila puasanya
baik, pasca Bulan Suci Ramadan seseorang tentu akan berjual-beli secara fair. Pun saat melakukan kontrak, saat berperkara di pengadilan, saat menjalankan amanah jabatan bagi seorang pejabat, dan seterusnya.
Pendek kata, kejujuran kolektif akan menghadirkan bangsa yang kuat, nyaman, dan sejahtera. Sebaliknya, kejujuran kolektif akan menghindarkan bangsa dari perilaku korupsi personal maupun berjamaah atau hal-hal yang sifatnya demi kepentingan kelompok.
Dari pernyataan itu, kita bisa membayangkan bagaimana situasi sebuah negara yang dihuni mayoritas Islam. Puasa tentu membawa peradaban negeri menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur, negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin Indonesia didera problem ekonomi, dihantam krisis pengangguran, diancam runtuhnya demokrasi, dirusak hukum pilih-tebang, padahal negeri ini dihuni mayoritas muslim yang berpuasa?
Jawabannya, barangkali berpulang pada kualitas puasa kita. Saatnya membuka ruang tafakur kebangsaan guna mengintrospeksi puasa masing-masing.
Sudahkah kita benar-benar berpuasa?(*)
Penulis :
Nursyamsa Hadis
Da’i Hidayatullah dan mantan Anggota DPD-MPR RI 2004-2009.
Editor : Nicha R