Beranda KUTIM Proses Panjang Penyelamatan Areal Berhutan di APL Kutim

Proses Panjang Penyelamatan Areal Berhutan di APL Kutim

0
Tim Bappenas mengevaluasi KalFor Project di Kutai Timur.

SANGATTA – Video yang ditampilkan ke layar proyektor di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutai Timur menjadi perhatian seluruh peserta rapat. Tayangan itu mengisahkan upaya Desa Batu Lepoq, Desa Sempayau, dan Desa Saka memanfaatkan lahan berstatus area penggunaan lain (APL) yang masih berhutan. Ketiga desa di Kecamatan Sangkulirang dan Karangan, Kutai Timur, tersebut ialah Desa Dampingan Kalimantan Forest Project (KalFor).

Pada Senin, 20 Desember 2021, Bappeda Kutim menerima tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang datang untuk mengevaluasi kegiatan KalFor Project. Perwakilan pemerintah desa, organisasi masyarakat sipil, hingga jajaran pemkab hadir dalam pertemuan di Sangatta itu.

Duduk di sebelah pintu, Panthom Priyandoko selaku Regional Facilitator Kalimantan Forest Project Kaltim menjelaskan, KalFor merupakan proyek Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Proyek ini berfokus melindungi dan menyelamatkan areal berhutan di dalam APL.

Area berhutan di APL ini kebanyakan masuk izin-izin perkebunan di Kutim. Statusnya sangat rawan dibuka untuk kepentingan perkebunan. Lahan tersebut memang tidak berstatus kawasan kehutanan sehingga secara aturan boleh dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan usaha.

Di Kutai Timur, area berhutan di dalam APL sangat luas. Berdasarkan pengukuran Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, totalnya mencapai 161.374 hektare atau setara dua kali wilayah Kota Samarinda. Beberapa wilayah di area tersebut berstatus high conservation value (HCV) sehingga kaya akan keanekaragaman hayati.

Proyek KalFor merupakan kerja sama antara Ditjen PKTL KLHK, Pemprov Kaltim, Pemkab Kutim, bersama United Nations Development Programe (UNDP). Proyek yang didanai GEF ini berupaya menyelamatkan areal-areal tersebut. Sebagaimana aturan Republik Indonesia, hibah luar negeri dikelola harus dengan sepengetahuan negara, dalam hal KLHK. KalFor Project kemudian memilih tiga desa dampingan di Kutai Timur untuk memanfaatkan area berhutan di dalam APL.

Di Desa Sempayau, areal hutan di dalam izin perkebunan seluas 8.775 hektare. Sementara di Desa Saka seluas 541 hektare, dan Desa Batu Lepoq 1.460 hektare. Ditambah lagi rencana pembangunan Taman Botani Kutai Timur di Sangatta seluas 20,5 hektare yang masuk proyek ini.

“Ini adalah tahun keempat KalFor Project berjalan di Kaltim. Fokus kegiatannya di Kutai Timur,” terang Panthom.

Kegiatan KalFor di tiga desa sudah memasuki fase kedua yang dimulai November 2021 hingga Desember 2022. Pada fase ini, KalFor mendampingi usaha desa meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Peningkatan pendapatan warga tersebut berbasis perlindungan areal berhutan di APL.

“Ada rencana menambah tiga desa lagi dalam proyek ini. Desa yang diusulkan dari Kutai Timur juga. Kami masih dalam proses penentuan desa-desa tersebut,” jelasnya.

Melawan Deforestrasi

Masih dalam rapat di Bappeda Kutim, Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim, Prof Daddy Ruhiyat, mengatakan, Kutim merupakan daerah dengan angka deforestrasi yang tinggi. Meski tak menyebut angka pastinya, ia menilai, pengawahutanan atau deforestrasi merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca.

“Untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, yang harus kita lakukan adalah mengurangi laju deforestrasi dan degradasi hutan,” terang Daddy.

Ia menguraikan dua jenis areal hutan. Pertama, hutan di dalam kawasan yang dikelola negara. Hutan seperti ini terlindungi secara aturan. Contohnya, kawasan hutan lindung, hutan konservasi, maupun suaka margasatwa. Jenis areal hutan yang kedua adalah lahan di luar kawasan hutan atau berdiri di dalam APL. Pengelolaan areal berhutan di dalam kawasan APL diserahkan kepada pemerintah kabupaten. Areal berhutan ini kebanyakan masuk di izin usaha baik perkebunan maupun pertambangan.

Padahal, menurut Daddy, area hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan sebenarnya sama saja. Fungsi hutan itu serbaguna sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Hutan yang lestari bisa dimanfaatkan untuk fungsi sosial, budaya, ekonomi, termasuk lingkungan.

Area berhutan di dalam APL, sayangnya, sangat rentan dibabat. Pemerintah kabupaten memasukkan area berhutan ini ke dalam izin-izin perkebunan, utamanya kelapa sawit. Deforestrasi pun dengan mudah terjadi jika area tersebut dibuka untuk kepentingan usaha. Makanya, Daddy mengingatkan, perlu keterlibatan banyak pihak untuk menjaganya.

“Satu di antaranya bermitra dengan KalFor. Jika penyelamatan area hutan di dalam APL ini berhasil di Kutim, model ini bisa diterapkan di seluruh Indonesia,” tegas Daddy yang pernah menjadi guru besar di Fahutan, Unmul.

Situasi di lapangan tak senyaman di dalam ruangan. Nyatanya, menyelamatkan area berhutan di dalam konsesi perkebunan bukan perkara gampang. Kepala Desa Batu Lepoq, Jum’ah, mengakuinya. Ia menyampaikan bahwa terjadi konflik lahan antara warga dengan perusahaan yang beroperasi di desanya.

“APL (area berhutan di dalam izin perkebunan) diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Ternyata, perlu dibenahi karena ada area berhutan di APL yang tumpang-tindih dengan tanaman sawit,” terang perempuan berusia 47 tahun itu.

Jum’ah menjelaskan, terdapat APL yang masih perlu diperjelas di desanya sekitar 150 hektare. Ia berharap, lahan tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat. Banyak warga Desa Batu Lepoq yang masih menggantungkan hidup dari bertani. Harusnya, sambung dia, perusahaan dapat bekerja sama membantu warga desa.

“Kami sama sekali tidak tahu (APL bisa dimanfaatkan) kalau tidak ada KalFor. Eh, ternyata bisa,” terang dia. Jum’ah menambahkan, pemerintahan desa sangat terbantu oleh KalFor Project. Sejumlah warga desa Batu Lepoq sudah mendapat pelatihan memanfaatkan area berhutan di APL. Informasi wilayah APL di desa pun kini jelas.

Masalah berikutnya adalah administrasi. Jum’ah mengatakan, wilayah desanya adalah perbatasan antara Kutai Timur dengan Kabupaten Berau. Tapal batas ini belum klir. Ia tak mau, lahan yang mestinya dapat dimanfaatkan masyarakat malah bermasalah.

Kepala Bidang Prasarana dan Pengembangan Wilayah, Bappeda Kutim, Sugiyono, menerima sejumlah masukan dalam rapat. Ia membenarkan, tumpang tindih lahan memang masih terjadi di Batu Lepok yang masuk Kecamatan Karangan.

“Sudah pernah disampaikan kepada provinsi untuk penyusunan RTRW. Informasi yang saya terima, Pak Gubernur sudah bersurat ke KLHK pada 23 November,” terang dia.

Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Kehutanan, Dinas Kehutanan Kaltim, Rini Endah Lestari, turut membenarkan. Dishut Kaltim sedang menyelaraskan data-data APL yang dikelola pemerintah kabupaten. “Kami berharap, area berhutan di APL dimanfaatkan untuk areal hijau,” kata Rini yang kala itu menjabat Pelaksana Harian Kepala Dishut Kaltim.

Dari pemerintah pusat, Fungsional Ahli Perencana Muda, Direktorat kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Bappenas, Wahyudi Susanto, menjelaskan, kegiatan KalFor sudah berjalan baik secara umum. Kendati demikian, ia menyoroti upaya peningkatan status taman botani Kutai Timur yang direncanakan sebagai kebun raya.

“Harus dipersiapkan dengan matang. Jangan sampai daerah tidak menyambut upaya itu. Perencanaan dan pengelolaannya harus matang,” terang dia.

Wahyudi mengatakan, semua program dapat berjalan dengan baik jika selaras dengan rencana pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. “Intinya sinergitas. Hasil evaluasi kami akan disampaikan secara resmi antara tiga sampai enam hari kerja,” tutupnya. (kk)

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version