SAMARINDA— Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur kritisi kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan.
Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari, menganggap bahwa Presiden Joko Widodo bersama Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadila, sama sekali tidak memberikan informasi yang cukup mengenai izin tempat pertambangan tersebut.
“Kalau memang diizinkan, ini di mana? Mana barangnya? Tidak bisa hanya memberikan izin tanpa memberitahukan di mana letak tambang yang diberikan izin itu,” tegas Mareta Sari saat dihubungi via telfon oleh Media Kaltim, Selasa, (4/6/2024).
Sebelumnya, Pemerintah memberikan IUP ke Organisasi Kemasyarakatan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Yang kemudian diaminkan oleh Presiden Jokowi lewat Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dan ditetapkan pada 30 Mei 2024 berlaku efektif pada tanggal diundangkan.
Setidaknya ada 2.078 IUP yang diusulkan Presiden Jokowi untuk dicabut. IUP yang sudah dicabut akan diserahkan ke pelaku usaha lokal, badan usaha milik desa, hingga kelompok organisasi masyarakat.
“Sebenarnya pertambangan di Kaltim telah dikuasai oleh konsesi-konsesi besar. Maka pertanyaannya adalah ke arah mana nantinya ormas keagamaan ini mengambil alih? Apakah nantinya akan bekerjasama dengan KPC yang memiliki alat dan teknologi. Itu kan sepertinya malah lebih aneh lagi,” lanjut Mareta.
Sementara itu, Bahlil merasa tidak setuju jika dikatakan bahwa Ormas tidak memiliki kompetensi yang cukup. Pasalnya para perusahaan yang memiliki IUP juga tidak sepenuhnya dikelola sendiri, tapi dengan kontraktor.
Jatam Kaltim menganggap hal itu justru semakin riskan. Sebab IUP yang diberikan kepada Ormas Keagamaan ini malah akan menjadi ranah pertempuran antar golongan masyarakat. Mareta merasa ini adalah cara Presiden untuk membuat rakyat melawan rakyat.
“Dengan adanya IUP ini, justru saya merasa Pemerintah sedang membuat arena perselisihan antar masyarakat. Yang agamanya ini akan bertarung dengan pemuka agamanya. Arahnya malah menghasilkan konflik, yang kemudian tidak memberikan dampak yang baik untuk masyarakat,” tambahnya.
Mengenai persepsi yang mengatakan bahwa akan adanya penumbalan antara perusahaan besar kepada Ormas yang menangangi tambang, Mareta Sari menilai bahwa hal itu sangat mungkin terjadi.
Dia mencontohkan, di Kaltim misalnya. Bisa saja Kaltim Prima Coal sebagai perusahaan besar di Kaltim menangani tambang izin Ormas, dengan begitu kebijakan tersebut hanya akan memperluas bencana ekologis.
“Masih banyak permasalahan selain memberikan IUP kepada Ormas Keagamaan, kita perlu bicara mengenai ekologi, dampak tambang ke masyarakat, korban tenggelam di bekas lubang tambang, kesehatan, ataupun kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang di Kaltim,” terus Mareta.
Selain itu, Mareta melihat kebijakan yang dilakukan oleh Jokowi dan Bahlil sebagai manuver politik balas budi. Sebab Jokowi sepertinya memberikan izin tambang kepada Ormas yang membuatnya memenangi Pemilu beberapa tahun lalu.
Ia sendiri menyesalkan pendapat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, yang mendukung kerusakan alam lebih jauh.
Lebih lanjut, kemungkinan IUP Ormas Keagaamaan akan berfokus kepada 3 Provinsi yaitu, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang memang memiliki area pertambangan terbesar di Indonesia. Akan tetapi Bahlil tidak sama sekali menyinggung tempat-tempat tersebut.
Mareta khawatir bahwa kebijakan ugal-ugalan Jokowi ini malah merugikan masyarakat. Tambang di Kalimantan Timur tidak berhasil memberdayakan masyarakat selain menguntungkan beberapa pelaku pengusaha. Masih menjadi pertanyaan, bagaimana kemudian tambang-tambang tersebut akan diambil alih. Mengingat banyak tambang di Kaltim yang membiarkan bekas lubang tambang begitu saja.
Pewarta: Khoirul Umam
Editor : Nicha R