SAMARINDA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tepat untuk dikatakan sebagai pesta demokrasi. Sebab “Pesta” seyogiyanya memberikan kegembiraan bukan kegetiran. Namun dalam prosesnya, setelah hampir 2 bulan tahapan kampanye dibuka, kandidat Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim tidak memberikan gagasan yang memuaskan.
Isran Noor dan Hadi Mulyadi misalnya, pasangan petahana ini tidak membahas isu lingkungan ataupun mencantumkan prestasi mereka secara gamblang. Seringkali Isran dan Hari menggaungkan slogan, “Pahamlah Ikam?” namun tidak menguraikan kinerja mereka secara spesifik.
Kata “Paham” mengartikan sebuah telah menangkap apa yang dimaksud. Seakan ingin memberikan gambaran bahwa mereka telah melakukan sesuatu dan terbukti. Daripada sibuk mengurai fakta untuk menyinggung, fakta-fakta kinerja merekalah titik utama dari kampanye mereka.
Begitupun Rudy Mas’ud dan Seno Aji, sebagai penantang baru, pasangan ini sibuk mengenalkan program-program mereka. Gratispol, Josspol, ataupun Aplikasi Sakti. Sayangnya, baik Rudy maupun Seno tidak menyentuh target programnya. Dengan maksud, tidak menguraikan bagaimana cara mereka akan membuat program itu menjadi nyata.
Terlalu banyak program namun juga tidak serta-merta menjawab isu lingkungan. Padahal Kaltim tidak hanya soal pendidikan ataupun kesehatan, proses pembangunan memang penting, akan tetapi menjawab tantangan dengan mengulang-ulang kata “Gratispol” tentunya tidak menjawab permasalahan masyarakat.
Kedua kandidat sibuk mengatur siasat melalui gimmick. Gimmick memang metode untuk menarik perhatian untuk meyakinkan masyarakat. Politik selalu diwarnai dengan gimmick-gimmick, hal yang biasa terjadi. Hanya saja, gimmick tidak cukup kuat untuk menjawab persoalan secara instan.
Tambang ilegal, kriminalisasi masyarakat adat, bencana lingkungan adalah masalah serius yang tidak bisa ditutupi dengan kata “Pahamlah ikam?” ataupun “Gratispol.”
Menjelang hari-H pencoblosan, mau tidak mau, kedua kandidat perlu membuka mulut soal isu-isu tersebut. Sebab kesehatan, pendidikan, hingga kenyamanan masyarakat adalah kewajiban setiap pemimpin terpilih.
Gimmick rawan akan kepentingan yang disembunyikan. Malah bisa menjadi sebuah metode untuk membohongi kepentingan publik demi kepentingan sekelompok orang.
Inilah poin di mana praktik “Politik Pinokio” atau politik kebohongan yang kini kerap dilakukan para kandidat Pilkada.
Yang dimaksud dengan politik kebohongan, adalah politik tanpa bukti, tanpa verifikasi kebenaran atau ketidakbenaran informasi, fakta, dan data terkait. Tanpa proses ini, politik menjadi sarat kebohongan dan manipulatif yang mengarah untuk menyerang lawan politik.
Berangkat dari kondisi seperti itu, sebenarnya berpolitik secara santun adalah sebuah keniscayaan. Berpolitik secara santun mudah diucapkan sulit diwujudkan.
Oleh karena itu, berpolitik secara santun mendasarkan diri pada keutamaan moral, beretika dalam tindak dan tanduk, kebijakan dalam bertutur kata, menanamkan obyektivitas, rendah hati, dan open mind.
Semua itu dimaksudkan untuk menuju terciptanya orientasi utama politik untuk kemaslahatan rakyat dan kemajuan negara.
Maka dari itu, kini saatnya masyarakat perlu meninjau kembali pilihan mereka, mengkaji kembali program hingga visi-misi kandidat agar Pesta Demokrasi betul-betul bisa menjadi sebuah perayaan paling meriah di penghujung jabatan sang pemangku tanggung jawab.
Penulis: K. Irul Umam
Editor: Nicha R