spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

PP 22/2021: Perwujudan Sikap Dilematis Pemerintah Dalam Mengeluarkan Faba Sebagai Limbah B3

Oleh: Sabian Hansel, Bagas Aria Dewa, Rayhan Shaquille Amantri (Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia)

Mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan energi tidak terbarukan sepertiĀ  pembakaran batu bara. Untuk memenuhi kebutuhan listriknya, Indonesia setidaknya membutuhkan pasokan batu bara sebanyak 97 juta ton pada 2019 (Ekaputri, 2020). Pembakaran batu bara menghasilkan suatu limbah yang disebut dengan Fly Ash Bottom Ash (FABA).

Di awal tahun 2021, pemerintah mengeluarkan PP 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengeluarkan FABA dari limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dikeluarkannya FABA dari limbah B3 karena limbah tersebut tidak lagi dinyatakan beracun dan memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi. Karakteristik dari limbah B3 sendiri memiliki 6 poin menurut KLHK, yaitu 1) mudah meledak, 2) mudah menyala, 3) reaktif, 4) infeksius, 5) korosif, dan 6) Beracun.

Di sisi lain, banyak penolakan tentang pencabutan FABA dari kategori limbah B3, terutama dari kalangan aktivis lingkungan dan masyarakat sekitar PLTU. Hal yang menjadi kekhawatiran apabila FABA tidak lagi menjadi limbah B3, maka pengelolaan limbah hasil pembakaran batu bara tersebut menjadi semena-mena tanpa memperhatikan standar. Selain itu, penetapan kebijakan tersebut dapat berdampak pada munculnya timbunan FABA yang dihasilkan dari pembakaran batu bara yang semakin banyak karena adanya kemudahan perizinan terhadap pemanfaatan batu bara.

FABA yang dikeluarkan menurut PP Nomor 22 Tahun 2021 sendiri ialah limbah yang dihasilkan dari pembakaran batu bara untuk PLTU dengan kode N106 serta N107. FABA berkode N dihasilkan dari pembakaran batu bara di PLTU untuk menghasilkan listrik dengan temperatur ā‰„ 700ā„ƒ dan proses pembakarannya sempurna. Berbeda dengan FABA yang dihasilkan oleh industri dengan kode B, pembakaran batu bara dilakukan untuk menghasilkan uap atau steam dengan temperatur <600ā„ƒ menggunakan stoker atau tungku. Limbah FABA yang dihasilkan industri atau berkode B ini masih dikategorikan sebagai limbah B3.

BACA JUGA :  Status Pandemi Covid-19 Diperpanjang

Manfaat Pencabutan FABA Kode N dari Limbah B3

Pencabutan ini memberikan kontribusi positif untuk mendorong investasi serta perekonomian negara. Pemerintah juga terbebas dari beban administratif dan biaya karena tak lagi perlu mengurus izin tambahan untuk mengelola limbah B3. FABA yang dihasilkan oleh pembakaran PLTU telah diteliti oleh KLHK dan terbukti lebih stabil dan minim racun yang membahayakan manusia.

Di beberapa negara seperti Jepang, Cina, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa, telah mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3. Hal tersebut disebabkan karena tingginya angka pemanfaatan kembali limbah FABA yang dihasilkan dari pembakaran PLTU. Negara-negara di atas memanfaatkan FABA sebagai bahan sektor konstruksi, seperti bahan campuran semen, batako, dan material bangunan lainnya. Di sektor lain, pemanfaatan FABA dapat menjadi reklamasi bekas tambang, campuran pupuk, dan sisa lainnya ditimbun.

FABA sebagai Limbah B3

Apabila FABA dikategorikan sebagai limbah B3, maka hal ini akan berakibat secara biaya ke industri yang menghasilkan FABA, dalam hal ini industri batu bara dan PLTU. Pasalnya, regulasi yang ada yaitu PP no. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, menyebabkan perusahaan kesulitan untuk mengelola FABA secara efisien. Kendala yang ada yaitu dari segi administrasi.

BACA JUGA :  Guru Penggerak: Festival Panen Hasil Belajar

Pasal 48 dan 49, mengharuskan perusahaan pengelola limbah B3 untuk menyertakan izin sebagai pengangkut limbah B3 yang diterbitkan melalui rekomendasi Pengangkutan Limbah B3, dan izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengangkutan Limbah B3. Hal ini, belum termasuk perpanjangan waktu untuk masa berlaku rekomendasi. Sehingga, secara perizinan harus mengeluarkan administrative cost Ā dan prosedurnya cukup sulit. Kemudian, kendala selanjutnya yaitu belum banyak perusahaan pengelola limbah B3 di Indonesia yang mampu mengelola FABA secara baik.

Pasalnya, masih banyak industri batu bara dan PLTU yang belum memiliki fasilitas pemanfaatan kembali FABA, sehingga harus mendistribusikannya ke tempat yang memiliki fasilitas tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan biaya transportasi untuk industri penghasil FABA. Pendapat mengenai pengaruh FABA apabila dikategorikan sebagai limbah B3 dikemukakan oleh Direktur Pertambangan Batu Bara, Hendra Sinadia yang mengatakan bahwa ā€œFABA yang dihasilkan oleh perusahaan PLTU dan non-PLTU setiap tahunnya berkisar 10-15 juta ton. Sedangkan dampak biaya pengelolaan oleh perusahaan skala besar-menengah itu di kisaran Rp50 miliar-Rp2 triliun. Hal ini membebani keuangan pelaku usaha yang juga memiliki komitmen dalam mengelola limbah yang dihasilkan dari kegiatan usaha termasuk FABA.ā€

Pemanfaatan FABA yang Masih Minim dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan

Terlepas dari terhalangnya regulasi, tingkat pemanfaatan FABA di Indonesia sendiri masih minim. Hal ini terlihat dari data tingkat pemanfaatan fly ash di Indonesia yang hanya 10%-12% (Ekaputri, 2020), sedangkan untuk bottom ash masih kurang dari 2% (APBI, 2021). Melihat produksi FABA yang melimpah di Indonesia, sudah seharusnya pemanfaatan tersebut setidaknya mencapai angka 20%, berkaca dari negara lain yang rata-rata tingkat pemanfaatannya >50%.

BACA JUGA :  Yogya Diguncang Gempa M 5,2, Berdampak di Sejumlah Daerah, BMKG Imbau Warga Tetap Tenang

Hasilnya, FABA di Indonesia selama ini hanya ditimbun saja di ash yard (bak penampungan FABA) dan kurang dimanfaatkan oleh sektor industri batu bara dan PLTU. Tumpukan inilah yang kemudian juga dapat mengkontaminasi lingkungan utamanya terhadap tanah dan perairan, mengingat FABA yang memiliki kandungan arsenik dan timbal yang merupakan kimia senyawa beracun (US EPA, 1988).

Dilema Pemerintah

Melihat dari kelebihan dan kekurangan FABA apabila dikeluarkan sebagai Limbah B3, maka tentunya pemerintah dihadapkan pada posisi yang dilematis. Walaupun tidak dikategorikan sebagai limbah B3, namun FABA dapat mencemari lingkungan sekitar apabila tidak dikelola dengan baik. Di sisi lain, pencabutan FABA dari kategori limbah B3 dapat mendorong ekonomi dan membuka peluang investasi.

Kemudahan dalam administrasi pengelolaan FABA dapat meningkatkan angka Ease of Doing Business di Indonesia. Namun, yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pengambilan keputusan ini adalah pemanfaatan FABA di Indonesia terbilang rendah. Keterlibatan setiap aktor diperlukan terutama sektor industri batu bara, agar pemanfaatan FABA lebih optimal dan siap untuk dikeluarkan dari limbah B3. (**)

DAFTAR PUSTAKA

  • Ekaputri, J. J., & Al Bari, M. S. (2020). Perbandingan Regulasi Fly Ash sebagai Limbah B3 di Indonesia dan Beberapa Negara. Media Komunikasi Teknik Sipil, 26(2), 150-162.
  • Gunawan, A. (2021). Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  • Digest. F. (2021) Untung-Rugi Abu Batu Bara Bukan Lagi Limbah B3. Retrieved December 9, 2021, from https://www.forestdigest.com/detail/1046/faba-limbah-batu-bara-b3.
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img