SAMARINDA – Seluruh pemerintah daerah se-Kaltim telah merealokasi anggaran sehubungan pandemi Covid-19. Total dana yang dialihkan sepuluh pemerintah kabupaten/kota dan Pemprov Kaltim menembus Rp 1,5 triliun. Akan tetapi, baru 52 persen atau Rp 783 miliar yang terserap untuk belanja pencegahan dan penanganan Covid-19 sepanjang 2020.
“Berkaca dari kasus-kasus di daerah lain, muncul potensi korupsi dari penggunaan dana tersebut di Kaltim,” demikian Fathul Huda Wiyashadi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda –di bawah Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)–, Jumat (25/6/2021).
Menurut Fathul, ada beberapa kasus di daerah lain yang dapat dijadikan dasar munculnya potensi penyelewengan. Di wilayah Jabodetabek, penyelewengan dana Bansos Covid-19 oleh Menteri Sosial Julian Batubara. Di Sumatera Barat, muncul dugaan kasus penyelewengan dana hand sanitizer.
“Lagi pula, penanganan Covid-19 di Kaltim tidak semaksimal dengan banyaknya anggaran yang sudah dikucurkan,” kata Fathul. Menurutnya, dana besar yang tak terserap juga dapat berpotensi korupsi. Yang paling rawan adalah dana bantuan sosial. “Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat bisa menjadi bancakan oknum pejabat. Ini harus dikawal,” sambungnya.
YLBHI yang telah menginisiasi LaporCovid19.org telah membuka posko pengaduan untuk mengawal alokasi anggaran tersebut. Masyarakat dapat melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran bantuan sosial Covid-19 di Kaltim. Posko pengaduan di Samarinda adalah yang pertama dari rencana 17 posko di seluruh Indonesia.
Fathul mengatakan, laporan dari masyarakat kepada LBH Samarinda akan diproses dan dianalisis. Setelah dikategorikan menurut jenis persoalan, informasi tadi akan diteruskan. Jika sehubungan kebijakan pemerintah, laporan dibawa ke instansi terkait. Jika berpotensi pidana, laporan akan diadvokasi ke ranah hukum. Laporan itu tidak terbatas di Samarinda melainkan sepenjuru Kaltim termasuk Kaltara.
“Posko pengaduan dibuka di sekretariat LBH di Jalan Gitar No 30A, Samarinda Ulu. Bisa pula via daring melalui akun media sosial LBH Samarinda,” terang Fathul.
LBH Samarinda mengutip catatan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, yang disadur Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Menurut Kemendagri, dari Rp 1,5 triliun dana yang direalokasi pemprov dan pemkot/pemkab di Kaltim, Rp 783 miliar telah dibelanjakan untuk tiga kategori.
Pertama, belanja bidang kesehatan. Serapannya sebesar Rp 394 miliar atau 62 persen dari Rp 636 miliar yang dialokasikan. Kedua adalah belanja penyediaan jaring pengaman sosial. Dari Rp 635 miliar yang disiapkan, hanya Rp 294 miliar atau 46 persen yang dipakai. Ketiga, belanja penanganan dampak ekonomi. Dari Rp 263 miliar dana dari seluruh pemerintah daerah, hanya Rp 114 miliar atau 43 persen yang dibelanjakan.
Secara keseluruhan, anggaran pemerintah daerah se-Kaltim yang tidak dibelanjakan mencapai Rp 731 miliar. Kabupaten/kota terbesar yang merealokasi dana untuk penanganan Covid-19 adalah Kutai Barat. Kabupaten ini mengalokasikan Rp 305 miliar sementara yang dipakai hanya Rp 30 miliar atau 10,07 persen. Selanjutnya adalah Balikpapan dengan Rp 108 miliar, yang terpakai Rp 74 miliar (58,94 persen). Kutai Timur di posisi selanjutnya dengan sediaan dana Rp 105 miliar, terpakai Rp 80 miliar (76,26 persen). Bontang menjadi daerah dengan anggaran Covid-19 paling kecil yaitu Rp 58 miliar dengan Rp 51 miliar (87 persen) telah dibelanjakan (selengkapnya, lihat infografis berikut):
Jumlah anggaran yang tak terserap ini amat besar. Rp 731 miliar hampir setara buat membangun Jembatan Mahkota IV (Jembatan Kembar), plus jalan pendekatnya yang menghabiskan Rp 800-an miliar. Dana itu juga setara untuk mengaspal jalan sepanjang 365 kilometer (asumsi umum biaya pengaspalan Rp 2 miliar per kilometer). Jarak yang cukup buat menempuh Samarinda hingga Kelay, Berau.
Terpisah, Sekretaris Provinsi Kaltim, Muhammad Sa’bani, menyambut baik pendirian posko pengaduan tersebut. Ihwal potensi tidak transparan dan rendahnya penggunaan dana, Sa’bani bilang, semua telah dilaporkan kepada BPK RI.
“Semua transparan, sudah dilaporkan dan diaudit BPK RI,” jelasnya, Jumat (25/6/2021). Kalaupun realisasinya dinilai rendah, Sa’bani menambahkan, dana tersebut merupakan anggaran belanja tidak terduga.
“(Anggaran) yang tidak harus habis karena dibelanjakan sesuai kebutuhan untuk kejadian luar biasa atau bencana. Kalau ada sisanya, berarti tetap di kas daerah. Tidak dibelanjakan,” tutupnya. (kk)