KEBIJAKAN terbaru dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengenai pakaian Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang dituangkan dalam Surat Keputusan No. 35 Tahun 2024 telah menimbulkan polemik. Kebijakan ini tidak mencantumkan opsi pakaian berhijab bagi anggota perempuan Paskibraka, yang mengindikasikan pengabaian terhadap keberagaman dan hak individu.
Dalam prosesi kenegaraan baru-baru ini, terlihat ada 18 dari 76 anggota Paskibraka 2024 yang mengenakan hijab, namun tidak mengenakan jilbab saat dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo pada 13 Agustus lalu.
Keputusan ini berpotensi melanggar hak anak untuk menjalankan keyakinan agama mereka, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Adanya pemberitaan tentang surat pernyataan kesediaan anggota Paskibraka perempuan untuk melepas jilbab secara sukarela mencerminkan bentuk intoleransi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Di tengah tuntutan global untuk menghormati dan melindungi hak-hak individu, kebijakan ini tampak sempit dan tidak inklusif.
Dalam ajaran Islam, menutup aurat merupakan kewajiban yang diatur dalam Surah Al-Ahzab Ayat 59. Mengharuskan anggota Paskibraka untuk melepas jilbab berarti bertentangan dengan ajaran agama dan meremehkan komitmen individu terhadap keyakinan mereka.
Pancasila sebagai dasar negara seharusnya mengajarkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman. Namun, kebijakan BPIP yang menetapkan seragam tanpa opsi jilbab justru mencerminkan ketidakpedulian terhadap prinsip-prinsip tersebut. Kebijakan ini tidak hanya membatasi kebebasan beragama, tetapi juga bertentangan dengan semangat persatuan yang seharusnya mendasari setiap kebijakan publik.
Oleh karena itu, BPIP perlu segera meninjau ulang kebijakan ini dan mempertimbangkan opsi yang lebih inklusif. Kebijakan seragam tidak seharusnya mengorbankan hak individu untuk menjalankan keyakinan mereka. Paskibraka harus menjadi simbol persatuan yang mencerminkan keberagaman, bukan keseragaman yang membatasi kebebasan beragama.
Sebagai negara yang mendukung hak asasi manusia dan keberagaman, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan publiknya mencerminkan nilai-nilai tersebut. Paskibraka harus berfungsi sebagai contoh positif dari kesatuan bangsa yang menghargai perbedaan, bukan sebagai alat untuk menegakkan keseragaman yang membatasi hak individu. Kebijakan ini perlu direvisi untuk memastikan bahwa keberagaman tetap dihargai dalam kerangka persatuan.
Oleh:
Atiqah Mumtazah Ameliah Bura Datu
Advokat, Dosen STAI Balikpapan