Pemilihan daerah serentak tahun 2024 tinggal menghitung bulan. Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan menyelenggarakan Pilkada Serentak yang direncanakan digelar pada tanggal 27 November 2024 mendatang.
Pilkada serentak kali ini rasanya tak seindah filosofi pemilu sebagai musyawarah besar bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, desas-desus kotak kosong kembali mencuat ke publik menjelang Pilkada serentak tahun 2024.
Tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat setiap tahun. Sejak pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2015, 2017, 2018, 2020, dan diprediksi meningkat pada pilkada 2024.
Pertanyaannya adalah, apakah pemilihan kepala daerah yang hanya menyisakan calon pasangan tunggal saja menunjukkan regenerasi calon pemimpin daerah sangat rendah atau arogansi politik?
Pada prinsipnya, pilkada serentak merupakan upaya untuk menciptakan local accountability, political equity, dan local responsiveness.
Pemilihan kepala daerah secara serentak menjadi momentum bagi masyarakat untuk menyelenggarakan hasrat politik yang diharapkan mampu menghantarkan pada kondisi regenerasi kepemimpinan yang lebih baik pada masa-masa yang akan datang dengan profesional dan demokratis.
Pilkada juga menjadi momentum masyarakat untuk berada di atas bayang-bayang kepemimpinan yang baru yang dapat mengatasi persoalan ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan persoalan lainnya yang mewarnai kehidupan masyarakat. Pemimpin daerah yang merepresentasikan kepentingan rakyat adalah mimpi besar seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Tak terkecuali bakal Pilkada serentak Provinsi Kalimantan Timur. Hari-hari ini, masyarakat Benua Etam sedang diperhadapkan dengan bayang-bayang kotak kosong. Setelah mundurnya Mahyudin sebagai salah satu kompetitor Pilkada Kaltim karena merasa elektabilitasnya tidak mumpuni, kini tersisa dua kandidat yang sekiranya sama kuatnya yaitu pasangan Isran Noor – Hadi Mulyadi dan Rudi Masu’d – Seno Aji.
### Estimasi Politik
Kalkulasinya adalah; dengan amunisi 45 kursi karena mengamankan 7 parpol, Rudi Masu’d memungkinkan menjadi kandidat terkuat di Pilgub Kaltim.
Sementara di pihak Isran-Hadi sampai saat ini belum terlihat hilal dukungan parpol. Satu-satunya harapan untuk melanggeng di pentas Pilgub Kaltim adalah dukungan dari PDIP dengan 9 kursi dan Demokrat dengan 2 kursi.
Hampir semua partai politik seolah dikuasai oleh kekuatan gaib hingga menyisakan 2 partai saja yang belum menentukan sikap.
Munculnya potensi calon pasangan tunggal ini tentu tidak baik bagi demokrasi pada tingkat daerah. Alih-alih menilai figur berdasarkan kekuatan intelektualitas, sebaliknya diperhadapkan dengan kotak suara yang kosong. Rakyat hanya dihadapkan pada pilihan untuk memilih atau tidak memilih calon.
Lobi-lobi partai politik menjadikan calon pasangan tunggal tentu saja bukan hal baru. Strategi ini dianggap manjur untuk memenangkan pilkada. Antara cerdas atau licik, cara ini memang dapat menumbangkan kompetitor lain tanpa harus bertarung.
Kondisi ini memprihatinkan di mana partai politik cenderung pragmatis dalam menentukan pemimpin. Strategi calon tunggal tentu saja adalah kemunduran kualitas demokrasi yang tidak sehat. Selain tidak adanya rujukan referensi bagi masyarakat terkait pasangan calon yang tersedia, kualitas pemimpin sudah pasti diragukan kualitasnya.
Kendatipun pemilihan tetap berjalan karena legalitas Mahkamah Konstitusi, upaya-upaya monopoli politik untuk memenangkan pertarungan pilkada sebetulnya memberi gambaran pada masyarakat tentang “calon tunggal saja menunjukkan regenerasi calon pemimpin daerah sangat rendah atau arogansi politik?” Tentu saja arogansi politik.
Penulis: Syaifudin, S.H, Pengamat Politik