spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Perlukah Etika Dalam Komunikasi Multikultural Milenial?

Kita ketahui bersama bahwa sejak kasus pertama pada 14 Februari 2020, pandemi virus covid-19 telah menyerang kesehatan masyarakat indonesia hingga saat ini. Hal tersebut menyebabkan terganggunya hampir seluruh aktivitas masyarakat agar terhindar dari virus covid-19.

Seperti larangan bepergian selama pandemi, hilangnya pekerjaan bagi sebagian besar orang, serta sekolah dan perguruan tinggi yang diharuskan melakukan kegiatan belajar mengajar secara online dan lebih sering menggunakan media sosial sebagai pengganti bertatap muka secara langsung.

Dalam berkomunikasi di media sosial, sikap sopan santun adalah yang paling utama karena setiap orang memiliki kepercayaan dan kebudayaannya masing-masing. Pembicaraan di media online akan nyaman bila pelakunya memiliki etika.

Di masa pandemi etika berkomunikasi itu sangat dibutuhkan. Dengan etika yang benar, orang akan lebih mengerti dengan pesan yang ingin kita sampaikan dan pesan tersebut tidak mengundang perselisihan.

Dari beberapa sumber, perilaku-perilaku negatif yang dapat terjadi akibat penggunaan media online dalam aspek multikultural adalah sebagai berikut.

  1. Pengaruh media sosial terhadap perilaku masyarakat yang memunculkan konflik Penggunaan media sosial dapat menimbulkan konflik terkait isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA). Penggunaan media sosial yang tidak bijak oleh pengguna tertentu dapat menjadi sumber munculnya keresahan dalam dunia maya.
  2. Pengaruh media sosial terhadap budaya politik generasi milenial Generasi milenial dengan penggunaan media sosial yang intens cenderung berpartisipasi secara politik dengan memanfaatkan media sosial menjadi katalisator. Media sosial beserta kontennya dijadikan sebagai platform dalam membentuk persepsi politik, kepercayaan, sikap, dan tindakan kalangan generasi milenial dalam menentukan pilihan, memberikan rekomendasi, dan mengajak orang lain untuk memilih pasangan calon dukungannya. Hal ini bisa memiliki dampak positif, tetapi bisa berdampak negatif apabila memunculkan perpecahan dan konflik antar kubu atas pasangan calon yang diusung.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Microsoft tentang Digital Civility Index (CDI) selama tahun 2020, warganet Indonesia disebut sebagai pengguna media sosial paling tidak sopan seAsia Tenggara.

Hasil studi tersebut menguat ketika pada April 2021 lalu, pasangan gay di Thailand menerima berbagai komentar buruk dari warganet Indonesia karena pernikahan mereka. Mayoritas dari warganet tersebut memberi komentar berupa hinaan dan kalimat kasar, seperti “pernikahan yang akan membuat dunia kiamat”, “sialan”, dan “orang gila”.

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Microsoft tersebut pula, apabila berdasarkan perhitungan global, dinyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 dari 32 negara yang dipilih sebagai data survei.

Kemkominfo menyebutkan ada lima etika di dunia media sosial berdasarkan kesepakatan ASEAN SOMRI (Senior Officials Responsible for Information) yang dilaksanakan pada 22-23 Maret 2017. Lima etika tersebut dijelaskan dalam Core Values on Digital Literacy for ASEAN.

  1. Tanggung jawab (Responsibility) berarti setiap pengguna harus berpikir terlebih dahulu dan bertanggung jawab atas apa yang diunggah secara online. Kebebasan dalam mengutarakan opini di media sosial bisa menjadi bumerang bagi penggunanya ketika postingan tersebut mengandung opini yang menyinggung satu atau beberapa pihak. Salah satu contoh isu yang sering memunculkan perdebatan adalah isu SARA. Oleh karena itu, setiap pengguna wajib mempertimbangkan lagi untuk mengangkat topik terkait SARA di media sosial. Jika pengguna tetap ingin mengangkat isu tentang SARA, maka mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka bagikan, termasuk bagaimana tanggapan pengguna lainya atas isu tersebut.
  2. Empati (Empathy) berarti setiap pengguna harus saling menghormati dan memikirkan bagaimana interaksi kita di media sosial bisa mempengaruhi orang lain. Menggunakan bahasa yang sopan di media sosial merupakan salah satu cara untuk menghormati pengguna lainnya. Penggunaan bahasa yang tidak sopan bisa memunculkan konflik mengingat cara penafsiran tiap orang yang berbeda-beda.
  3. Otentik (Authenticity) berarti setiap pengguna harus bersikap jujur dalam berinteraksi dengan pengguna lainnya dan bersiap menerima konsekuensi dari apa yang diunggah. Maraknya penggunaan akun palsu (fake accounts) di media sosial bertentangan dengan nilai ini karena mereka cenderung menyebarkan hal yang tidak benar. Jujur disini bukan berarti menyebarluaskan semua informasi, termasuk hal yang menyangkut privasi. Namun, setiap pengguna hendaknya menunjukan representasi diri yang sejalan dengan diri dalam dunia nyata.
  4. Kearifan (Discernment) berarti setiap pengguna harus bisa mengevaluasi informasi yang didapat secara online dengan kritis sebelum bertindak atas informasi tersebut. Setiap pengguna hendaknya bisa bersikap “cerdas” dalam menyaring setiap informasi yang didapat. Hal ini dimaksudkan agar pengguna media sosial tidak terjerumus kepada berita palsu atau hoaks. Melalui hasil penelitiannya, Christiany Juditha mengatakan bahwa hoaks seringkali ditujukan untuk merugikan pihak-pihak tertentu dengan tujuan menebar kebencian dan permusuhan. Maka dari itu, setiap pengguna wajib memastikan kebenaran dari informasi yang didapat sebelum membagikannya.
  5. Integritas (Integrity) berarti setiap pengguna harus harus melakukan hal yang benar, termasuk membela apa yang benar dan berani melawan perilaku online yang negatif. Kebebasan berekspresi di media sosial harus dibarengi dengan integritas. Setiap pengguna wajib mendukung apa yang benar dan tidak boleh diperdaya oleh hasutan

Berkaca dari contoh kasus dan data-data diatas, setiap pengguna tidak boleh melupakan etika dalam beraktivitas di media sosial. Dikatakan bahwa pengguna media sosial adalah manusia, yang menyebabkan semua jenis kegiatan di dunia maya ini tidak dapat dipisahkan dengan aspek etika.

Mengapa demikian? karena manusia adalah makhluk yang beradab dan bermoral. Tanpa adanya etika, manusia bisa berbuat sesuka hati mereka tanpa memperhatikan pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatannya. Oleh karena itu, etika merupakan hal yang sangat penting dalam menggunakan media sosial terlepas dari kenyataan bahwa media sosial adalah dunia maya yang tidak “benar-benar” ada. (**)

Oleh : Bagus Aditya Aditama, Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti