MENDIRIKAN sebuah partai politik (parpol) hak konstitusi warga negara dan dilindungi undang- undang. Yang akan menjadi ujiannya adalah eksitensi partai pada setiap agenda politik. Demikian disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Budiman.
Menurutnya, parpol baru membutuhkan figur atau tokoh yang mengakar atau sudah memiliki basis massa yang jelas, baik tingkat nasional maupun daerah agar tetap eksis. Setiap parpol besar katanya, sudah memiliki figur. Dia mencontohkan PDI Perjuangan ketuai Megawati, Gerindra dinakhodai Prabowo, atau NasDem yang dipimpin Surya Paloh.
“Partai mengandalkan figur. Ketika itu tidak ada bisa turun (perolehan suara). Contoh Partai Demokrat saat tidak lagi dipimpin SBY (Susilo Bambang Yudhiyono, Red.), suara partai turun, baik untuk legislatif maupun saat Pilkada pemilihan kepala daerah, Red.),” jelasnya.
Di Kaltim ia mengambil contoh Partai Gelora. Ia memprediksi partai pecahan PKS ini berpeluang mendudukkan calegnya di DPRD, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pasalnya, sosok Hadi Mulyadi sebagai ketua Partai Gelora Kaltim sudah terbukti memiliki konstituen yang bisa membawanya terpilih sebagai legislator hingga menjadi wakil gubernur.
Budiman menganggap hal ini sebagai bonus yang secara tidak langsung mampu menaikkan elektabilitas Partai Gelora di Kaltim. “Artinya parpol baru ini tergantung figurnya supaya bisa bicara banyak,” terang Budiman.
Hanya saja untuk mendudukan kader parpol baru di DPR RI katanya, parliamentary threshold (ambang batas parlemen) bisa jadi sandungan. Dia mengambil contoh Giring Ganesha dari PSI yang pada 2019 silam mampu meraih banyak suara, namun gagal duduk di DPR RI karena raihan suara PSI tak mencapai ambang batas parlemen 4 persen.
Di Kaltim, ia mencontohkan salah satu caleg Partai Perindo Kaltim yang maju sebagai calon anggota DPR RI dan sudah mampu mendulang suara cukup banyak, namun partai Perindo secara nasional tak memenuhi persyaratan ambang batas parlemen. “Di daerah mungkin ada partai baru yang bisa mendudukkan calegnya. Kalau di DPR RI apakah bisa?” terangnya.
Budiman menambahkan, sesuai usulan KPU, pelaksanaan Pemilu 2024 digelar 21 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024. Jeda waktu ini katanya akan menjadi ajang “cek ombak” sejumlah parpol termasuk kader-kadernya untuk melihat raihan suaranya sebagai jembatan menuju Pilkada.
“Saya mencermati fenemona pencalegan dan pilkada ke depan, ada jeda waktu beberapa bulan. Prediksi saya mereka (parpol, Red.) akan melihat dari legislatif. Setelah melihat jumlah suara itu, bisa jadi modal maju di pilkada. Bisa jadi ada tokoh yang mau maju pilkada tapi partainya tidak punya suara dan kursi banyak, dia pindah partai yang lebih mapan,” ujarnya. (eky)