Dalam penjelasan kemarin, apabila kita analogikan sebuah kendaraan roda empat, maka dhapur itu sama dengan model kendaraan. Sedangkan pengelompokan keris lurus atau luk dapat dianalogikan sebagai jenis kendaraan misalnya Convertible, Pick Up, Van/Minibus, Off Roader, SUV, dan MPV. Maka untuk keris dengan jumlah luk 7, bisa berdhapur Carubuk, Sempana, Murma Malela, Jaran Guyang, Megantara, Carita dan seterusnya.
Lalu apa saja atribut sebuah dhapur? Sama halnya dengan model kendaraan, misalnya Delica, secara fitur mirip dengan Toyota Nav1 yang kini jadi Voxy, Nissan Serena, dan Mazda Biante. Ciri khas Delica, mesin 2000cc 4 silinder, tempat duduk capten seat, di setir ada cruise control, audio control, dan paddle shift untuk beralih ke manual. Demikian juga dengan dhapur keris, misalnya pada keris sederhana Dhapur Brojol hanya memiliki ricikan blumbangan atau pejetan saja. Sedangkan Dhapur Sempaner adalah memiliki ricikan sekar kacang, tikel alis, sraweyan, sogokan dan greneng. Setiap nama dhapur keris ditentukan oleh adanya ricikan keris dan bilah lurus atau bentuk luknya.
Ricikan keris adalah perincian dari bagian-bagian sebilah keris dengan istilah-istilah yang telah ada turun-temurun. Pada sebilah keris dapat dibagi atas tiga bagian yakni bagian bilah atau wilahan, bagian ganja dan bagian pesi. Bagian wilahan juga dapat dibagi tiga, yakni bagian pucukan yang paling atas, awak-awak atau tengah dan sor-soran atau bidang bawah. Pada bagian sor-soran (atau bagian bawah) inilah ricikan keris paling banyak ditempatkan.
Wilahan (bilah keris) adalah bagian yang paling Panjang, yaitu mulai dari atas ganja hingga sampai ke ujung atau pucukan. Sementara ganja adalah bagian bawah dari sebilah keris, seolah-olah merupakan alas atau dasar dari bilah keris itu. Pada tengah ganja, ada lubang untuk memasukkan bagian pesi. Sedangkan Pesi adalah bagian ujung bilah keris, yang merupakan tangkai keris merupakan tempat untuk deder keris. Di Jawa disebut Pesi, di Riau disebut Putting, di Malaysia disebut Punting, di Sulawesi disebut Oting.
Menurut Kanjeng Haryono Haryoguritno, nama bagian-bagian atau ricikan keris ini digunakan untuk keris se-Nusantara. Meskipun demikian, kerap kali ada perbedaan penyebutan yang dipengaruhi oleh bahasa lokal. Misalnya, di Sulawesi menyebut keris itu sele atau tappi, ganja adalah kancing, pesi disebut oting. Demikian pula di Madura pesi disebut pakseh, ganja disebut ghencah, bilah keris disebut ghember. Di Bali, ada beberapa perbedaan pula menyebut keris dengan kadutan, pesi disebut panggeh, ganja disebut ganje, Hulu keris disebut danganan.
Untuk pengetahuan tentang keris, baik sebagai kolektor atau pemerhati, ricikan keris walaupun merupakan pengetahuan dasar menjadi sangat penting karena setidaknya dapat untuk membedakan jenis-jenis dhapur. Seseorang tidak akan mungkin mengetahui nama dhapur jika ia tidak hafal terhadap ricikan keris ini. Selain itu mempelajari model-model keris lurus dan model-model keris luk, juga mudah sepanjang ada materinya, ada pembimbingnya, dan ada keris yang dijadikan obyek pembelajaran. Sulit apabila hanya membaca narasi dan buku-buku tanpa disertai dengan melihat keris secara nyata.
Di masyarakat perkerisan, ada istilah yang disebut mbesut atau nglaras, yaitu pekerjaan memugar keris untuk mencari Kembali estetika yang pas, karena beberapa ricikan telah aus dimakan usia. Ricikan yang biasanya aus antara lain: ujung bilah, kembang kacang, jenggot, Jalen, lambe gajah, greneng, ri pandhan, ron dha nunut, pudhak sategal, ganja maupun pesi. Sebagai contoh adalah keris dengan dhapur Kalamisani yang memiliki ricikan kembang kacang, lambe gajah dobel, tikel alis, gusen, sogokan rangkap dan greneng. Suatu ketika ada orang yang sedang mencari keris dhapur Pasopati, oleh seorang ahli keris tinggal mengubah kembang kacangnya menjadi pogog disertai larasan sana sini, maka jadilah keris Pasopati.
Ada pula gubahan keris dari dhapur Brojol, kemudian dibuat krawangan pada sor-sorannya sehingga bentuknya menjadi tidak lazim. Ada pula semula lurus digubah menjadi luk, ada pula semula luk 9 digubah menjadi luk 7, atau semula luk 3 menjadi luk 5. Beberapa hasil gubahan menjadi aneh dan mengurangi nilai estetikanya. Akan tetapi gubahan tersebut sangat dimungkinkan apabila tujuannya adalah untuk menambah nilai maharnya.
Penulis juga pernah menemukan sebilah keris di sebuah pameran pusaka (tidak perlu disebutkan nama kotanya), liukan pada luknya tampak wagu baik di sor-soran maupun di luk atasnya. Dari keterangan keris disebut sebagai dhapur Jangkung, setelah diteliti dan dicermati lebih dalam sebenarnya adalah gubahan dari keris lurus yang dibuat luk 3. Apakah ini sah-sah saja? Menurut penulis gubahan sepanjang tidak mengurangi nilai estetika sah-sah saja, akan tetapi apabila gubahan itu membuat bentuknya jadi aneh sebaiknya jangan tergiur untuk segera memahar keris tersebut.
Pertanyaan lainnya, apakah keris yang digubah dari keris lurus menjadi keris luk makna filosofisnya masih seperti keris sebelumnya? Jawabannya sudah pasti berubah mengikuti kondisi keris terakhir (ter-update). Makna filosofis keris bagi manusia adalah sebagai lambang kehidupan yang divisualisasikan oleh Pesi dan Ganja (Lingga dan Yoni). Kemudian keris lurus sudah dijelaskan beberapa waktu lalu melambangkan keteguhan hati dan kekuatan iman, sekaligus melambangkan tauhid yakni Kepercayaan terhadap Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ketika dirubah menjadi dhapur Jangkung, maka maknanya melambangkan permohonan kepada Tuhan agar cita-cita baik yang menyangkut keduniawian dan kerohanian dapat tercapai dan segala rintangan dapat diatasi dengan mudah.
Pertanyaan terakhir dari sahabat kepada penulis, apakah mengoleksi keris lurus dan keris luk bersamaan diperbolehkan? Jawabannya tentu saja boleh. Meskipun kita sebagai pemerhati keris mengoleksi berbagai macam dhapur keris, namun pada kenyataannya tetap ada krenteg (ketertarikan) pada dhapur tertentu. (Habis)
Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara (Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)