spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Perbandingan Keris Lurus dan Luk (1)

Saat diskusi dengan sedulur Panji Beber di Bontang, pernah ada yang menanyakan ke penulis “Bagus mana keris lurus dengan keris luk?” Kala itu jawaban penulis normative saja yaitu “Bagusnya keris sebenarnya bukan dilihat lurus atau luk, tapi keindahan garapannya.” Ada pula seorang penggemar keris muda yang menanyakan, “Mahal mana keris lurus atau keris luk?” Saya jawab pula “Lebih mahal yang garapannya bagus dan ornamennya komplit”

Bro Gede Herman, adalah teman kuliah penulis di Magister Management Universitas Udayana Bali, saking seringnya duduk ngopi bareng sehingga sudah seperti layaknya saudara sendiri. Selama ngobrol baik berdua maupun bersama keluarga, sama sekali tidak pernah bertanya tentang keris kepada penulis. Kecuali saat Serah Terima buku Keris Bali Kontemporer kepada bli Kadek Hendra Lesmana di Kedai Kemah Denpasar, itupun banyak mengulas isi buku perihal filosofi Bali. Di media social Facebook, Bro Gede Herman menanyakan “Apakah ada aturan tentang luk, mengapa rata-rata keris memiliki luk, secara isoteri bagus mana lurus atau luk?” Wah pertanyaan yang luar biasa bagus.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka perlu di babar satu per satu agar dapat memberikan penjelasan yang maksimal. Secara garis besar, wujud fisik keris dapat dibagi atas dua golongan bentuk, yaitu bentuk keris lurus (dhapur leres) dan bentuk keris luk (dhapur luk). Kata luk berasal dari Bahasa Jawa yang artinya adalah keluk atau kelok atau lekuk dan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam dunia perkerisan baik Nusantara maupun mancanegara sudah sama-sama memahami pengertian luk, sehingga dalam sebutan berikutnya kita konsisten menggunakan istilah luk

Ada pula pertanyaan dari Dimas Mada, yaitu keris yang pertama kali dibuat oleh mpu. Dari buku Pretelan Dhapur Dhuwung saha Waos karangan Ranggawarsita yang telah dikoreksi oleh Jayasukadga yang hidup pada zaman Pemerintahan Paku Buwono X, disampaikan bahwa Keris pertama kali dibuat oleh Mpu Ramadi atas titah Sri Paduka Mahadewa Buda adalah dhapur Lar Ngatap, Pasopati dan Cundrik, dimana ketiga keris tersebut jenisnya lurus.

Pendapat tersebut didukung oleh KGPH. Hadiwidjojo, yang merupakan tokoh pencetus kerisologi, budayawan sekaligus merupakan putra Raja Pakubuwono X yang juga memprakarsai berdirinya Paguyuban Boworoso Tosan Aji di Solo pada tahun 1959. Kanjeng Hadiwidjojo menyatakan bahwa keris lurus lebih dahulu dibuat karena ibarat kepribadian yang masih murni, belum ada niat untuk ambisi yang bermacam-macam

Arief Syaifuddin Huda dalam buku Sejarah Keris, Menyusun rekonstruksi urutan evoluasi keris sebagai berikut: Pertama adalah Kapak Batu sebagai awal prototype peralatan benda tajam buatan manusia yang selanjutnya diikuti bentuk Kapak Besi Awal. Selanjutnya bentuk kapak semakin memanjang karena berfungsi sebagai pisau, lalu muncul bentuk belati sederhana dengan menggunakan, pesi yang kemudian berkembang dengan tambahan munculnya ganja dan methuk, wujudnya masih berdiri tegak atau lurus. Periode selanjutnya muncul Bethok Kabudan dengan berbagai varian, lalu di era Singosari berubah menjadi lebih langsing.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpukan bahwa cikal bakal keris adalah keris lurus (leres), pisau Kadga yang dipergunakan untuk persembahan juga bentuknya masih lurus, seperti yang tampak dalam patung-patung kuno. Penggalian makna simbolis dan filosofis oleh nenek moyang kita, mendefinisikan keris lurus sebagai upaya manusia untuk berkiblat kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Beberapa ahli kajian pusaka mengatakan bahwa keris lurus ibarat Sarpa Tapa (ular yang sedang bertapa)

Lalu ada inovasi dengan munculnya dhapur Cengkrong yang kemudian diikuti dengan bentuk keris luk sederhana (Luk Kabudan). Selanjutnya penciptaan dhapur-dhapur luk baik oleh mpu maupun oleh pemesan keris tersebut diserta pula dengan penggalian makna simbolis dan filosofisnya, yang mendefinisikan keris luk sebagai upaya manusia yang masih harus merampungkan urusan duniawinya. Kajian para ahli pusaka mengatakan bahwa keris luk ibarat sarpa lumaku atau ular sedang berjalan (untuk luk sedikit) dan sarpa nglangi atau ular yang sedang berenang (untuk luk banyak).

Nenek moyang bangsa Nusantara sudah mengenal Ilmu Tipologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau jenis obyek tertentu. Bilah keris dikelompokkan berdasarkan ricikan tertentu kemudian diberi nama dan disepakati oleh semua pihak, nama-nama hasil pengelompokan wujud bilah keris tersebut itulah yang disebut dhapur. Menurut pengalaman Kanjeng Haryono Haryoguritno yang telah mengidentifikasi dhapur-dhapur keris (khususnya Jawa) telah di peroleh sekitar 207 nama dhapur keris.

Gaya dan irama pada keris luk, apabila diperhatikan lebih seksama akan terlihat wujud yang berbeda. Dalam Kaweruh Padhuwungan, jenis luk dibedakan sebagai berikut:

  1. Luk hemet-hemet, yaitu luk yang sangat landai hampir tidak nampak luk nya dan sepintas seperti keris lurus pada umumnya, akan tetapi tidak lurus sempurna.
  2. Luk kemba, yaitu luk yang landai tetapi lebih jelas dibandingkan luk hemet-hemet, lebih terlihat luk nya meskipun belum terkesan tegas. Ibaratnya sebagai sarpa lumaku (ular sedang melata).
  3. Luk keker, yaitu luk yang terlihat iramanya lebih tegas daripada luk kemba. Ibaratnya seperti sarpa ngelangi (ular sedang berenang)
  4. Luk rengkol, yaitu luk yang lekuk-lekuknya sangat tegas dan penuh dengan kekuatan yang sangat dinamis. Ibaratnya seperti sarpa nyander (ular bersiap menyerang)

Adapun ular yang dimaksud diatas adalah sosok naga yang di Nusantara memiliki konotasi atas kekuatan magis sehingga menjadi inspirasi yang dihubungkan dengan spiritualitas. Wujud naga sudah ada pada bangunan-bangunan kuno seperti di Komplek Percandian Dieng di Jawa Tengah, panji-panji kerajaan, di pintu masuk bangunan suci tempat bersembahyang dan hingga di gandar gong dalam seperangkat gamelan. Naga dalam alam pikir Nusantara dipercaya memiliki makna simbolis dan filosofis untuk menunjukkan sebagai pelindung dari marabahaya (Bersambung)

Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga,
Bidang Edukasi Senapati Nusantara (Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti