spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Peran Milenial Meminimalisir Sikap Intoleransi Dalam Multikultural di Masa Kini

Oleh: Fachrizal Rafel, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman

Indonesia merupakan negara yang terlahir dengan banyak sekali keanekaragaman suku, budaya, ras, dan agama. Indonesia bisa disebut sebagai negara dengan masyarakat multikultural.

Masyarakat multikultural adalah sebuah kelompok masyarakat yang hidup bersama dalam tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berbeda. Merupakan sebuah fakta bahwa Indonesia merupakan sebuah negara dengan keanekaragaman yang kompleks. Sehingga, masyarakat Indonesia pun terlahir sebagai manusia yang tinggi akan rasa toleransi.

Dalam sejarah panjang Indonesia, pluralitas telah menghasilkan budaya-budaya baru yang ikut melengkapi kemajemukan bangsa ini. Artinya, seluruh masyarakat di Indonesia tak terkecuali apapun latar belakangnya dapat hidup berdampingan dan memiliki ruang yang sama dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, Perbedaan yang seharusnya merupakan sebuah anugerah, perlahan berubah menjadi bencana. Jika berkaca dari kompleksitas perbedaan setiap masyarakat dan dinamika sosial masyarakat yang tinggal di Indonesia, perbedaan prinsip yang didasari oleh nilai-nilai kepercayaan terhadap budaya dan agama lah yang menjadi akar permasalahannya.

Intoleransi terhadap budaya di Indonesia merupakan masalah mengakar yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan. Dari tahun 1996-sekarang tercatat sudah banyak sekali konflik yang bernuansa intoleransi terhadap budaya maupun agama.

Konflik ini tidak hanya terjadi secara verbal, tetapi juga secara fisik melalui penyerangan terhadap anggota kelompok budaya lain hanya karena perbedaan prinsip yang mereka percayai satu sama lain.

Salah satu konflik yang baru saja terjadi akhir tahun ini adalah penghancuran Masjid Miftahul Huda di Sintang, Kalimantan Barat yang tentu saja dilakukan oleh kaum intoleran yang mengatasnamakan agama. Penghancuran rumah ibadah ini tentu saja menyalahi hak seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat merasa aman memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

BACA JUGA :  Pajak Untuk “Manusia Super”

Secara sosiologis, konflik memang rawan terjadi ditengah-tengah masyarakat multikultural. Salah satu konflik yang paling mudah digiring adalah konflik isu agama. Isu keagamaan yang terkadang dibalut dengan hoax seringkali menjadi akar konflik sikap intoleran. Bahkan fanatisme terhadap loyalitas beragama hanya dapat menyatukan orang-orang dengan pemikiran sama dan menjauhkan atau bahkan mengisolasi kelompok mereka dari kelompok lainnya.

Terlahir dalam keberagaman seharusnya masyarakat Indonesia memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Lalu, mengapa sampai sekarang konflik intoleransi masih berjamur? Hal ini dikarenakan karena lunturnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai keberagaman budayanya.

Kebanyakan dari mereka hanya ingin memahami budayanya sendiri dan tidak ingin mengenal budaya lain. Banyak juga masyarakat Indonesia yang merasa budayanya lebih superior dari budaya lain, merasa agamanya lebih baik hanya karena pemeluknya mayoritas, merasa sukunya lebih tinggi hanya karena stereotip yang diciptakan masyarakat itu sendiri, dan masih banyak lagi.

Timbulnya konflik intoleransi juga dapat disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa budaya adalah sebuah identitas. Semakin intim kedekatan masyarakat tersebut dengan budayanya, maka akan semakin sensitif isu tersebut jika diangkat ke hadapan publik. Kemudian, hal ini akan membentuk loyalitas terhadap golongannya sehingga mereka yang memiliki loyalitas sangat tinggi akan cenderung bersifat lebih radikal. Radikalisme inilah yang menjadi penyokong dari sikap intoleran.

Tak hanya itu, ujaran kebencian di media sosial yang menyangkut SARA merupakan masalah yang turut membesarkan sikap intoleransi ini. Media sosial merupakan tempat penyampaian informasi yang cepat dan masif. Tidak ada penyaringan informasi di media sosial. Segala bentuk informasi yang terpercaya maupun tidak dapat diakses dengan mudah.

BACA JUGA :  Politik Identitas Ancaman Pemilu 2024

Hal ini yang terkadang dimanfaatkan oleh kaum intoleran untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok tertentu. Pengangkatan isu sensitif yang berisi hoax tidak hanya menimbulkan kemarahan publik, tetapi juga bisa sampai dengan perpecahan antara kelompok. Media yang terkadang menampilkan isu hoax agar mendapatkan rating dan viewers yang banyak merupakan oknum yang bertanggung jawab terhadap perpecahan dan konflik yang terjadi diantara masyarakat Indonesia.

Masifnya penyebaran hoax dan ujaran kebencian membuat semboyan “Bhineka Tunggal Ika” tidak lagi ada maknanya. Setiap kelompok yang tergiring kebohongan mulai melakukan penyerangan terhadap kelompok lain yang digiring dalam isu bohong tersebut. Tidak ada lagi kata perbedaan merupakan anugerah, selama kelompok intoleran masih melakukan aksinya maka perbedaan tersebut adalah bencana.

Dengan begitu, intoleransi merupakan permasalahan yang menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Khususnya generasi Milenial. Lalu, bagaimana peran generasi milenial dalam meminimalisir sikap intoleransi ini?

Sebagai generasi yang masih berusia produktif dan tentu berpendidikan. Kita merupakan garda terdepan yang seharusnya berinisiatif untuk meminimalisir sikap intoleransi antar masyarakat Indonesia ini. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah: Pertama, berkontribusi dalam peningkatan kualitas literasi masyarakat. Dengan ini kita dapat memilah informasi yang valid dan tidak valid mengenai suatu isu.

Tak hanya kemampuan memilah informasi, tetapi juga mengembangkan pola pikir terhadap suatu isu agar tidak dapat dengan mudah tergiring isu-isu hoax. Kedua, selalu libatkan tujuan kultural dalam perkembangan negeri ini. Dengan ini masyarakat akan terbiasa untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat multikultural. Sehingga, struktur sosial budaya bangsa ini dapat terjaga dengan baik.

BACA JUGA :  Banjir dan Longsor Terjang Samarinda dan Balikpapan, 34 Lokasi Terendam

Ketiga dan terpenting, mematuhi kode etik jurnalistik. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat segala informasi yang disampaikan sekarang bentuknya digital. Oleh karena itu, profesionalitas media dan pers harus diperhatikan dalam menyampaikan informasi kepada publik. Mengingat media adalah sarana penyampaian informasi yang masif dan cepat, media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap keberagaman budaya Indonesia kearah yang lebih baik.

Sehingga, media sosial dipandang sebagai salah satu akses untuk dapat meredam konflik-konflik intoleransi. Agenda ini tentu harus dibarengi dengan meningkatkan kemampuan media dan pers dalam menyampaikan informasi mengenai keberagaman budaya secara positif. Tidak hanya itu, optimalisasi Dewan Pers terhadap pengawasan kode etik jurnalistik juga perlu dikawal secara kritis.

Terakhir, rasa cinta kita terhadap tanah air lah yang perlu dipupuk. Sebagai rakyat Indonesia, sudah tugas kita untuk menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap seluruh budaya di Indonesia. Sudah tugas kita untuk memandang keberagaman sebagai anugerah, bukan bencana. Dan tentu sudah tugas kita untuk melestarikan budaya Indonesia agar tidak tergerus oleh globalisasi dan keegoisan kaum intoleran. (**)

Referensi:

  • Shaira, R. E., Nurida, T. D., & Hidayat, R. (2021). Populisme dan Intoleransi Dalam Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Digital Indonesia. Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development, 3(1), 43-52. https://doi.org/10.52483/ijsed.v3i1.51
  • DIGDOYO, Eko. (2018). Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan Tanggung Jawab Sosial Media. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. doi: http://dx.doi.org/10.24269/jpk.v3.n1.2018.pp42-59.
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img