spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Penyebabnya Perlu Dievaluasi

Polisi merupakan aparat penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban dan mengayomi masyarakat. Polisi diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat sehingga penting bagi Polri untuk menaati kode etik profesi. Namun masih ada oknum-oknum polisi yang tak memahami tugasnya.

Pengamat hukum dan kebijakan publik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Profesor Sarosa Hamongpranoto mengatakan, instruksi tegas Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai bentuk memperbaiki citra kepolisian sekaligus peringatan kepada anggota Polri agar tidak melakukan pelanggaran.

Dia menilai perlu dilakukan evaluasi penyebab oknum polisi melakukan pelanggaran. Dia mencontohkan oknum polisi yang menembak anggota polisi di Lombok Timur. Menurutnya hal ini sudah diluar kendali karena sampai membawa masalah pribadi.

“Kenapa sekarang banyak oknum Polri yang out of control? Perlu dievaluasi kasus per kasus, apakah faktor penyababnya? Apakah psikologisnya, atau pengawasan yang kurang dan lain sebagainya,” terang guru besar Fakultas Hukum Unmul tersebut, Sabtu (30/10/2021).

Terpisah Ketua Front Aksi Mahasiswa (FAM) Kaltim Muhammad Nazaruddin menilai tindakan aparat kepolisian masih kurang humanis terhadap masyarakat. Padahal sejak Jenderal Listyo Sigit Prabowo dilantik sebagai kapolri, dirinya menginstruksikan agar polisi mengedapankan asas humanisme.

Dia mencontohkan oknum polisi yang memeriksa telepon seluler warga secara berlebihan (kasus Aipda MP Ambarita), atau saat pengamanan aksi demonstrasi di Tangerang, Rabu (13/10/2021), dimana salahsatu mahasiswa pendemo dibanting. Di Kaltim katanya, juga masih sering terjadi aksi kekerasan kepada pengunjuk rasa saat demonstrasi.

“Kita mengharapkan anggota kepolisian bisa humanis kepada masyarakat. Bila ada oknum melakukan pelanggaran, yang rugi institusi kepolisian sendiri. Kita lihat apakah instruksi kapolri akan diindahkan atau tidak. Bila ada yang melanggar apa tindakan petinggi kepolisian,” ujarnya.

SEPERTI OBAT GENERIK

Erwin F Syuhada, aktivis dari Fraksi Rakyat Kutai Timur (FRK) menceritakan aksi demonstrasi mahasiswa Kutim, kadang menimbulkan gesekan dengan aparat kepolisian. Bahkan pernah katanya, beberapa mahasiswa turut dilarikan ke rumah sakit akibat dari gesekan tersebut.

Erwin mencontohkan saat dia dan teman-temannya melakukan aksi unjuk rasa pernah berbenturan dengan aparat kepolisian. Ia didorong dan dipukul pada bagian bahu serta perut, bahkan leher dipiting.

“Yang terbaru saat kami demo di depan gedung DPRD Kutim, saat itu terjadi saling dorong hingga menyebabkan pintu kaca gedung DPRD pecah. Anehnya saat itu polisi menuding demonstran yang memecahkan pintu kaca itu, padahal jelas-jelas pelaku utamanya polisi. Bisa dilihat dalam video dokumentasi,” cerita Erwin.

Erwin berharap polisi tidak bersikap berlebihan saat mengamankan demontrasi. Polisi katanya, sebisa mungkin membatasi sikap mereka agar tidak terjadi kontak fisik dengan demonstran.Dalam aksi demonstrasi katanya, mahasiswa sebenarnya lebih mengutamakan orasi ketimbang kekerasan fisik.

Erwin menilai intruksi Kapolri dalam Surat Telegram Rahasia (STR) bisa diibaratkan obat generik yang dapat dibeli di warung-warung terdekat saat kita tiba-tiba sakit kepala atau demam. Namun belum bisa dipastikan apakah dapat menyembuhkan penyakit yang diderita atau tidak.

“Pertanyaan selanjutnya seberapa paten obat generik ini mampu melawan penyakit yang sudah bertahun-tahun melekat di tubuh Kepolisian,” tutup Erwin. (eky/ref)

16.4k Pengikut
Mengikuti