spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Penjemputan 3 Aktivis Terduga Positif Covid-19 di Samarinda Disebut Janggal, Inilah Kronologinya

“Tolong, ya, jangan ada yang foto-foto. Kami tidak pakai APD (alat pelindung diri) yang lengkap,” pinta seorang perempuan yang mengaku petugas Dinas Kesehatan Samarinda bernama Silvi. Ia bersama keempat rekannya sedang menguji swab di beranda sekretariat Kelompok Kerja 30 (Pokja 30, sebuah lembaga nonpemerintah yang berfokus kepada isu korupsi dan transparansi anggaran). Setelah uji swab kelar, Silvi berjanji memberikan hasilnya melalui WhatsApp kira-kira empat sampai lima hari kemudian. Keesokan hari, tidak sampai 24 jam, rombongan petugas datang memberitahukan tiga orang terkonfirmasi positif Covid-19. Berikut kronologinya.

Rabu, 29 Juli 2020
Sekitar pukul 15.00 Wita, Silvi dan tim datang ke sekretariat Pokja 30 di Jalan Gitar, Kelurahan Dadimulya, Kecamatan Samarinda Ulu. Tim yang mengaku dari dinas kesehatan itu mengadakan uji acak karena ditemukan klaster baru di wilayah tersebut. Setelah berkeliling, sambung Silvi, tidak satu warga pun yang berkenan. Ia lantas meminta beberapa orang di dalam sekretariat sebagai relawan. “Selain kantor ini, kami juga swab di penginapan itu,” kata Silvi sambil menyebutkan nama sebuah tempat.

Ada tujuh orang di dalam sekretariat Pokja 30. Tiga orang adalah jurnalis yang sedang mewawancarai para aktivis. Sementara dua orang berikutnya, dari Jaringan Advokasi Tambang Kaltim. Sisanya adalah seorang aktivis Pokja 30 dan seorang tamu. Para jurnalis dan aktivis ini menyetujui permintaan Silvi mengingat tujuan uji swab sangat penting yakni mencegah penyebaran Covid-19. Lagi pula, tes swab tersebut tidak dipungut bayaran.

Silvi bersama dua petugas kesehatan segera mengeluarkan alat-alat pemeriksaan dari dalam mobil. Ketiganya mengenakan masker, sarung tangan, dan pelindung wajah, tanpa jubah hazmat. Silvi meminta para peserta uji swab tidak memfoto pemeriksaan tersebut karena petugas tidak mengenakan APD lengkap. Namun demikian, seorang peserta swab sempat mengabadikannya.

Di pertengahan uji swab, datanglah Bernard Marbun, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Samarinda (LBH Samarinda di bawah naungan Yayasan LBH Indonesia). Mengaku baru dari Pengadilan Negeri Samarinda, Bernard diminta petugas untuk di-swab. Ia sempat menanyakan identitas dan surat tugas dari pemeriksa tes. Para petugas menjawab, setelah tes akan ditunjukkan. Bernard pun diperiksa. Seluruh pemeriksaan berjalan sebagaimana umumnya kecuali bungkus dari peralatan medis yang dibuang begitu saja ke dalam tong sampah di teras sekretariat.

Selepas delapan relawan tadi selesai di-swab, para petugas hendak meninggalkan sekretariat Pokja 30. Tidak sampai semenit keluar dari pagar, Silvi memanggil dengan sedikit berteriak. Dia bertanya apakah masih ada orang di kantor sebelah yakni sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim dan LBH Samarinda. Kantor aktivis lingkungan dan hukum itu memang berdampingan dengan Pokja 30 di Jalan Gitar. Di dalam sekretariat Walhi, ada Yohana Tiko selaku direktur Walhi Kaltim serta Fathul Huda Wiyashadi dari LBH Samarinda. Tiko dan Fathul bersedia menjadi relawan.

“Yang saya ingat, selepas pemeriksaan itu surat tugas yang saya minta tidak juga ditunjukkan,” jelas Bernard, dalam konferensi pers virtual, Sabtu, 1 Agustus 2020. Konferensi pers ini diikuti hampir seluruh aktivis Walhi di Indonesia serta sejumlah media nasional dan lokal.

Kamis, 30 Agustus 2020
Tiga sampai empat mobil, beberapa di antaranya berpelat merah, berhenti di depan kedua sekretariat pada pukul 14.30 Wita. Beberapa orang yang turun mengenakan seragam oranye dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda. Mereka membawa alat semprot disinfektan. Sisanya adalah petugas kesehatan termasuk yang mengaku bernama Silvi, ditambah beberapa orang berpakaian sipil. Selain petugas disinfektan tadi, tak seorang pun yang mengenakan jubah hazmat. Mereka hanya mengenakan masker dan sarung tangan tanpa penutup wajah.

Kepada sejumlah aktivis di sekretariat Walhi Kaltim, Silvi mengatakan, tiga orang dinyatakan positif pada siang itu, atau tidak sampai 24 jam setelah tes swab. Ketiganya ialah Tiko dari Walhi Kaltim serta Bernard dan Fathul dari LBH Samarinda. Tujuh yang lain disebut negatif.

Petugas mulai menyemprotkan disinfektan ke seluruh ruangan. Setelah itu, beberapa orang berpakaian sipil memasuki kantor dengan alasan mencari seseorang. Para aktivis yang sedang di luar karena sekretariat baru saja disemprot mengaku heran. Orang-orang tersebut memeriksa seluruh ruangan di kedua sekretariat seperti mencari-cari seseorang.

“Kami juga bingung karena saat itu hanya tiga orang di sekretariat Walhi,” jelas Fathul. Ia mengaku, perbuatan tersebut seperti penggeledahan, sebuah perbuatan hukum yang hanya boleh dilakukan penyidik berdasarkan izin pengadilan.

Sembari isi kantor diperiksa, petugas meminta ketiga aktivis dibawa ke rumah sakit namun ditolak. Menurut para aktivis, petugas belum menunjukkan hasil uji laboratorium sementara hasil uji hanya lisan disampaikan. Mereka khawatir tertular Covid-19 justru ketika di rumah sakit. Penolakan berikutnya didasari bahwa petugas tidak menunjukkan surat tugas dalam kegiatan tersebut dan tidak memakai APD lengkap. Para aktivis tidak ingin –jika mereka benar-benar positif– perjalanan ke rumah sakit tanpa APD lengkap justru menulari para petugas.

Sehari setelah tes swab, petugas datang untuk menyemprot disinfektan. Beberapa petugas berpakaian sipil tidak mengenakan APD lengkap.

Sempat terjadi perdebatan namun petugas akhirnya tidak membawa aktivis yang diduga positif. Pada akhir “kunjungan”, seorang petugas mengatakan, akan kembali esok hari dengan membawa aparat keamanan. Seorang aktivis Jatam sempat bertanya kepada seseorang berpakaian sipil yang nampaknya memimpin kegiatan tersebut. Aktivis itu ingin mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutnya oleh tujuh peserta swab yang dinyatakan negatif. Kepada aktivis tersebut, orang berpakaian sipil itu hanya berkata, “Kalau negatif, ya, sudah. Enggak apa-apa.”

Selepas penyemprotan disinfektan, jurnalis kaltimkece.id mendatangi penginapan yang pada hari sebelumnya disebut petugas juga diperiksa swab. Namun demikian, menurut penjaga penginapan, tidak ada uji swab sepanjang hari itu termasuk penyemprotan disinfektan. “Bisa dipastikan, di sepanjang blok kami tidak ada yang di-swab kecuali kedua kantor ini,” jelas Yohana Tiko.

Jumat, 31 Juli 2020
Pagi-pagi sekali pada Iduladha 1441 Hijriah, Yohana Tiko menerima sehelai surat di depan sekretariat Walhi Kaltim. Surat itu berasal dari ketua RT setempat yang menyatakan warga keberatan dan tidak nyaman dengan adanya penghuni kantor yang terinfeksi Covid-19. Para aktivis diminta diisolasi di rumah sakit. Sementara untuk isolasi mandiri, ditolak dengan alasan untuk kebaikan warga sekitar.

Surat dari ketua RT setempat yang menyatakan warga keberatan jika para aktivis isolasi mandiri.

Menjelang petang, kira-kira pukul 17.00 Wita, beberapa mobil dan sebuah ambulans tiba di depan sekretariat. Selain petugas yang kemarin, ada anggota Satuan Polisi Pamong Praja Samarinda, kepolisian, serta pemerintah setempat. Jumlahnya sekitar 15 orang. Beberapa di antara mereka mengenakan jubah hazmat, namun lebih banyak yang tidak.

Sama seperti hari sebelumnya, ketiga aktivis yang hendak dibawa ke rumah sakit meminta hasil laboratorium. Para aktivis juga meminta surat tugas dan identitas para petugas namun tidak ditunjukkan. Menurut Fathul dari LBH Samarinda, adalah wajar bagi seorang pasien meminta rekam medis. Lagi pula, hak tersebut dilindungi undang-undang. “Namun, mereka tidak bisa menunjukkan hasil laboratorium,” terangnya.

Memasuki magrib, perdebatan semakin berat. Petugas tetap meminta para aktivis dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakitlah, sambung petugas, hasil laboratorium ditunjukkan. Di tengah persitegangan tersebut, beberapa orang sampai berkata-kata dengan nada tinggi. Situasi semakin panas karena di luar sekretariat sudah ramai. Sejumlah orang mulai berteriak-teriak. “Angkut, angkut!”

Melihat situasi seperti itu, terang Bernard dari LBH Samarinda, ia dan kedua rekannya bersedia dibawa ke RSUD Inche Abdoel Moeis di Samarinda Seberang. Syaratnya, mereka mendapatkan hasil uji laboratorium di RS. Hari sudah gelap ketika tiga aktivis tersebut dibawa dengan ambulans. Setibanya di tempat parkir rumah sakit, Fathul lagi-lagi meminta hasil tes. Petugas rumah sakit yang menerima mereka, kata Fathul, terlihat kebingungan. Petugas rumah sakit berkata bahwa mereka hanya bertugas mengarantina pasien yang diantar tim Satgas Covid. “Tanya sama yang bawa (penjemput para aktivis),” jawab petugas rumah sakit seperti ditirukan Fathul.

Tak lama berselang, para aktivis disodori surat pernyataan menolak dirawat di rumah sakit karantina. Mereka tidak menandatangani surat tersebut karena hasil laboratorium belum juga diterima. Jumat malam itu, sudah lebih dari 30 jam sejak pertama kali petugas menyebut ketiganya positif. Tiko dari Walhi Kaltim menambahkan, mereka bertiga lantas seperti ditelantarkan di tempat parkir rumah sakit.

Tidak ada pegawai rumah sakit yang menemui sementara petugas yang membawa mereka satu per satu pergi. Kejadian inilah yang dirasa amat janggal. Selepas dua jam menunggu di tempat parkir, ketiganya menghubungi seorang kerabat untuk menjemput. Mereka pun meninggalkan RSUD IA Moeis. “Sekarang kami mengisolasi secara mandiri di tempat lain, bukan di sekretariat. Kondisi kami sehat tanpa gejala,” jelas Tiko.

BACA JUGA: Dinkes Bantah Jemput Paksa 3 Aktivis, Sebut Warga Sekitar Resah, Ada Aspek Sosial

Sebut Beragam Keanehan
Dalam konferensi pers virtual pada Sabtu siang, penjemputan para aktivis ini dinilai aneh. Yang pertama adalah betapa cepat hasil swab diperoleh yakni kurang dari 24 jam. Irmah Hidayana, pencetus gerakan Lapor Covid-19, menyatakan bahwa hampir di semua daerah, hasil laboratorium PCR memerlukan waktu cukup lama bahkan bisa 10 hari sejak pemeriksaan. “Jika hasil tes di Samarinda keluar kurang dari 24 jam, kita perlu berikan apresiasi,” tuturnya.

Keanehan kedua menurut Irma adalah tidak diberlakukannya revisi kelima Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/MENKES/247/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Orang tanpa gejala, gejala ringan dan sedang, tidak perlu dirawat di rumah sakit. Kebijakan ini, sebut Irma, bertujuan agar orang dengan gejala berat diutamakan untuk dirawat dan mencegah rumah sakit kelebihan kapasitas.

Dalam pernyataan resminya, Juru Bicara Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, sejak dua pekan silam telah mengatakan orang berstatus positif tanpa gejala tidak perlu dirawat di rumah sakit. Mereka hanya diwajibkan karantina mandiri. “Memang beberapa daerah sudah membuat isolasi secara kelompok dengan pengawasan ketat karena dikhawatirkan menjadi sumber penularan. Namun demikian, di beberapa daerah masih memberi kebebasan untuk isolasi mandiri,” katanya.

Ketentuan tersebut sudah berjalan di Samarinda yakni para tenaga medis terkonfirmasi positif di RSUD Abdul Wahab Sjahranie. Direktur Utama RSUD AWS, David Masjhoer, juga menyarankan para petugas melakukan isolasi mandiri. Contoh lain adalah isolasi mandiri oleh Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Samarinda, Dr Osa Rafshodia, mengatakan, ketiga aktivis tersebut dikarantina di rumah sakit karena aspek sosial. Bisa saja, kata dia, masyarakat sekitar risih atau takut tertular sehingga meminta Satgas Covid-19 membawa ketiga aktivis tersebut ke rumah sakit. Ia juga menerangkan bahwa tidak semua kasus bisa disamakan seperti karantina mandiri wagub Kaltim.

“Bukan begitu melihatnya, ‘kan ada aspek sosial. Pandemi ini ada permasalahan sosial juga,” terangnya kepada jurnalis di Samarinda, tanpa menjabarkan lebih jauh aspek sosial yang dimaksud.

Menurut Yohana Tiko dari Walhi Kaltim, ada yang aneh bila aspek sosial disebut sebagai alasan penjemputan. Masalahnya, kata dia, tes swab acak hanya di sekretariat. Padahal, ada titik yang lebih ramai di dekat wilayah tersebut. “Ada sebuah kedai di depan sekretariat yang sangat ramai setiap malam, mengapa hanya kantor kami yang dites?”

Sementara itu, Sekretaris Tim Satgas Covid-19 Samarinda, Sugeng Chairuddin, mengatakan, belum menerima laporan mendetail mengenai peristiwa ini. Sugeng yang juga menjabat sekretaris kota ini hanya menerima informasi dari media sosial karena sedang hari libur kerja.

“Senin nanti, saya panggil untuk menanyakan hal tersebut. Secara protokol, memang harus ada hasil seperti swab test positif,” sebutnya. Mengenai isolasi mandiri, Sugeng mengatakan, harus dilihat secara komprehensif. Berdasarkan laporan sementara yang diterima, Sugeng menyebutkan bahwa ada surat dari ketua RT yang menyatakan keberatan terhadap isolasi mandiri. Dinas kesehatan lantas meminta penjemputan tersebut.

Yang menarik adalah penjelasan Sugeng berikutnya ketika disinggung mengenai hasil laboratorium yang tidak diterima pasien. Termasuk begitu cepatnya hasil tes para aktivis keluar. Menurut Sugeng, selama ini perlu tiga sampai empat hari sejak seseorang diperiksa untuk mengetahui hasil laboratorium PCR. Kondisi ini dialami juga di tingkat provinsi. Tracing masif sekarang ini menyebabkan ribuan orang yang dites sehingga antrean di laboratorium panjang. Kecuali dilakukan di pemeriksaan keliling menggunakan mobil, hasilnya bisa diketahui dalam 40 menit.

“Kategori yang di-tracing seperti orang yang pernah kontak erat dengan yang terkonfirmasi positif. Kemudian, seperti pernah datang ke suatu tempat dan kontak dengan orang yang positif,” jelasnya.

Dalam persoalan ini, Sugeng menilai, harus dilihat apakah ada kelalaian atau kesengajaan dalam prosedur pemeriksaan. Kalau lalai, katanya, tentu harus dipertimbangkan mengingat para petugas saat ini diserang kelelahan luar biasa. “Tetapi kalau ada unsur kesengajaan, tentu dihukum,” jelasnya.

Wakil Ketua Advokasi YLBHI, Era Purnama Sari, justru menduga ada kekuatan besar di balik penjemputan ini. Bukan tidak mungkin, katanya, ada provokasi untuk membenturkan masyarakat sekitar dengan para aktivis. Dampak setelah penjemputan ini ialah timbulnya jarak antara warga dengan para aktivis. Kondisi tersebut akan mengganggu perjuangan para aktivis.

Walhi, LBH Samarinda, dan sejumlah organisasi nonpemerintah di Kaltim pernah dan sedang mengikuti sejumlah kasus lingkungan. Selain tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, mereka mengadvokasi warga yang berselisih dengan perusahaan sektor kehutanan di Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara. Para aktivis juga aktif menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja serta revisi UU Mineral dan Batu Bara yang baru disahkan.

“Atas peristiwa ini, kami mengirimkan surat protes kepada Kapolri, kepala Satgas Covid-19 di Jakarta, dan wali kota Samarinda,” terang Direktur Eksekutif Walhi (nasional), Nur Hidayati. (*)

Ditulis Oleh: Fel GM, Dilengkapi oleh: Robithoh Johan Palupi, Nalendro Priambodo
Artikel ini telah tayang di kaltimkece dengan judul: Duduk Perkara Penjemputan Tiga Aktivis Terduga Positif Covid-19 di Samarinda yang Disebut Janggal

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti