spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pengaruh Tren Cosplay Budaya Jepang terhadap Budaya Indonesia

Oleh : Alda Puspita & Vivid Huda

TREN cosplay (costume player) dari budaya Jepang sudah tidak jarang ditemukan di setiap kalangan masyarakat. Tren ini marak muncul di Indonesia pada kisaran tahun 2000an dan kini hadir hampir di setiap kota besar di Indonesia. Akibat perkembangan teknologi dan globalisasi menjadikan tren cosplay menjadi budaya baru di Indonesia dan tentunya memberikan pengaruh terhadap perilaku mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.

Fenomena cosplay dianggap menjadi wadah hiburan dan sarana dalam mengekspresikan diri bagi pecinta anime Jepang. Tren cosplay dari budaya Jepang sendiri tidak hanya sebatas tren memakai kostum dengan meniru gaya fisik karakter dari anime, manga, atau game Jepang namun juga bagaimana mereka membangun karakter yang ditirukan.

Tidak jarang mereka membuat kostum sendiri dengan keterampilan mendesain, menjahit, hingga membuat kostum dengan teknik unik dan canggih untuk dapat meniru karakter anime yang mereka sukai. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga pandai dalam ber-make up serta acting untuk memberi nilai tambah pada karakter yang mereka tiru. Disanalah letak kreativitas mereka sebenarnya yang kerap kali menjadi daya tarik bagi orang lain yang melihatnya.

Dari kreativitas mereka itu, kemudian dipamerkan di berbagai event-event cosplay. Tidak hanya melakukan pameran, bahkan pada event-event tertentu tersedia kontes cosplay sehingga menjadikan mereka memiliki kesempatan untuk bersaing secara kreatif dan ikut memeriahkan komunitas mereka.

Hal ini juga memunculkan rasa kepercayaan diri, namun terkadang rasa kepercayaan diri itu kerap kali berlebihan hingga melanggar norma dan kultur yang menjadi landasan bangsa Indonesia, lantaran melanggar yakni dikarenakan kostum cosplay yang identik dengan pakaian yang terbuka dan mini. Mengingat masyarakat di Indonesia adalah masyarakat dengan pemeluk agama Islam terbesadan memiliki aturan berbusana yang tertutup dan sopan. Tidak hanya berbusana terbuka, cosplayer juga tidak jarang berpose tidak senonoh pada saat mengambil foto.

Tren cosplay membutuhkan banyak biaya sehingga besar kemungkinan mengajarkan perilaku untuk bergaya hidup hedonis. Tidak jarang cosplayer yang ingin mengikuti event cosplay menyewa ataupun membeli kostum dengan harga mahal. Belum lagi kecenderungan perilaku yang membuat mereka ikut-ikutan dalam merayakan dan memeriahkan hari spesial budaya asing.

Dari hadirnya para penggemar anime dan cosplayer, memunculkan stereotype di Indonesia dengan sebutan ‘wibu’. Sebutan ini sering kali dilekatkan kepada orang-orang yang mencintai budaya Jepang secara berlebihan. Hal tersebut kadang kala membuat mereka tidak diterima di lingkungan sosial karena dianggap sebagai kaum minoritas. Tidak jarang juga ditemukan kasus perundungan dan diskriminasi yang diterima oleh mereka.

Tren cosplay ini sebenarnya baik untuk wadah berekspresi dan meningkatkan kreativitas, hanya saja dalam pengimplementasiannya haruslah tetap sesuai dengan nilai budaya di Indonesia, mereka harus bisa memikirkan dampak bagi generasi kedepannya dan bagi negara yang mereka pijak apabila tidak memfilter budaya-budaya tersebut. Apabila sesuatu sudah dianggap sebagai sebuah ‘tren’ maka besar kemungkinan orang-orang lain yang bahkan tidak menyukai atau tidak menonton hal-hal yang berbau Jepang akan ikut berpartisipasi dan menormalisasikan hal itu. Lambat laun tren cosplay jika tidak difilter akan membuat lunturnya nilai-nilai yang dianut, terlebih lagi banyak anak-anak dan remaja sekarang yang mengikuti apa yang mereka lihat dan menurut mereka keren. Kemampuan mereka masih kurang dalam memastikan hal tersebut sebenarnya baik atau tidak untuk dirinya, hal inilah yang membuat seharusnya orang tua memberikan pengawasan terhadap perilaku anak.

Harapannya setelah ini semoga para cosplayer tidak lagi menutup mata dan telinga mereka, mereka boleh untuk menyalurkan hobby dan kesenangan ketika itu masih dalam batas wajar dan tidak dalam jangka waktu ‘sering’, mereka harus bisa melihat dampaknya bagi perilaku yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. (*)

Alda Puspita Dewi & Vivid Huda
Mahasiswa Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.  

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti