Deru mesin truk masih meraung-raung ketika Ely, 30 tahun, bersama 300-an pengemudi truk menepi di jalan poros Samarinda-Bontang, Sungai Siring, dekat Bandara APT Pranoto. Koordinator Lapangan Persatuan Leveransir Bahan Bangunan (PLBB) itu bermaksud membawa rombongan truk ke Kantor Gubernur Kaltim. Ely dan kolega hendak berunjuk rasa setelah rekan mereka ditahan atas tuduhan menambang ilegal.
Pada Rabu (1/9/2021), pukul 09.00 Wita, Ely dan rombongan truk dihentikan aparat keamanan di dekat bandara. Seorang pria berseragam yang mendekati Ely meminta lima perwakilan demonstran saja yang menemui pengambil kebijakan di kegubernuran. Pria itu juga meminta demonstran tidak berkerumun karena Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level IV masih berlaku di Samarinda.
Akhirnya lima perwakilan, termasuk Ely, tiba di kantor gubernur. Mereka menyatakan, menyesalkan tindakan Balai Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK). Gakkum melarang penggalian batu gunung di Desa Danau Redan, Teluk Pandan, Kutai Timur, sehingga menyebabkan mata pencaharian utama buruh dan sopir hilang.
“Padahal, 80 persen masyarakat menggantungkan hidup di situ,” terang Ely kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, melalui sambungan telepon. Menurutnya, penambangan batu gunung sudah berlangsung sejak 1982. Para sopir truk menerima Rp 350 ribu sekali mengangkut. Dikurangi ongkos operasional dan setoran kepada pengelola pertambangan, sopir hanya menerima kurang dari Rp 200 ribu.
PLBB juga menyesalkan tindakan Gakkum KLHK yang menahan seorang teman mereka yang bekerja sebagai penambang batu. Dalam inspeksi mendadak sebulan silam, Gakkum KLHK juga mengamankan sebuah ekskavator dan truk. Gakkum KLHK menyatakan, aktivitas penambangan itu illegal karena di dalam kawasan hutan lindung. “Padahal, kalau memang illegal, kenapa cuma batu gunung? Banyak tambang batu bara (illegal) di sana,” tukas Ely.
Kepala Gakkum KLHK, Eduward Hutapea, menjelaskan runtun perkaranya. Pada awalnya, investigasi dan sidak Gakkum dimulai setelah menerima laporan warga. Aktivitas tambang batu gunung disebut sudah berlangsung panjang dan berulang kali.
“Dulu, penanganan sudah ada hanya tidak tuntas atau seperti apa, ya. Saya tidak tahu persis karena baru memangku jabatan di sini,” ucap Eduward melalui sambungan telepon.
Singkatnya, Senin, 26 Juli 2021, Gakkum LHK dan Polres Kutim datang ke desa di dekat Kilometer 18 jalan poros Bontang-Samarinda tersebut. Lokasi penambangan ternyata masuk kawasan hutan lindung. Gakkum LHK menangkap empat orang yang terdiri dari sopir truk, operator alat berat, dan pemodal. Berdasarkan pemeriksaan, dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka berinisial J sebagai pemodal dan MZ sebagai operator alat berat. Dua yang lain dibebaskan.
“Mereka memahami bahwa kawasan itu adalah bagian dari hutan lindung tetapi masih saja melakukan (aktivitas pertambangan),” ungkap Eduward. “Mereka juga mengakui melakukan kegiatan penjualan,” sambungnya.
Keduanya saat ini dijerat Pasal 19 A Junto Pasal 94 Ayat 1 A Junto Pasal 98 Ayat 1 UU 18/2013 tentang Pemberantasan, Pencegahan dan Kerusakan Hutan. Ancaman hukumannya paling lama 10 tahun penjara.
Menanggapi keluhan PLBB, Eduward menjelaskan, Gakkum LHK hanya menindaklanjuti aduan masyarakat. Adapun mengenai dampak ekonomi, bisa diatasi melalui proses perizinan simpan-pakai. Pemerintah daerah, sebutnya, bisa membuka kesempatan mengenai hal tersebut. “Masalahnya, dari awal tidak mengajukan izin. Jika aktivitas (pertambangan) sudah dalam tanda kutip, menjadi tradisi, ‘kan, belum tentu sesuai koridor undang-undang,” imbuhnya.
Eduward juga menanggapi argumen bahwa banyak tambang ilegal yang berkeliaran di kawasan hutan lindung. Eduward mengaku, memahami keluhan itu. Akan tetapi, tindakan hukum ini juga diambil untuk menciptakan efek jera bagi penambang lain.
“Jadi, pendekatannya adalah; kalau ada lima penjahat, ditangkap satu, yang lain berhenti. Efeknya yang jelas bagi kami adalah bagaimana perbuatan yang bersifat pidana bisa dihentikan,” jawabnya.
TIDAK TEBANG PILIH
Penertiban pertambangan ilegal di kawasan hutan lindung memang sudah sewajarnya. Akan tetapi, hukum sepatutnya tidak tebang pilih. Pertambangan ilegal batu bara bukan hanya merugikan masyarakat dan lingkungan, negara pun tak dapat pemasukan.
“Gakkum tidak boleh tebang pilih,” demikian Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Yohana Tiko. Ia menilai bahwa Gakkum KLHK semestinya konsisten membredel semua aktivitas tambang ilegal.
Adapun sumber masalah yang menimbulkan demonstrasi para sopir, menurut akademikus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memang tebang pilih dalam penegakan hukum. Unjuk rasa ini menunjukkan bahwa konsep perlakuan yang sama di hadapan hukum atau equality before the law tidak berjalan.
“Jadi bukan karena penangkapan (sopir) semata, tetapi karena perbedaan perlakuan sehingga mereka merasa tidak diperlakukan adil,” terang Castro, panggilan pendek Herdiansyah.
Padahal, prinsip persamaan perlakuan di muka hukum merupakan perintah konstitusi, aturan tertinggi dalam sistem hukum negara ini. Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28D UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Castro menjelaskan, idealnya jenis tambang apapun yang beraktivitas secara ilegal di dalam kawasan hutan harus dihukum. Gakkum LHK harus menginvestigasi dan menertibkan seluruh tambang illegal di kawasan tersebut.
“Pertanyaannya, bagaimana mungkin pelaku tambang batuan ilegal diproses hukum, sementara tambang batu bara ilegal dibiarkan begitu saja?” (kk)