spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pembelaan Kakek Tersangka Pencabulan di Balikpapan, Ibu Korban Dituding Merekayasa Kasus

BALIKPAPAN – Sidang perdana praperadilan yang diajukan tersangka pemerkosa anak di bawah umur, sebut saja Joni, 61 tahun, digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Selasa, 9 Oktober 2021. Akan tetapi, sidang tersebut ditunda pekan depan. Kepolisian Daerah Kaltim sebagai tergugat tidak dapat hadir.

Kepala Sub Direktorat IV Remaja, Anak, dan Wanita, Direktorat Reserse dan Kriminal Umum, Polda Kaltim, Ajun Komisaris Besar Polisi I Made Subudi, memberikan penjelasan. Menurutnya, Bidang Hukum (Bidkum) Polda Kaltim yang berwenang menghadiri sidang. “Bidkum tidak hadir karena ada sidang yang lain,” jelas AKBP I Made Subudi kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.

Selepas persidangan, Suen Redy Nababan selaku kuasa hukum Joni memberikan keterangan. Ia mengungkapkan sejumlah dalil yang menunjukkan kliennya tidak bersalah. Kasus pemerkosaan anak tersebut, kata dia, sarat manipulasi.

Pertama, dugaan pemerkosaan korban terjadi pada April 2020. Waktu itu, ibu korban, panggil saja Bunda, sedang ikut suaminya bekerja di luar daerah selama sepekan. Selama itu, putrinya, panggil saja Sunyi, 9 tahun, tinggal di rumah kakek tirinya yaitu Joni. Pada rentang inilah Sunyi diduga diperkosa Joni. Suen Redy selaku kuasa hukum merasa janggal dengan kronologi tersebut.

“Rumah klien kami selalu ramai. Ada istri, anak-anak, dan delapan cucunya. Anak itu (Sunyi) tidur bersama cucu-cucu yang lain. Tidak mungkin tidak ada yang tahu jika anak itu dicabuli,” jelasnya.

Ketika pertama kali mendengar cucunya diperkosa, Joni disebut sangat marah. “Klien kami bahkan meminta agar korban di-visum et repertum dan bersama-sama melaporkan kepada polisi,” jelasnya.

BACA JUGA :  Kampung Bebas Narkoba Efektif Tekan Peredaran Narkoba di Balbar

Suen Redy Nababan juga meragukan barang bukti dalam kasus ini. Hasil visum yang menemukan kerusakan dan robek di selaput dara Sunyi akibat benda tumpul, seprai dengan bercak sperma, dianggap tidak bisa dijadikan barang bukti. Kerusakan di selaput dara korban belum tentu perbuatan Joni. Sperma di seprai pun demikian, belum tentu milik kliennya.

Dalil berikutnya yang dipaparkan Suen Redy adalah kasus tersebut terjadi April 2020 dan baru dilaporkan pada Juli 2020. Artinya, kata dia, ada jeda dua bulan. Segala kemungkinan bisa terjadi.

“Toh, kenapa juga tidak saat kejadian dilaporkan? Kami curiga ini ada permainan,” kata Suen Redy. Dia menyampaikan, keterangan korban tidak bisa dijadikan alat bukti mengingat korban masih berusia 9 tahun. Ucapannya dinilai tidak bisa dianggap valid.

Kasus ini juga dituding sarat rekayasa. Pasalnya, kata Suen Redy, ibu korban memiliki ketidaksukaan kepada keluarga Joni. Bunda disebut banyak membuat masalah seperti kerap bersikap tidak sopan kepada keluarga Joni. Bunda juga disebut sakit hati karena pernah meminta sertifikat tanah milik Joni namun tidak dikabulkan.

Sebelum melaporkan kepada polisi, Bunda dikatakan lebih dulu melaporkan kasus ini kepada gereja tempat Joni mengabdi di Balikpapan. Joni dikabarkan telah dipecat dari pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, Suen Redy yakin, Bunda sengaja memunculkan kasus ini untuk menghancurkan keluarga Joni. Atas dasar-dasar inilah, Joni mengajukan praperadilan dengan tergugat Kepala Polda Kaltim casu quo Direktur Reserse dan Kriminal Umum. Joni tak terima dijadikan tersangka kasus pemerkosaan anak di bawah umur.

BACA JUGA :  Polisi Buru Pemodal Tambang, Tetapkan Pengawas Jadi Tersangka

“Kalau sampai hakim (praperadilan) mencabut status tersangka klien kami, lihat saja. Kami laporkan balik ibu korban,” ucap Suen Redy.

Dugaan pemerkosaan ini mencuat setelah ibu korban bersama kuasa hukumnya keberatan karena laporan mereka dinilai lamban ditindaklanjuti. Bunda mengatakan, polisi selalu bilang masih mengumpulkan alat bukti. Penyelidikan juga terkendala pandemi Covid-19. Setahun sejak pertama kali dilaporkan pada Juli 2020, kuasa hukum Bunda mengirimkan surat pengaduan masyarakat kepada petinggi lembaga penegak hukum. Surat bertanggal 5 Oktober 2021 tersebut ditembuskan kepada Kapolda Kaltim, Kapolri, hingga Presiden.

Tiga pekan kemudian, Joni dikabarkan telah ditetapkan sebagai tersangka dan akan dipanggil Polda Kaltim. Batas waktu pemanggilan sampai Senin, 8 November 2021. Joni kemudian mengajukan praperadilan atas status tersangka yang disematkan kepadanya.

Menanggapi pernyataan kuasa hukum Joni, AKBP I Made Subudi dari Polda Kaltim mempersilakan pihak tersangka membantah semua bukti-bukti. Menurutnya, hasil visum et repertum korban dan sperma di seprai telah diteliti di Pusat Laboratorium Forensik, Badan Reserse dan Kriminal, Mabes Polri, di Surabaya. AKBP I Made Subudi mengatakan, hasil pemeriksaan menunjukkan kerusakan di selaput dara Sunyi dan sperma tersebut identik dari Joni.

“Kita lihat saja nanti,” terangnya.

Sementara itu, kuasa hukum Bunda, Daeng Safura atau Ipung, turut menanggapi. Tentang keterangan korban tidak bisa jadi alat bukti, Ipung menilai, penanganan anak berhadapan hukum (ABH) tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Jika orang dewasa, kata Ipung, keterangan anak tidak bisa menjadi alat bukti karena dasar hukumnya menggunakan KUHPidana. Dalam ABH, kasusnya bersifat lex specialis sehingga dasar hukumnya juga khusus yakni UU 11/2012 tentang Peradilan Anak.

BACA JUGA :  Wakapolda Kaltim Berganti, Kini Irlan Kustian, Herry Rudolf Akan Gantikan Muktiono Jadi Kapolda

Ipung memperjelas dengan menyebutkan bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak sudah menjadi kejahatan luar biasa setelah dikeluarkannya Perpres 1/2016 dan sudah menjadi UU 17/2016. Aturan tersebut khusus mengatur kejahatan seksual terhadap anak yaitu pasal 81 juncto 82 dan yang terkait UU 23/2002 dan UU 35/2014 tentang Perubahan Pertama yaitu Perlindungan Anak. Penanganan kasus kekerasan anak juga diatur di UU 11/2016 tentang Perubahan Kedua UU 23/2002 tentang perlindungan anak yang khusus mengatur perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak di bawah umur.

“Mari kita bersama-sama bicara berdasarkan hukum. Dalam undang-undang tersebut, keterangan anak bisa menjadi alat bukti,” jelas Ipung yang mengaku telah mendampingi anak yang mengalami kekerasan seksual sejak 2003.

Selama menangani ratusan kasus kekerasan anak, Ipung mengatakan, tersangka dan kuasa hukum tersangka sering menuduh korban dan ibunya mengalami depresi, memiliki kelainan jiwa, membuat cerita bohong, dendam, dan merekayasa kasus. Jadi, menurut Ipung, tuduhan-tuduhan tersebut adalah hal biasa karena tidak ada pelaku kejahatan yang mau mengakui perbuatannya.

“Kalau ibunya dibilang membuat rekayasa, oke, mungkin bisa. Tapi, apakah mungkin anak umur sembilan tahun bisa berbohong? Korban menceritakan secara detail mengenai kasus yang dialaminya,” jelas Ipung. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img