SAMARINDA – Pakar Gizi Masyarakat dari Program Studi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, Jamil Anshory, M.Si, mengungkapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kalimantan Timur (Kaltim) belum memenuhi standar kebutuhan gizi anak yang ideal.
Berdasarkan kajian awal, Jamil mengungkapkan anggaran sebesar Rp10.000 per anak per hari tidak cukup untuk menyediakan makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhan.
“Dengan harga Rp10.000, terutama untuk jenjang pendidikan seperti SMA yang membutuhkan 2.650 kilokalori per hari, rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan energi dan gizi seimbang,” ujar Jamil.
Jamil juga menyoroti waktu pemberian makanan yang dinilai kurang sesuai. Misalnya, untuk anak-anak PAUD dan TK, makan diberikan pada pukul 09.30 pagi, yang seharusnya lebih cocok disebut makan selingan, bukan sarapan utama.
“Hal ini dapat mengubah pola makan anak, di mana mereka cenderung tidak sarapan di rumah karena sudah mendapat makanan di sekolah,” tambahnya.
Ia juga menyinggung pentingnya menyesuaikan pola makan dengan kebutuhan kalori berdasarkan usia dan jenjang pendidikan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019, kebutuhan energi harian anak TK adalah 1.400 kilokalori, sementara anak SD hingga usia 9 tahun membutuhkan 1.650 kilokalori.
“Untuk mencukupi kebutuhan ini, makanan harus terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, serta vitamin dan mineral yang cukup. Namun, dengan anggaran Rp10.000, sangat sulit memenuhi semua unsur tersebut secara seimbang,” jelasnya.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) berencana menambah anggaran program MBG sebesar Rp7.000, sehingga total menjadi Rp17.000 per anak. Langkah ini diambil setelah muncul kritik dari berbagai pihak terkait rendahnya alokasi anggaran Rp10.000 yang dinilai tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah.
Meski langkah ini diapresiasi, sejumlah pakar menilai penerapan anggaran tunggal di seluruh wilayah Kaltim perlu dikaji ulang mengingat karakteristik geografis dan biaya hidup yang berbeda-beda.
Jamil, menyoroti pentingnya fleksibilitas anggaran untuk menyesuaikan kebutuhan setiap daerah. Menurutnya, kondisi di daerah perkotaan seperti Samarinda tidak dapat disamakan dengan wilayah terpencil seperti Mahakam Ulu atau Kutai Timur.
“Anggaran Rp17.000 mungkin cukup di Samarinda, tetapi di Mahakam Ulu dengan akses logistik yang sulit, biaya bahan pangan bisa jauh lebih mahal. Oleh karena itu, sebaiknya ada standar anggaran bervariasi yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah,” ujar Jamil.
Jamil menyarankan agar Pemprov Kaltim menerapkan sistem anggaran berbasis wilayah dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti:
- Biaya Logistik: Daerah dengan akses sulit memerlukan biaya tambahan untuk distribusi makanan.
- Harga Bahan Pangan: Ketersediaan bahan pangan lokal dapat menekan biaya di daerah tertentu, sedangkan daerah yang bergantung pada pasokan dari luar memerlukan anggaran lebih besar.
- Jumlah Penerima Manfaat: Daerah dengan jumlah siswa lebih banyak dapat menerapkan efisiensi skala, sementara daerah dengan siswa sedikit mungkin memerlukan anggaran lebih besar per kepala.
“Misalnya, untuk Samarinda atau Balikpapan, anggaran Rp17.000 mungkin cukup. Tapi untuk daerah seperti Mahulu, angka ini mungkin perlu ditingkatkan menjadi Rp20.000 atau lebih agar kualitas makanan tetap terjaga,” tambah Jamil.
Jika Pemprov tetap menerapkan standar tunggal, Jamil khawatir kualitas makanan akan berkurang di daerah yang memiliki biaya hidup tinggi.
“Anggaran Rp17.000 di Samarinda mungkin menghasilkan menu yang cukup bergizi. Tapi di Mahulu, dengan biaya logistik yang tinggi, bisa jadi hanya mencukupi menu dasar, tanpa memperhatikan kebutuhan gizi seimbang,” jelasnya.
Ia juga menekankan program MBG harus fokus pada gizi seimbang, bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan kalori.
“Makanan bergizi harus mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Jika anggaran tidak mencukupi, unsur-unsur penting ini bisa terabaikan,” tambahnya.
Selanjutnya, Jamil kembali menekankan pentingnya pengawasan dan evaluasi dalam penerapan program ini. “Pemprov perlu melakukan uji coba di berbagai daerah untuk melihat apakah anggaran Rp17.000 sudah cukup. Jika tidak, perlu ada revisi anggaran berdasarkan hasil evaluasi tersebut,” tegasnya.
“Jika program ini dirancang dengan cermat, tambahan anggaran Rp17.000 dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan dan kecerdasan anak-anak di seluruh Kaltim. Tapi jika dipaksakan seragam tanpa mempertimbangkan perbedaan wilayah, hasilnya mungkin tidak maksimal,” tutup Jamil.
Penulis: Hanafi
Editor: Nicha R