BALI – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang merupakan revisi atas UU Nomor 8 Tahun 1981. Fokus utama pembaruan ini adalah pada mekanisme acara pidana, mulai dari penyidikan hingga penerapan keadilan restoratif.
Sebagai respons terhadap isu tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Advokasi Peduli Bangsa (APB) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Bali menyelenggarakan webinar bertajuk “Transformasi Peran Advokat dalam RUU KUHAP”, pada Selasa (25/3/2025) malam tadi.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu Soleman B. Ponto (mantan KABAIS TNI), Albert Aries (praktisi dan akademisi hukum), serta Fredrik J. Pinakunary (Founder FJP Law Office). Webinar ini dimoderatori oleh Dr. Lukas Banu, S.H., M.H.
Webinar membahas secara mendalam posisi dan peran advokat dalam draf RUU KUHAP, khususnya terkait perlindungan hukum bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Para narasumber menyoroti pentingnya menjamin agar advokat dapat bekerja tanpa intimidasi atau intervensi dari pihak mana pun.
Soleman B. Ponto mengupas sejumlah pasal dalam RUU KUHAP, di antaranya Pasal 142 ayat (3), Pasal 143, Pasal 145, Pasal 146, serta sejumlah pasal terkait hak dan kewajiban advokat dalam penyelidikan, seperti Pasal 31, 32, 33, 141, 144, hingga 201–202.
Ia secara khusus menyoroti Pasal 142 ayat (3) huruf b yang mengatur tentang larangan advokat memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya. Menurutnya, ketentuan tersebut dapat membatasi ruang gerak advokat dalam melakukan pembelaan publik.
“Usulan saya, huruf b perlu dihapus karena berpotensi membatasi kebebasan advokat dalam melakukan pembelaan publik,” ujarnya.
Soleman juga mengusulkan penambahan ayat baru yang menegaskan bahwa advokat berhak menyampaikan fakta hukum, informasi relevan, dan dokumen pendukung kepada penyidik, sepanjang tidak menghalangi proses hukum.
Terkait Pasal 145 yang menyebut bahwa tersangka yang tidak mampu berhak mendapat bantuan hukum dari advokat, Soleman menilai sudah tepat, namun harus disertai dengan pendanaan dari negara.
“Negara wajib menyediakan pendanaan yang memadai untuk pelaksanaan bantuan hukum ini,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa kritik terhadap RUU KUHAP sangat penting disampaikan ke DPR, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara penyidik dan penyelidik, serta demi masa depan profesi advokat itu sendiri.
“Kalau tidak kita kritisi, kita sendiri yang akan kesulitan,” tegasnya.
Webinar ini diikuti puluhan peserta yang mayoritas berprofesi sebagai advokat. Diskusi berlangsung interaktif dengan analisis pasal demi pasal yang dinilai dapat menyulitkan profesi advokat di kemudian hari.
Fredrik J. Pinakunary mengungkapkan bahwa ia mendapat informasi mengenai Pasal 142 ayat (3) huruf b yang kabarnya telah dihapus oleh DPR RI.
“Kalau memang benar, itu kabar baik,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa advokat tidak mengajak klien berbohong dalam menjalankan profesinya. Namun, pasal-pasal yang multitafsir seperti ayat (3) dapat memunculkan penyimpangan di kemudian hari.
“Ayat (3) cukup mengkhawatirkan, karena di waktu yang akan datang bisa saja ada yang memelintir kebenaran,” tambahnya.
Ia mengingatkan agar advokat tidak menjadi korban dari RUU ini. Apalagi dalam realitas sosial saat ini, hukum sering kali berjalan berdasarkan tekanan publik yang viral.
“Jangan sampai dengan adanya RUU KUHAP ini, justru advokat yang dikorbankan,” ucapnya.
Albert Aries menegaskan bahwa peran advokat telah diatur secara tegas dalam UU Advokat, termasuk statusnya sebagai penegak hukum. Menurutnya, advokat memiliki peran penting dalam setiap tahapan perkara pidana, demi menjamin terpenuhinya hak-hak klien dan proses hukum yang adil.
“Advokat hadir untuk memberikan pembelaan maksimal agar klien mendapatkan haknya,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa peran advokat perlu diperkuat, sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 113/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian Pasal 16 UU Advokat. Putusan tersebut menekankan hak imunitas advokat, sekaligus menunjukkan tanggung jawab besar dalam menjaga marwah profesi sebagai officium nobile.
DPR RI masih melanjutkan pembahasan RUU KUHAP setelah masa reses. Target penyelesaian diharapkan dapat tercapai dalam waktu dekat, mengingat jumlah pasal dalam revisi tersebut tidak terlalu banyak. Sebelumnya, DPR juga telah menghapus Pasal 77 Bab IV yang sempat memuat mekanisme keadilan restoratif dan mencantumkan pasal penghinaan presiden, yang kini bisa diselesaikan melalui pendekatan restorative justice.
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Agus S