spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Mulai Musim Kawin

Catatan Rizal Effendi

MINGGU (8/5) kemarin saya menghadiri empat undangan perkawinan. Usai Lebaran biasanya memang musim kawin. Apalagi wabah Covid dibilang sudah mereda. Jadi undangan bisa lebih bebas meski protokol kesehatan tetap dijaga.

Waktu saya masih menjabat wali kota, setiap minggunya saya menerima undangan resepsi pernikahan antara 10 sampai 15 undangan. Terkadang juga diminta jadi saksi pernikahan. Sehingga para kepala Urusan Kantor Agama (KUA) di 6 kecamatan biasanya sudah menyimpan fotokopi KTP saya untuk pengisian data  sebagai saksi.

Saya pernah dimarahi keluarga Pak Mahmud di Teritip, Balikpapan Timur gara-gara tidak menghadiri undangan resepsi perkawinan anaknya. Padahal hari  itu saya sudah menghadiri 12 undangan. Persis menuju undangan ke-13, resepsi anak Pak Mahmud, saya sudah tak cukup waktu lagi. Kebetulan ada undangan lain di Pangkalan TNI-AU (Lanud)  Dhomber. Jadi saya tidak ke Teritip. Tahu-tahunya Pak Mahmud kirim WA ke saya. Dia bilang saya mempermalukan dia  karena tidak datang. Padahal dia sudah bilang kepada keluarganya, Pak Rizal diundang di mana pun pasti datang.

Jarang keluarga muslim melaksanakan pernikahan pada  bulan Ramadan walaupun boleh. Waktunya yang sangat terbatas dan sang mempelai sendiri tak bisa berbulan madu di siang hari. Apa mau batal puasanya? He he.  Kemarin saya menghadiri satu undangan di Novotel, tapi dari keluarga Kristiani. Malam hari. Terpaksa saya datang setelah salat tarawih. Untungnya jaraknya dekat dari Masjid Agung At Taqwa ke hotel.

Waktu diundang seminar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2011, saya tampil bersama Pak Jokowi ketika masih menjadi Wali Kota Solo. Pak Jokowi memaparkan keberhasilannya memindahkan lokasi UMKM setelah mengajak makan sebanyak 60 kali kepada pelaku UMKM. Pendekatan makan itu saya imbangi dengan cerita saya kepada peserta seminar.

“Saya juga menerapkan pendekatan makan, tapi saya yang ikut makan dan gratis,” kata saya. Caranya saya selalu berusaha menghadiri undangan perkawinan warga. Selain mendapat jamuan makan gratis, saya juga bisa bertemu warga,  ketua RT dan lurah di sana untuk membahas dan memecahkan berbagai masalah pembangunan.

Mengatur waktu menghadiri undangan yang banyak tidak gampang. Apalagi kalau acaranya molor. Setelah Kementerian Agama tidak mengizinkan lagi penghulu swasta, maka semua pernikahan harus dipimpin kepala KUA. Terkadang kepala KUA kewalahan jika yang dinikahkan lebih dari satu. Akibatnya prosesi ada yang terlambat. Kalau terlambat, maka berimbas pada acara resepsi. Saya sering datang tepat waktu pukul 10.00 pagi, tahu-tahunya sang mempelai baru duduk di pelaminan pukul 12.00 siang. Belum lagi ada upacara adat dan sambutan keluarga mempelai.

Dari ribuan acara perkawinan yang saya hadiri, ada dua acara pernikahan yang menarik. Dua-duanya pernikahan massal. Yang satu pernikahan massal di Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan Timur dan satunya lagi pernikahan massal lansia, yang selama ini hanya melaksanakan pernikahan siri, tidak masuk dalam pencatatan Negara.

Saya beberapa kali menghadiri acara pernikahan massal di Pesantren Hidayutullah, yang didirikan KH Abdullah Said pada 5 Februari 1973, lima hari sebelum HUT ke-76  Kota Balikpapan. Antara 20 sampai 40 pasangan yang dinikahkan. Umumnya para santri yang bakal ditugasi menjadi dai ke suatu wilayah. Tapi belakangan masyarakat luar juga boleh ikut.

Yang unik, para santri itu tidak mengetahui siapa calon pasangannya alias tidak bisa memilih. Calon mempelai wanitanya dari para santriwati.  Ada satu tim terdiri dari para kiai dan ustaz pondok yang menentukan dan memilihkan setelah mereka salat istiqarah dan menyelami latar  kedua calon mempelai. Dengan hati deg-degan dan berseri-seri, mereka baru tahu pasangan hidupnya seusai acara pernikahan.

Semua biaya pernikahan termasuk acara walimatul ‘usry-nya ditanggung Pondok Pesantren. Keluarga boleh datang dan ikut merayakan. Acara pernikahan mubarak ini sekarang dilaksanakan hampir di semua daerah di Indonesia di mana cabang Pondok Pesantren Hidayatullah berdiri termasuk di Papua.

Pernikahan massal pertama Hidayatullah dilaksanakan tahun 1977 hanya diikuti 2 pasang santri. Puncaknya tahun 1997 diikuti 100 pasang. Wakil Presiden BJ Habibie sampai hadir bersama sejumlah tokoh nasional lainnya. “Ini budaya pernikahan massal Islami tanpa budaya pacaran seperti yang sering terjadi selama ini,” kata Ustaz Abdul Qadir Jailani, yang menjadi dewan pengarah waktu itu.

Diakuinya tugas memasangkan puluhan santri dan santriwati itu tidak gampang. Ada penelusuran dari aspek pemahaman keislaman, kehidayatullahan, pernikahan dan kepribadian. Semua menjadi pertimbangan. Sejauh ini pasangan nikah mubarak itu hidup langgeng. Tak terdengar yang berakhir dengan perceraian.

Tak kalah uniknya menghadiri pernikahan massal para lansia. Umumnya mereka sudah berusia di atas 50 dan 60 tahun. Karena ketiadaan biaya mereka nikah siri tanpa pencatatan resmi. Yang repot status keturunannya. Karena itu dinikahkan ulang. Saya hanya bisa tersenyum melihat sang mempelai sudah kakek-kakek dan nenek-nenek mengenakan baju pengantin. Bedaknya menor-menor. Belum lagi membayangkan malam pertamanya. Kalau masih…?

RESESI PERKAWINAN

Di Indonesia termasuk di Kaltim dan Balikpapan jumlah orang yang menikah hampir dibilang tak pernah menurun. Kecuali waktu wabah Covid dua tahun terakhir karena ada pembatasan. Tapi di beberapa negara terutama negara maju terjadi kegelisahan karena jumlah orang yang mau menikah cenderung menurun. Ada fenomena yang disebut “resesi seks.” Istilah ini merujuk pada menurunnya mood pasangan di negara itu untuk melakukan hubungan seksual, menikah, dan punya anak.

Sejumlah negara maju yang mengalami hal ini di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Swedia. Belakangan juga negara tetangga kita, Singapura. Jepang merupakan negara  yang memiliki  angka pernikahan terendah di dunia. Sementara di Singapura, angka kelahiran hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Jumlah ini sangat rendah dibandingkan rata-rata global yang berkisar 2,3.  Angka pernikahan di Singapura pada tahun 2020 tercatat hanya 19.430.

Di Korea Selatan ada persatuan wanita  yang menolak norma patriarkal (mengutamakan laki-laki daripada perempuan) yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak, dan bahkan berkencan dan berhubungan seks. Ini yang membuat resesi seks melanda Negeri Ginseng tersebut. Padahal khasiat ginseng sama dengan pasak bumi, di antaranya meningkatkan libido.

Kelompok wanita di Korsel itu bernama “4B” atau “Four Nos,” yang merupakan kepanjangan dari “No Dating, No Sex, No Marriage, and  No Child-rearing.” Artinya, tidak mau berkencan, tidak mau melakukan hubungan seks, tidak mau menikah, dan tidak mau mempunyai dan memelihara anak.

Di  Swedia, anak mudanya lebih suka menjomblo. Mereka mengembangkan budaya  mandiri, sehingga lebih suka tinggal sendiri ketimbang menikah. Padahal menurut penelitian, jumlah warga lajang di Swedia adalah yang terbesar di Eropa.

Mengapa mereka tidak mau menikah? Umumnya karena alasan ekonomi, jam kerja yang panjang,  perselisihan pasangan, repot mengurus anak dan pasangan, penyakit dan ada “oknum” pengganti yakni makin maraknya diciptakan robot-robot yang gagah atau seksi sejalan dengan kemajuan teknologi sekarang ini.

Di Jepang ada karakter holografis yang lagi disukai. Namanya Gatebox Fairy, yang secara luas dianggap memenuhi syarat untuk melayani penggunanya sebagai teman wanita. Bahkan sudah ada warga Jepang yang menikah dengan karakter hologram tersebut. Contohnya, Akijiko Kondo (35), yang menikahi hologramnya yang disebut  Hatsune Miku.

Robot LOVOT dari perusahaan Jepang juga mulai laris.  LOVOT mampu menjaga suhu tubuhnya seperti manusia dan bisa meminta pelukan. Permintaannya meningkat hingga 15 kali lipat pada 2020 akibat pandemi dan efek dari lonely economy (kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup sendiri).

Beberapa minggu lalu viral di medsos, wanita cantik buatan China bernama “Colly.” Harganya 10 ribu dolar AS plus pajak. Wanita tanpa jiwa ini 100 persen terbuat dari fanta flesh material silicone spareparts. Setelah diisi daya, dapat beraktivitas selama 72 jam tanpa gangguan.

Karena bekerja dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), Colly dapat berbicara dengan bahasa apa pun termasuk bahasa Indonesia dengan tingkat akurasi 99 ppersen Coba cermati dialog robot (betina?) bernama Colly itu dengan pewawancara bernama John. Colly mengaku sanggup melakukan apa pun keinginan John. Mulai memasak, dan semua pekerjaan dalam rumah tangga, termasuk urusan ranjang. Pokoknya paket komplet. Nah, lho.

Kalau sudah dipasarkan, Colly bakal menjadi saingan baru dari wanita sesungguhnya. Apalagi dia tidak rewel dan pencemburu. (**)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti