spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

MK: Bubarkan Parpol yang Membiarkan Politik Uang!

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi mengatakan partai politik (parpol) yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan sebagai efek jera.

“Bahkan, untuk efek jera, partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh Pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan,” kata Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis.

Pernyataan tersebut merupakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi ketika merespons dalil Pemohon terkait sistem pemilu proporsional terbuka yang rentan mengakibatkan terjadinya politik uang.

Saldi Isra menegaskan bahwa praktik politik uang berpotensi terjadi dalam semua sistem pemilihan umum. Langkah untuk menimbulkan efek jera merupakan salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya praktik politik uang.

Langkah lainnya adalah partai politik dan para calon anggota DPR/DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi dan bahkan sama sekali tidak menggunakan praktik politik uang pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.

Selain itu, Saldi Isra juga memandang penting kesadaran dan pendidikan politik masyarakat untuk tidak menerima dan menoleransi praktik politik uang. “Karena jelas-jelas merusak prinsip-prinsip pemilihan umum yang demokratis,” kata Saldi.

Ia menambahkan bahwa peningkatan kesadaran masyarakat tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara, serta penyelenggara pemilihan umum.

Tetapi juga menjadi tanggung jawab kolektif partai politik, masyarakat sipil, dan pemilih. “Sikap ini pun sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah, bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali,” kata Saldi Isra.

Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.

Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.

Mahkamah Konstitusi pun menyatakan menolak permohonan Para Pemohon, sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.

“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis.

PARPOL TETAP KUAT
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa partai politik tidak serta-merta dilemahkan dengan penerapan sistem proporsional daftar calon terbuka, terbukti dari peran sentral partai dalam menentukan bakal calon anggota legislatif untuk pemilihan umum (pemilu).

“Partai politik tetap memiliki peran sentral dalam menentukan dan memilih calon anggota DPR/DPRD yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana dan program kerja partai politik yang bersangkutan,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Pernyataan ini membantah dalil para pemohon yang menilai bahwa sistem proporsional terbuka melemahkan peran partai politik.

Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan nomor urut calon anggota legislatif (caleg) sangat krusial dalam menentukan kemenangan.

Saldi memaparkan bahwa apabila dibaca secara saksama, hasil pemilihan umum anggota DPR tahun 2009, 2014, dan 2019, sekali pun menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka, secara empirik calon terpilih tetap merupakan calon yang berada pada nomor urut 1 dan nomor urut 2. “Yang dapat dimaknai sebagai ‘nomor urut calon jadi’ yang diajukan partai politik,” ucap Saldi.

Mahkamah mengutip hasil riset Pusat Kajian dan Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). Pada Pemilu 2009, terdapat 79,1 anggota DPR terpilih merupakan caleg nomor urut 1 dan 2. Pada 2014, jumlahnya mencapai 84,3 persen. Pada Pemilu 2019, jumlahnya 82,44 persen.

“Dengan demikian, eksistensi partai politik tidak semata-mata ditentukan oleh pilihan terhadap sistem pemilihan umum,” ujarnya.

Mahkamah mempertimbangkan terkait dalil bahwa partai politik kehilangan peran sentralnya dalam sistem politik Indonesia, maka itu adalah tanggung jawab partai politik untuk memperkuat kelembagaannya sebagai saluran aspirasi konstituen.

JANGAN TERLALU SERING UBAH SISTEM PEMILU
Mahkamah Konstitusi meminta kepada pembentuk undang-undang (uu) untuk tidak terlalu sering mengganti sistem pemilihan umum (pemilu) yang berlaku guna memberikan kepastian kepada para pemilih dan peserta pemilu.

“Pembentuk undang-undang harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, tidak terlalu sering melakukan perubahan,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra.

Sehingga, tutur Saldi melanjutkan, dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilihan umum.

Hal lainnya yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang jika ingin melakukan perbaikan terhadap sistem pemilu yang berlaku adalah kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku.

“Terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum,” ucapnya.

Hal ketiga adalah perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan.

Selanjutnya, kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

“Lima, apabila dilakukan perubahan, tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna,” kata Saldi Isra.

KPU: DESAIN REGULASI SESUAI SISTEM TERBUKA
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memastikan akan merancang regulasi teknis Pemilu 2024 sesuai dengan sistem pemilu proporsional terbuka, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Jadi ke depan, kami akan mendesain regulasi teknis penyelenggaraan pemilu yaitu sesuai dengan sistem proporsional daftar terbuka,” ujar anggota KPU RI Idham Holik dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis.

Idham juga mengatakan, regulasi teknis itu mengacu pada Undang-Undang Pemilu yang memang mengamanatkan penyelenggaraan pemilu di Tanah Air menggunakan sistem proporsional terbuka.

Lebih lanjut, regulasi teknis tersebut mengatur sejumlah hal, di antaranya adalah pemungutan dan penghitungan suara, metode konversi suara menjadi kursi di parlemen, serta penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih.

Dalam kesempatan yang sama, Idham menyampaikan pula dalam waktu dekat, KPU akan mengundang media massa, perwakilan masyarakat sipil, dan partai politik peserta Pemilu 2024 mengikuti uji publik rancangan PKPU tentang pemungutan dan penghitungan suara.

Anggota Bawaslu RI Puadi. ANTARA/HO-Humas Bawaslu RI

BAWASLU SIAP KAWAL
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan siap mengawal pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.

“Bawaslu menghargai putusan MK yang esensinya mengawal proses demokrasi dan akan mengawal putusan MK tersebut,” ujar anggota Bawaslu RI Puadi kepada wartawan di Jakarta, Kamis.

Menurut Puadi, MK memiliki pertimbangan yang matang dalam menghadirkan putusan itu, dan ia juga menilai MK telah memperhatikan konteks politik, budaya, dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan dalam memutuskan tetap berlakunya sistem pemilu proporsional terbuka.

Secara pribadi, Puadi berpandangan sistem proporsional terbuka memungkinkan adanya representasi yang lebih akurat dari preferensi pemilih dalam pemilihan legislatif.

“Dalam sistem ini, partai dan kandidat yang memperoleh suara terbanyak akan memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan kursi, sehingga berbagai kelompok politik dapat diwakili secara proporsional,” ujar dia.

Puadi pun menyampaikan Bawaslu tetap berkomitmen untuk fokus menjalankan tugas dan wewenangnya dalam memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 berintegritas.

PENGAMAT: PUTUSAN SUDAH TEPAT

Pengamat politik dari Universitas Bengkulu Dr. Panji Suminar mengemukakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perkara gugatan Undang-Undang Pemilu sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku merupakan keputusan yang tepat.

“Putusan MK dengan tetap sistem pemilu terbuka sudah tepat. Sebenarnya sistem itu tidak bisa asal bongkar pasang gonta-ganti, ketika tidak cocok pemilu tertutup minta terbuka, tidak cocok terbuka minta tertutup. Oleh karena itu, tepat MK putuskan tetap terbuka,” kata Panji Suminar di Bengkulu, Kamis, menanggapi putusan MK soal gugatan UU Pemilu.

Menurut Panji, ketika ada kekurangan dari sistem yang dipakai, upaya yang dilakukan bukanlah dengan mengganti sistem, namun dengan memperbaiki apa yang menjadi permasalahannya.

“Ketika kelemahan-kelemahan perbaiki dengan aturan, bukan malah mengganti sistem. Kalau mengganti jadinya mulai dari nol kilometer lagi, sistem sudah bergerak maju, kemudian diganti lagi kembali ke nol lagi, kan tidak seperti itu,” kata dia.

Dia menambahkan MK memiliki alasan yang kuat menolak untuk permohonan para pemohon soal perkara gugatan Undang-Undang Pemilu itu. “MK punya alasan hukum yang bagus, sebenarnya ketika memutuskan menolak itu karena mengubah sistem di tengah jalan, di tengah tahapan pemilu itu tidak mungkin. Kecuali mengubah sistem, tetapi diterapkan bukan pada 2024 ini, melainkan 2029. Tapi, putusannya tetap terbuka dan itu sudah tepat,” ucap Panji.

Tangkapan layar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat konferensi pers melalui zoom, Kamis (15/6/2023). (ANTARA/Narda Margaretha Sinambela)

PDIP HORMATI PUTUSAN MK
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mengabulkan permohonan perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.

“Kami menghormati dari keputusan MK,” ujar Hasto saat konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis.

Ia mengaku partai berlogo banteng moncong putih itu sejak awal sudah menaruh kepercayaan pada sikap kenegarawanan dari seluruh hakim MK untuk mengambil keputusan terbaik.

Dalam mengambil keputusan itu, kata dia, hakim MK telah melihat seluruh dokumen-dokumen autentik terkait dengan amandemen UUD 1945 yang menjadi salah satu pertimbangan MK untuk mengambil keputusan.

“Kemudian, bagaimana kajian secara saksama atas sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup yang kedua-keduanya sama-sama mengandung plus minus di dalam pemilu,” jelasnya. (antara/MK)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti