JAKARTA – Lobi-lobi intens terus dilakukan oleh para elite parpol kontestan Pemilu 2024 setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden pada 21 April lalu.
PDIP memang berada di “atas angin” karena sebagai satu-satunya parpol yang lolos presidential threshold (memiliki minimal 20 persen perolehan kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2019) untuk dapat mencalonkan sendiri capres dan cawapres.
Sebaliknya, parpol lain menanti-nanti munculnya nama bakal capres dan cawapres pilihan PDIP guna menentukan langkah selanjutnya, apakah ikut mencalonkannya, mengusung kadernya, atau berkoalisi dengan parpol lain.
Hanya Partai Nasdem yang sudah “mencuri start”, mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bacapres pada 3 Oktober 2022 bersama Partai Demokrat dan PKS yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Ada 18 parpol peserta Pemilu 2024, sembilan berada di DPR dan sembilan lagi berada di luar DPR (karena tidak memiliki kursi, termasuk partai baru).
Sembilan parpol di DPR dalam Pemilu 2019 yakni PDIP sebagai pemenangnya (128 kursi) disusul Partai Golkar (85), Partai Gerindra (78),Partai NasDem (59), PKB (58), Partai Demokrat (54), PKS (50), PAN (44) dan PPP (19).
Sedangkan sembilan parpol non-DPR yakni Partai Solidaritas Indonesia, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Hanura, Partai Gelora, Partai Perindo, Partai Bulan Bintang, Partai Garuda, Partai Buruh, dan terakhir, Partai Ummat.
PDI-P sebelumnya terkesan tidak ingin buru-buru menetapkan pilihannya, selain merasa sudah memiliki boarding pass untuk “nyapres”, agaknya juga menganggap masih cukup panjang waktunya untuk sampai ke tahapan pendaftaran capres dan cawapres (19 Oktpber – 25 November 2023). Lagi pula, saat itu suara internal juga belum bulat terkait nama figur bakal capres yang akan diusung.
Sebaliknya, elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memang terus melejit di berbagai survei, selalu masuk tiga besar bersama bakal capres lain (Menhan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan). Namun sebagai “petugas partai”, Ganjar harus menanti “titah” Megawati.
Selain itu, masih ada kader PDI-P lain yang disiapkan dan didukung sejumlah kalangan internal yakni puteri Megawati, Puan Maharani, yang menjabat Ketua DPR walau elektabilitasnya tak kunjung naik.
Koalisi Indonesia Baru atau KIB (Partai Golkar, PAN, dan PPP) sampai hari ini belum menetapkan capres dan bacawapres, juga karena belum ada kesepakatan di antara ketiga partai. PPP malah sudah bergabung ke PDIP ikut mencalonkan Ganjar Pranowo.
Partai Golkar sejak Munas tahun 2019 sudah mendeklarasikan ketumnya, Airlangga Hartarto, sedangkan PPP mencalonkan Ganjar, dan PAN masih menanti figur capres yang bakal meminang Erick Thohir sebagai cawapres.
Sementara Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR (Partai Gerindra dan PKB) juga masih alot untuk menetapkan bacapres mengingat Partai Gerindra bersikukuh mencalonkan Prabowo, sebaliknya PKB menginginkan ketumnya, Muhaimin Iskandar.
Bahkan belakangan ini muncul wacana untuk memasangkan Prabowo sebagai cawapres untuk mendampingi Ganjar, walau hal itu ditolak oleh Ketum Partai Gerindra itu.
“Partai Gerindra mencalonkan saya sebagai capres. Partai saya agak kuat sekarang, “ ujar Prabowo saat didesak pers seusai “sowan” ke rumah Jokowi di Solo (22/4).
Gagasan pembentukan koalisi besar antara lima parpol yang tergabung dalam KIB dan KKIR muncul dalam pertemuan para pimpinan partai tersebut (Partai Golkar, PAN, dan PPP bersama Partai Gerindra dan PKB) yang dihadiri Presiden Jokowi di kantor DPP PAN di Jakarta Selatan (2/4).
Namun koalisi besar KIB dan KKIR juga tampak cair dan konfigurasinya bakal mudah berubah, bahkan bisa jadi terancam bubar sejalan dengan dinamika politik yang terus berlangsung.
Negosiasi penetapan bacapres dan bacawapres, bahkan sesama koalisi, cukup alot.
Menurut penilaian Direktur LSI Djayadi Hanan, itu terjadi akibat upaya partai mengejar coat-tail effect (efek ekor jas) dengan mencalonkan kadernya sebagai capres atau cawapres walau elektabilitasnya relatif rendah.
Selain itu, tidak adanya satu pun bakal capres dan cawapres yang dominan juga berkontribusi membuat negosiasi terkait pencalonan mereka makin alot.
Bisa juga masing-masing koalisi tidak ingin tergesa-gesa menetapkan bakal capres dan cawapresnya yang menjadi bagian strategi pemenangan, misalnya, untuk memilah-milah figur yang tepat sesuai profil lawan yang bakal dihadapi. “Masing-masing tidak ingin membuka (strateginya) agar tidak terbaca oleh lawan, “ ujar Hanan.
JUMLAH CAPRES
Jumlah capres yang akan tampil dalam Pemilu Presiden 2024 mungkin masih tetap tiga yakni Ganjar (diusung PDI-P dan PPP), Prabowo (Partai Gerindra plus parpol lain yang akan bergabung nanti), dan Anies (NasDem, Partai Demokrat, dan PKS).
Kemungkinan lain, jumlah capres juga bisa menjadi empat , jika Airlangga yang sudah ditetapkan sebagai capres di Munas Golkar 2019, tetap maju jika ada parpol koalisi lain berpaling meminangnya.
Sebaliknya, jumlah bakal capres bisa tinggal dua (Ganjar dan Anies), jika Prabowo “legawa” bersedia menjadi cawapres Ganjar dan jika Airlangga gagal “nyapres” karena yang mengusungnya cuma Partai Golkar, yang tidak memenuhi presidential threshold.
KIB sendiri terancam pecah kongsi karena PPP “merapat” ke PDI-P dengan mengusung Ganjar sebagai capres dan sedang mengambil ancang-ancang untuk mengajukan Menparekraf Sandiaga Uno sebagai cawapres. Adapun PAN belum menetapkan capres, baru mengisyaratkan akan mencalonkan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai cawapres.
Sementara, Presiden Jokowi mengundang enam pimpinan parpol pendukungnya di pemerintah (PDI-P, PKB, PAN, Partai Golkar, PPP, dan Partai Gerindra) ke Istana Merdeka (2/5), itu agaknya dalam upaya mengerucutkan koalisi.
Absennya Partai NasDem dalam pertemuan itu, yang notabene adalah bagian dari koalisi terdiri dari tujuh parpol pendukung pemerintah, karena memang tidak diundang dan tentu bisa dipahami, mengingat dengan mencalonkan Anies, posisinya sudah tidak lagi “sekereta”.
“Ya, kita bicara apa adanya. NasDem kan sudah memiliki koalisi sendiri (KPP). Ini gabungan partai yang kemarin ngumpul (2/5) ingin membangun kerjasama politik yang lain, “ tutur Jokowi menjawab pertanyaan kenapa NasDem tidak diundang.
Jokowi yang terus berikhtiar agar parpol pendukung pemerintah memenangi Pemilu 2024 demi melanjutkan legasinya, menurut sejumlah pengamat, agaknya mendorong agar Ganjar dan Prabowo berpasangan (capres dan cawapres).
Faktanya, hal itu sulit dilakukan, mengingat PDI-P sebagai partai dengan perolehan kursi di DPR dan suara terbanyak pada Pemilu 2019 tentu tidak rela jika capresnya, Ganjar, didegradasi menjadi cawapres.
Sebaliknya, Prabowo yang sudah dua kali nyapres (2014 dan 2019) tentu juga tidak ingin hanya dipasangkan sebagai cawapres, apalagi ia sudah dideklarasikan sebagai capres di Rapimnas Gerindra sejak Agustus 2022.
STOK CAWAPRES BANYAK
Nama-nama bakal cawapres juga belum final dan seperti disampaikan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, untuk mendampingi Ganjar saja, ada sejumlah tokoh yang cocok.
Yang disebut Jokowi, antara lain, Menteri BUMN Erick Thohir, Menparekraf Sandiaga Uno, Menko Polhukam Mahfud MD, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Gubernur Jatim Indah Parawansa, dan bisa jadi Prabowo atau Airlangga (jika gagal mendapat tiket capres dan bersedia atau ada yang meminangnya menjadi bakal cawapres).
Anies yang maju sebagai bakal capres dari KPP sampai hari ini juga belum menetapkan bakal cawapres pendampingnya walau Partai NasDem sudah memberikan kebebasan baginya untuk memilih sendiri.
Persoalannya, untuk mengisi cawapres pendamping Anies, Partai Demokrat tentu juga ingin mengajukan kadernya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sedangkan PAN mengisyaratkan akan membuka peluang bagi pencalonan Airlangga.
Pemilihan pasangan cawapres, menurut pengamat politik LSI Djayadi Hanan, sangat penting untuk mendongkrak elektabilitas capres, walau tentu saja, faktor subjektivitas yakni bisa bekerja sama atau memiliki chemistry sama dengan capres, juga tak kalah penting.
Dalam upaya mendongkrak perolehan suara, bakal cawapres tentu harus memiliki elektabilitas tinggi, misalnya, untuk menambal kelemahan capres pasangannya di wilayah tertentu, berkemampuan merangkul kalangan massa tertentu (misalnya, santri), atau yang populer di kalangan pemilih remaja atau pemilih pemula.
Bisa juga, cawapres dipilih berdasarkan kapasitas atau kompetensi serta “gregetnya” dalam menuntaskan persoalan utama bangsa, misalnya, Mahfud MD yang terbukti piawai dan menguasai pasal-pasal hukum dan memiliki komitmen kuat upaya pemberantasan korupsi sesuai kapasitasnya sebagai Ketua Satgas TPPU.
Perubahan konfigurasi koalisi parpol untuk Pilpres 2024 agaknya bakal terus bergulir di tengah dinamika politik, tercermin dari lobi-lobi intens yang dilakukan para elite lintas partai walau koalisi sementara seperti KPP, KIB, dan KKIR yang diperluas menjadi koalisi besar, terus dibangun.
Bagi rakyat, siapa pun pasangan capres dan cawapres yang maju, yang terpenting siap mengemban amanah terutama menuntaskan isu-isu utama seperti pemberantasan korupsi, pemerataan kesejahteraan dan, last but not least, menjaga keutuhan NKRI. (Antara/MK)
*) Nanang Sunarto adalah mantan Wapemred LKBN ANTARA
Pewarta : Sigit Pinardi
Editor : Achmad Zaenal M