spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Menyambut Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan

Opini oleh:  Nursyamsa Hadis*

Opini– Palestina, di bawah langit yang dirundung gelap. Pendar cahaya lentera tak kuasa menghalau pekatnya gulita.  Malam tak berlampu. Terlihat sejumlah warga Rafah berkumpul. Video yang saya terima melalui whatsapp itu memperlihatkan wajah gembira penuh canda. Padahal boikot; listrik, bahan bakar minyak, dan blokade suplai bantuan makanan masih berlangsung.

Genosida terus merenggut nyawa anak-anak Palestina. Lalu, mengapa wajah-wajah itu sumringah? Caption video menyebut, sukacita mendalam itu demi menyambut Bulan Suci Ramadhan. Allahu Akbar.

Di saat bersamaan, di tanah air, manusia-manusia Indonesia sedang kasak-kusuk mengamati perkembangan perolehan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pesta demokrasi baru saja usai. Tetapi huru-hara politik masih berlangsung. Ada banyak kontroversi, tidak sedikit silang pendapat.

Begitulah, Bulan Ramadhan menyambangi umat dalam berbagai situasi. Situasi berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Ada yang sedang terpuruk, ada pula yang tengah menanjak. Ada yang bahagia, ada yang diterpa cobaan.

Tetapi bagaimana pun keadaannya, Rasulullah SAW menyeru umatnya menyambut Bulan Suci Ramadhan dengan gembira. Simak khutbah Rasulullah ketika menyambut bulan Ramadhan: “Wahai manusia telah menaungi di atas kalian bulan yang agung, bulan yang penuh dengan keberkahan, bulan di mana di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan (Lailatul Qadr), dan di bulan itu Allah jadikan puasa di siang harinya menjadi kewajiban (bagi yang mampu), dan bangun malam/shalat di malam harinya merupakan hal yang disunnahkan. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan satu kebaikan di bulan ramadhan maka pahalanya sama dengan pahala melakukan perbuatan yang fardhu (wajib) di selain bulan ramadhan. Barang siapa melakukan satu perbuatan wajib di bulan Ramadhan maka pahalanya sama dengan melakukan 70 perbuatan wajib di selain bulan Ramadhan”. (HR. Ibnu Huzaimah).

Menyimak hadits Nabi tadi, kita kian paham bahwa betapa banyaknya fasilitas yang disiapkan oleh Allah pada bulan Ramadhan yang boleh jadi pemantik sumringahnya warga Gaza menyambut Ramadhan walau keadaan mereka dalam derita yang luar biasa. Rasa riang menghadirkan semangat. Juga mengandung berkah. Berkah yang akan membawa kita menyelami lautan Rahmat bulan Ramadhan secara maksimal.

Aksioma Ramadhan

Ada banyak aksioma tentang bulan suci ramadhan. Ramadhan adalah lautan Rahmat, Ramadhan adalah bulan penuh berkah, Ramadhan adalah tempat melatih diri, dan seterusnya. Semua pandangan itu benar. Benar, karena bulan suci ini tak berbatas persepsi, tak terpagari perspektif. Oleh karena itu Ramadhan 2024 dapat pula dimaknai dari sudut pandang situasi umat Islam hari-hari ini. Itulah alasan pengantar tulisan sejenak mengintip umat Islam di Palestina dan Indonesia.

Yang terjadi di Palestina adalah genosida, aneksasi atau pencaplokan wilayah dan kedaulatan. Sedangkan di Indonesia adalah proses demokrasi melalui Pemilu dengan berbagai problem hukum dan keadilan.

Peristiwa di Indonesia dan Palestina tentu adalah dua perkara berbeda. Peristiwa di Palestina hari ini adalah rentetan panjang dari peristiwa holocaust pada 1933 hingga 1945. Peristiwa ini didalangi rezim Nazi Jerman Adolf Hitler, yang melihat Yahudi sebagai ras lebih rendah dan menjadi ancaman bagi kemurnian ras Jerman. Oleh Nazi, Ras Yahudi kemudian diburu, disiksa, dan dibantai.

Ras Yahudi bermigrasi, berhamburan mencari suaka. Tetapi hampir semua negara enggan menerima. Satu-satunya negara yang berbaik hati adalah bangsa Palestina. Mereka menerima dengan tangan terbuka. Yahudi  lalu hidup turun-temurun di sana, hingga muncul agenda politik jangka panjang mencaplok tanah Palestina.

Islam dan Politik

Ramadhan 2024 datang berhimpitan dengan dua peristiwa di dua negara berbeda itu. Meski berlainan konteks, tetapi terdapat dua kesamaan yang bisa menjadi ikhtibar atau pelajaran bagi masyarakat. Pertama, sama-sama kental urusan politik, dan kedua sama-sama terjadi di negara berpenduduk mayoritas Islam.

Islam dan politik memang sulit dilepaskan. Agama menuntun secara presisi bagaimana harusnya adab berpolitik. Ada kriteria memilih pemimpin, ada pula kriteria menjadi politisi dan pejabat publik.

Siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Itulah panduan umat Islam memilih pemimpin. Sedangkan menjadi politisi setidaknya harus menjaga lima hal: agama, (hifdzu ad-din), jiwa (hifdzu an-nafs), nasab (hifdzu an-nasl), akal (hifdzu aql) dan menjaga harta (hifdzu al-mal). Kelimanya disebut Imam Asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat.

Di atas kertas, teori itu harusnya menghadirkan keadaban politik di negeri mayoritas Islam. Tapi mengapa yang terjadi adalah sebaliknya? Apakah tuntunan Islam keliru? Apakah Islam tidak lagi menjadi Rahmat bagi seluruh alam?

Islam selamanya pasti benar dan selamanya tetap menjadi Rahmat. Tetapi Islam sebagai agama dan umat Islam sebagai pemeluk agama adalah dua entitas yang berbeda. Perilaku umat Islam tidak lantas merepresentasikan kekeliruan ajaran Islam.

Jika ada kekeliruan, dipastikan datangnya dari penganut, bukan dari ajaran Islam. Boleh jadi karena umat keliru memahami, malas belajar, atau karena angkat tangan pada godaan dunia: harta, jabatan, perempuan.

Ramadhan menjadi momentum terbaik meningkatkan kualitas diri untuk mengubah keadaan. Ada tiga indikator kualitas diri manusia. Pertama kualitas ilmu, kualitas keimanan, dan ketiga kualitas amal. Kita sambut Bulan Suci ramadhan bersama niat kuat meningkatkan tiga kualitas diri itu. Marhaban ya Ramadhan. (*)

*Penulis seorang Da’i Hidayatullah. Pernah menjabat Anggota DPD-MPR RI 2004-2009.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti