spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Menunggak Gaji Rp 32 Miliar, Bos Sawit Dibekuk di Kukar

TENGGARONG – Matahari sudah membumbung tinggi ketika telepon genggam Ferdi Irawan berdering. Di ujung sambungan, mantan bosnya, Burhanuddin, memberikan setitik harapan. Gaji dan pesangon untuk 1.300 anak buahnya, termasuk Ferdi, dijanjikan segera cair.

Aset PT Mahakam Sawit Plantation Group (MSPG) milik Burhanuddin disebut akan dibeli investor dari Jepang. Hasil penjualan perusahaan sawit itulah yang menjadi modal Burhanuddin membayar seluruh tunggakannya. Namun, harapan tersebut sirna beberapa jam kemudian.

Selasa malam, 5 Oktober 2021, Ferdi mendapat kabar bahwa Burhanuddin ditangkap polisi dari Markas Besar Kepolisian RI. Penyebabnya, Burhanuddin diduga melakukan penipuan jual-beli tanah. Informasi yang didapatkan, kasus ini bermula ketika Burhanuddin menjual tanahnya di Subang, Jawa Barat, kepada dua perusahaan milik negara senilai Rp 233 miliar.

Namun, Burhanuddin disebut tak pernah menyerahkan sertifikat tanah tersebut kepada kedua perusahaan itu. Air muka Ferdi mendadak cemas mendengar kabar tersebut. Ia hampir kehabisan akal menghadapi masalah gajinya dan teman-teman.

“Harapan kami mendapatkan bayaran jadi semakin sulit karena orangnya sudah di penjara,” keluh Ferdi kepada kaltimkece.id, Senin, 11 Oktober 2021.

Ferdi, yang tinggal di Tenggarong, Kutai Kartanegara, menceritakan awal mula kasus ini. Gaji 1.300 karyawan dan petani PT Kalpataru –anak perusahaan PT MSPG yang berdiri di Desa Tanjung Harapan, Sebulu, Kukar– mulai tidak dibayarkan sejak 2017.

Pada 2020, mereka menerima pemutusan hubungan kerja alias PHK. Jumlah gaji dan pesangon yang belum dibayarkan, senilai Rp 70 juta sampai Rp 200 juta per karyawan dan petani. Jika ditotal, nilainya mencapai Rp 32 miliar.

Sebenarnya, sejak 2017 itu, para karyawan dan petani sudah gencar menuntut hak-haknya. Serangkaian demo pernah dibuat. Bermediasi dengan pihak terkait juga sudah. Bahkan, pada 2018 lalu, para karyawan dan petani menggugat PT MSPG ke Pengadilan Negeri Samarinda.

Tapi, ikhtiar-ikhtiar tersebut tak pernah membuahkan hasil. Pengadilan memang disebut menyarankan PT MSPG menjual sebagian asetnya untuk membayar hak-hak para karyawan dan petani. Akan tetapi, entah apa sebabnya, saran tersebut tak pernah dilaksanakan.

“Jangan hanya menjadi sebuah putusan di atas kertas tapi harus bisa direalisasikan,” ujar Ferdi yang kini menjadi ketua koordinator eks karyawan PT MSPG. Dia menambakan, PT MSPG memiliki aset berupa pabrik kelapa sawit seluas 4,8 hektare di Desa Tanjung Harapan. Pabrik tersebut bisa memproduksi kelapa sawit sebanyak 45 ton per jam. Pabrik inilah yang menjadi harapan para karyawan dan petani. “Masalahnya, jika aset tersebut diagunkan, kami tidak tahu lagi harus berharap ke mana,” ucap Ferdi, pasrah.

Dikonfirmasi mengenai masalah ini, mantan Manager Pengembangan Organisasi PT MGSP, Aris Windu, angkat tangan. Dia tak tahu harus berbuat apa menyelesaikan konflik ini. Masalahnya, ia merasa turut menjadi korban atas kezaliman PT MGSP. Gaji dan pesangonnya juga tidak dibayarkan. “Tapi, saya menyadari, masih ada tanggung jawab moral kepada teman-teman,” ucap Aris kepada kaltimkece.id.

Aris menjelaskan, PT MGSP sudah menghentikan produksi dan aktivitasnya. Meski demikian, secara legalitas, perusahaan tersebut masih berdiri. Pasalnya, belum ada pernyataan bahwa PT MGSP bangkrut atau tutup dari pengadilan. Hal ini dikarenakan perusahaan yang berdiri pada 2009 itu masih ada kewajiban melunasi gaji para anak buahnya. Aris menyampaikan, PT MGSP akan membayar semua tunggakannya jika mendapatkan pemasukan atau asetnya telah terjual.

“Masalahnya, hingga sekarang, penjualan perusahaan ini tak pernah mencapai kesepakatan,” jelasnya.

Pemkab Kukar juga tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi masalah ini. Mediator hubungan industrial dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kukar, Firman, menyampaikan, Pemkab dan DPRD Kukar sudah beberapa kali melaksanakan mediasi untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Akan tetapi, mediasi selalu menemui jalan buntu. “Tak pernah tercapai keputusan konkret antara kedua belah pihak,” kata lelaki 40 tahun itu. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti