spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Mengenal SP2DK Pajak, Latar Belakang dan Cara Menanggapi

Oleh: Imam Lafendi, Petugas Penyuluh DJP*)

BEBERAPA waktu lalu ramai di media ada berita seorang selebritis ibukota terjerat kasus pajak. Ia merasa tidak dipercayai Kantor Pajak terkait pendapatannya hingga menerima surat dari Kantor Pajak. Menerima surat cinta dari orang tercinta bisa membuat riang hati. Namun, lain bila surat itu dari Kantor Pajak. Masing-masing dari kita mungkin menanggapi berbeda. Sebagian dari kita barangkali menanggapi biasa karena mungkin sebelumnya sudah memiliki pengalaman.  Namun, bagi sebagian yang lain, surat itu mungkin saja membuat suasana hati menjadi tidak tenang, ungkapan yang pantas bisa jadi “makan tak enak, tidur tak nyaman”. Apalagi bagi kita yang baru pertama kali menerima surat seperti itu. Lantas, apa yang harus dilakukan??

Sistem Perpajakan di Indonesia

Setiap negara di dunia memiliki sistem dan metode pengelolaan pajak yang berbeda-beda. Di Indonesia, dikenal adanya 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang berlaku yaitu:

  1. Self-Assessment System

Self-Assessment System adalah sistem perpajakan ketika pemerintah memberikan kewenangan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang. Contoh penerapan Self-Assessment System ini adalah pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Peran Otoritas Pajak dalam hal ini adalah melakukan pengawasan melalui serangkaian tindakan termasuk penyampaian Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

  1. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak ini memungkinkan bagi pihak berwenang secara sepihak menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. Wajib Pajak dalam hal ini berperan pasif dan tidak perlu lagi menghitung pajak yang terutang, namun cukup melakukan pembayaran dari surat ketetapan yang diterbitkan. Contoh dari Official Assessment System ini adalah pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan jenis pajak daerah lainnya.

  1. Withholding Assessment System

Withholding Assessment System ini adalah sistem perpajakan ketika besarnya pajak bukan dihitung oleh Wajib Pajak maupun Otorias Pajak, melainkan Pihak Ketiga. Pemerintah memberikan wewenang kepada Pihak Ketiga untuk melakukan pemungutan dan/atau pemotongan pajak dan menyetorkan secara langsung ke kas negara.

Pihak Ketiga yang dimaksud contohnya adalah bendahara pada instansi pemerintah atau pemberi kerja pada swasta yang membayarkan gaji kepada pegawai maupun upah kepada selain pegawai. Sistem ini biasa diterapkan pada mekanisme pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN.

Dalam Withholding Assessment System ini, pegawai maupun selain pegawai tidak perlu lagi melakukan pembayaran pajak. Sebagai bukti bahwa pajak telah terbayar, maka Pihak Ketiga wajib membuat dokumen berupa bukti potong atau bukti pungut dan memberikannya kepada pihak yang telah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajaknya.

Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak

Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak adalah salah satu tugas dan fungsi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Fungsi pengawasan tersebut diarahkan agar selaras dengan proses bisnis DJP yang lain, seperti pelayanan, penegakan hukum, dan proses bisnis lainnya.

Berdasarkan data DJP melalui Siaran Pers per 10 Mei 2023, Jumlah Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan 2023 adalah sebesar 19.443.949. Data ini terbagi atas Wajib Pajak Badan 1.927.254 dan Wajib Pajak Orang Pribadi 17.516.695.

Dari jumlah Wajib Pajak yang wajib SPT tersebut, 13.368.660 (68,8 persen) sudah menyampaikan SPT Tahunan 2023 dengan rincian 975.194 Wajib Pajak Badan, dan 12.939.466 Wajib Pajak Orang Pribadi. Sehingga per 10 Mei 2023, terdapat 6.075.289 (31,2 persen) Wajib Pajak yang wajib SPT belum/tidak menyampaikan SPT 2023. Data tersebut terinci atas 952.060 Wajib Pajak Badan dan 5.123.229 Wajib Pajak Orang Pribadi.

Otoritas Pajak dalam hal ini DJP mengambil peran aktif menjangkau Wajib Pajak yang diduga belum melaksanakan kewajiban perpajakan melalui fungsi pengawasan yang ada di setiap Unit Kerja DJP. Unit Kerja DJP ini tersebar di seluruh Wilayah Tanah Air yang saat ini dikenal sebagai Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Kegiatan pengawasan yang dilakukan DJP meliputi pengawasan kepatuhan formal dan kepatuhan material. Dalam prosesnya, pengawasan atas kepatuhan formal terdiri dari kegiatan validasi dan analisa atas data yang terkait dengan pemenuhan kewajiban formal perpajakan, baik yang akan, sedang, maupun yang sudah dipenuhi oleh Wajib Pajak.

Ketentuan kewajiban formal perpajakan tersebut meliputi misalnya:

  • ketepatan waktu untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • ketepatan waktu pembayaran/penyetoran pajak;
  • ketepatan waktu dan/atau kelengkapan Laporan Pajak, yang meliputi : SPT Masa dan SPT Tahunan PPh, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), dan laporan lainnya;
  • angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak;
  • layanan dan/atau fasilitas perpajakan yang diterima dan/atau dimiliki oleh Wajib Pajak; dan
  • kewajiban/ketentuan formal perpajakan lainnya.

Sedangkan Pengawasan kepatuhan material, meliputi kegiatan validasi dan analisa data Wajib Pajak yang terkait dengan kesesuaian substansi material perpajakan dan adanya dugaan ketidakpatuhan dari Wajib Pajak sehingga masih terdapat potensi pajak yang belum ditunaikan.

Hasil dari pengumpulan, validasi, dan analisa data inilah yang kemudian menjadi dasar bagi DJP untuk menentukan simpulan dan tindak lanjut berikutnya, apakah mengirim surat permintaan penjelasan/klarifikasi (SP2DK) ataukah melakukan pemeriksaan.

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK)

Merupakan wewenang DJP untuk melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan. Kegiatan pengawasan ini dilakukan meliputi seluruh Wajib Pajak yang teradministrasi di suatu Kantor Pajak/KPP dan penugasannya dilaksanakan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang termasuk didalamnya adalah Account Representative.

Salah satu tahapan dalam kegiatan pengawasan adalah proses Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan. Permintaan penjelasan dikirim kepada Wajib Pajak dengan sebuah Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

Mengutip Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-05/2022, Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan P2DK. Sedangkan P2DK atau Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan adalah kegiatan untuk meminta penjelasan kepada Wajib Pajak atas Data dan/atau Keterangan berdasarkan Penelitian Kepatuhan Material yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan dan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan.

KPP mengirim SP2DK kepada Wajib Pajak dapat melalui berbagai macam saluran seperti pos, jasa ekspedisi, faksimili atau menyampaikan secara langsung melalui kunjungan (visit) atau melalui daring (video conference).

Pada dasarnya SP2DK adalah salah satu bentuk sarana komunikasi antara DJP dengan Wajib Pajak. SP2DK dikirim kepada Wajib Pajak bukan saja untuk permintaan penjelasan, melainkan juga memberikan informasi terkait beberapa hal lain seperti ketentuan pajak terkait bahasan SP2DK, Dasar hukum SP2DK, jangka waktu pemberian tanggapan, serta kontak hubung Petugas Pemeriksa Pajak.

Petugas Pemeriksa Pajak melakukan review atas pelaksanaan kewajiban pajak seseorang dan menuangkannya dalam SP2DK. Oleh karena itu, SP2DK bermanfaat juga sebagai pengingat kemungkinan adanya kewajiban yang terlupa oleh Wajib Pajak di masa lampau, salah penulisan, salah penerapan, maupun hal lain yang belum sesuai dengan ketentuan pajak.

SP2DK dalam hal ini memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan self assessment kembali. Dengan begitu mereka juga dapat melakukan peninjauan ulang atau review, pembetulan Laporan Pajak (SPT), memberi penjelasan/klarifikasi atas data ataupun mengikuti rekomendasi yang tercantum di SP2DK.

Sumber Data SP2DK                                         

Tujuan utama SP2DK tidak lain adalah permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan. Data yang tercantum di SP2DK merupakan data yang sudah melalui serangkaian proses verifikasi secara internal untuk menjaga validitas data. Data dan informasi tersebut dapat berasal dari berbagai sumber yang meliputi sumber internal DJP, hasil dari kunjungan petugas ke lokasi Wajib Pajak, hingga sumber eksternal seperti Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain .

Lebih dari itu, sebagai upaya memaksimalkan fungsi pengawasan, DJP juga memanfaatkan sistem pertukaran informasi keuangan secara otomatis yang dilakukan antar negara yang dikenal dengan Automatic exchange of Information (AEOI).  Dari sisi pengawasan, keikutsertaan Indonesia dalam program AEOI ini tentu akan memberikan banyak dukungan data dan informasi sehingga peran pengawasan dapat lebih maksimal.

Menanggapi SP2DK

Menerima SP2DK tidak berarti ada kekurangan pajak. Selama tanggapan disampaikan sesuai dengan data dan bukti konkrit yang menunjukkan bahwa kewajiban pajak sudah dilaksanakan dengan benar serta dapat dipertanggungjawabkan, tentu tidak ada pajak yang harus dibayar bahkan mungkin bisa jadi Lebih Bayar. Namun, akan berbeda, apabila SP2DK tidak ditanggapi atau bahkan diabaikan, maka sesuai ketentuan yang berlaku, dapat ditindaklanjuti dengan proses pemeriksaan.

SP2DK bersifat resmi, oleh karena itu secara hukum Wajib Pajak dikenai kewajiban untuk memberikan tanggapan sesuai dengan jangka waktu yang tercantum di SP2DK. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menerima SP2DK, diantaranya adalah:

  1. Mengidentifikasi Unit KPP pengirim SP2DK. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kebenaran Unit KPP pengirim SP2DK dengan cara mencari informasi nama KPP yang tertera di kop surat seperti alamat kantor, nomor telepon, bahkan jika perlu nama penandatangan. Hal ini berguna untuk menghindari adanya penyalahgunaan dan penipuan yang mengatasnamakan KPP;
  2. Mengidentifikasi isi SP2DK. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan cek atas kebenaran data atau keterangan yang disampaikan di SP2DK misalnya data masa pajak, tahun pajak, nominal, maupun keterangan yang lain.

Terlepas dari kesesuaian data yang tercantum di SP2DK, siapkan dan susun data dan bukti konkrit yang di miliki sebagai data pendukung surat tanggapan seperti bukti transaksi, bukti setor, bukti potong, bukti pengiriman, atau bukti pendukung lain.

  1. Membuat dan menyampaikan tanggapan tepat waktu. Bukannya tanpa batas waktu, Wajib Pajak perlu memperhatikan batas waktu penyampaian tanggapan sesuai dengan yang tercantum di SP2DK.

Bentuk tanggapan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

  1. Menyampaikan SPT Pembetulan apabila data pada SP2DK sudah diyakini benar;
  2. Memberi tanggapan secara langsung ke Kantor Pajak dengan menemui Petugas Pemeriksa Pajak ataupun komunikasi melalui media audio visual sesuai jadwal yang disepakati;
  3. Membuat surat tertulis ataupun email yang berisi tanggapan ataupun keterangan lain terkait data yang dimintakan penjelasan.
  1. Bantuan konsultan atau tenaga ahli yang dipercaya di Atas dasar keterbatasan kemampuan dibidang pajak ataupun karena alasan lain, Wajib Pajak dapat menunjuk Seorang Kuasayang meliputi konsultan pajak, karyawan atau Pihak Lain untuk membantu memberikan tanggapan. Namun, tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku terkait penunjukan Seorang Kuasa.

Kiranya kepatuhan Wajib Pajak dapat semakin bertumbuh. Bukan karena dikirimi SP2DK, namun lebih karena hal tersebut memang sudah menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai Wajib Pajak. SP2DK ibaratnya buah perhatian dan kepedulian pemerintah demi terpenuhinya hak dan kewajiban perpajakan yang berkeadilan bagi seluruh Wajib Pajak demi terwujudnya “Pajak Kuat, Indonesia Maju”.

*) Tulisan ini merupakan pendapat  pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti