BERBICARA di tengah gemuruh reformasi hukum dan kemajuan kebijakan yang dilaksanakan di Indonesia, kenyataannya kekerasan terhadap perempuan masih menjadi duri dalam daging yang terus mengganggu kemajuan sosial kita. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terdapat 13.314 kasus kekerasan perempuan sejak 1 Januari 2024 hingga saat ini (real time).
Meskipun berbagai undang-undang telah dirancang untuk melindungi perempuan, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), implementasinya di lapangan masih jauh dari sempurna. Keadilan yang dijanjikan kepada korban kekerasan ini seringkali menjadi mimpi yang sulit diraih.
Penegakan Hukum yang masih Lemah
Salah satu masalah utama yang menghambat keadilan bagi perempuan korban kekerasan adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak kasus kekerasan yang tidak pernah dilaporkan atau tidak diproses dengan serius oleh aparat penegak hukum. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini, namun salah satu yang paling mencolok adalah kurangnya sensitivitas gender di kalangan aparat hukum kita. Masih terdapat oknum petugas yang seharusnya melindungi justru menjadi penghalang dengan menunjukkan sikap yang tidak mendukung, bahkan merendahkan korban, hal ini sering kita lihat di beberapa pemberitaan.
Budaya Patriarki
Lebih dari sekadar masalah penegakan hukum, budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia juga menjadi penghalang utama dalam memberikan keadilan bagi perempuan. Di banyak komunitas, perempuan korban kekerasan menghadapi tekanan sosial yang sangat besar untuk tetap diam atau menyelesaikan masalah secara “kekeluargaan”. Demi menjaga nama baik keluarga, banyak korban yang akhirnya memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami, mengorbankan hak mereka untuk mendapatkan keadilan.
Perlindungan yang Belum Memadai
Meski undang-undang telah ada, perlindungan bagi korban kekerasan masih belum optimal. Banyak korban yang tidak mendapatkan layanan pendukung yang mereka butuhkan, seperti shelter yang aman, konseling, dan bantuan hukum. Di daerah-daerah terpencil, kondisi ini bahkan lebih buruk, di mana akses terhadap layanan ini sangat terbatas atau tidak ada sama sekali.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengatasi masalah ini, kita memerlukan perubahan mendasar dalam cara kita memandang dan menangani kekerasan terhadap perempuan.
Pertama, aparat penegak hukum harus diberikan pelatihan yang lebih mendalam tentang sensitivitas gender dan penanganan kasus kekerasan. Mereka harus diperlengkapi dengan pengetahuan dan sikap yang mendukung korban, bukan malah menyalahkan atau merendahkan mereka.
Kedua, peran pemerintah dan organisasi non-pemerintah harus bekerja sama untuk memperluas akses terhadap layanan pendukung bagi korban kekerasan. Shelter yang aman, layanan konseling, dan bantuan hukum harus tersedia dan dapat diakses oleh semua korban, tidak peduli di mana mereka berada, dan siapa mereka.
Ketiga, masyarakat harus didorong untuk mengubah pola pikir yang masih terjebak dalam budaya patriarki. Kampanye sosial yang intensif diperlukan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan pentingnya melaporkan kasus kekerasan. Hanya dengan cara ini kita dapat memutus rantai kekerasan dan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Sebagaimana bunyi sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keadilan yang Masih Tertunda
Perempuan korban kekerasan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencari keadilan. Hukum yang ada sudah memberikan dasar yang kuat, tetapi tanpa implementasi yang efektif dan perubahan budaya yang signifikan, keadilan akan tetap menjadi mimpi yang sulit dicapai. Kita semua, sebagai masyarakat yang peduli, memiliki peran untuk memperjuangkan perubahan ini. Mari kita bersama-sama mewujudkan lingkungan yang aman dan adil bagi semua perempuan di Indonesia.\
Oleh: Adv. Atiqah Mumtazah Ameliah Bura Datu, S.H., M.H.
Advokat, Dosen STAI Balikpapan