Catatan: Rizal Effendi
RABU kemarin, saya agak buru-buru sarapan pagi. Maklum dapat tugas baru, jadi MC, mengantar cucu ke sekolah. Ini hari pertama anak-anak masuk sekolah. Boleh dibilang pertama juga sekolah tatap muka lebih lancar, setelah dua tahun kita dilanda wabah Covid-19.
Cucu saya, Defa dan Dafin masuk kelas 1 dan 2 di SD Balikpapan Islamic School (BIS). Syukur tak jauh dari rumahnya di Balikpapan Baru. Sepuluh menit sudah sampai. Keduanya tampak rapi mengenakan seragam sekolah putih merah. Perlengkapan sekolah dan minumnya dimasukkan dalam tas ranselnya.
“Assalamualaikum, Kai. Defa dan Dafin sekolah dulu ya,” kata mereka bersemangat. Mereka melangkah masuk ke pekarangan sekolah sambil mencium tangan saya dan gurunya. Lalu melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak sepatu sekolah. Anak-anak BIS di dalam kelas tidak menggunakan alas sepatu.
Hampir semua orang tua mengantar anaknya ke sekolah. Mau parkir mobil saja susah. “Eh Pak Rizal ngantar cucunya ya, Pak,” sapa mereka kepada saya. Bahkan ada yang masih sempat minta anaknya berfoto dengan saya. “Biar bisa jadi Pak Wali juga,” kata sang ibu mengatur posisi anaknya.
Meski Covid sudah mereda, protokol kesehatan (prokes) tetap dijalankan. Semua anak tetap diwajibkan mengenakan masker. Setiap selesai beraktivitas, anak-anak diminta cuci tangan dan sesekali tangannya disemprot dengan hand sanitizer.
Tidak semua orang tua sudah tenang menyaksikan anaknya mulai duduk di bangku sekolah. Sampai kemarin, masih ada yang belum jelas ke mana anaknya sekolah. Terutama mereka yang mau masuk bangku SMP, SMA, dan SMK. Hampir di semua daerah begitu.
Maklum mereka maunya masuk sekolah negeri. Benar juga alasannya. Selain standar pendidikannya memadai, juga tidak memerlukan biaya besar. Di sekolah swasta, ada yang bagus tapi mahal. Ada yang murah, tapi kualitas pendidikannya masih harus dibenahi.
“Assalamu’alaikum, Pak Rizal. Selamat Iduladha, maaf lahir dan batin. Saya pagi ini minta tolong, kemenakan saya masuk rumah sakit karena stres tidak bisa masuk SMP 3, yang dekat rumah. Jadi tolong dibantu. Terima kasih,” kata seorang teman melalui WA, yang saya terima persis setelah mengantar cucu.
“Selamat pagi, Pak. Ini ada anak yatim di Jl Berantas, dekat Gedung Biru Kaltim Post. Bapaknya sudah meninggal. Anaknya mau masuk SMA 6. Info dari kepseknya tidak bisa diterima,” begitu bunyi WA lain kepada saya.
Terus terang saya memahami betapa paniknya orangtua menghadapi masalah ini. Sejak saya masih menjadi wali kota. Sambil merencanakan pembangunan gedung baru, dilakukan solusi jangka pendek. Membantu uang gedung dan biaya masuk ke sekolah swasta oleh Pemkot, sehingga orang tua tidak merasa terbebani terlalu berat jika pilihannya harus ke sekolah swasta.
Sehabis zuhur saya ketemu Pak Adam Sinte, anggota DPRD Kaltim dan Andi Burhanudin Solong (ABS) di café Balgas. Ternyata mereka juga kerepotan dimintai bantuan masuk sekolah. “Tahun depan saya nggak mau lagi ngurusi, sampai nggak bisa tidur saya,” kata ABS, mantan ketua DPRD Balikpapan.
HARI ANAK
Beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Anak Nasional (HAN). Tepatnya tanggal 23 Juli. Temanya “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.” Maksudnya hak anak terpenuhi, sehingga Indonesia lebih maju lagi. Karena anak adalah aset masa depan.
“Peringatan HAN 2022 harus menjadi momentum kita bersama dalam menguatkan komitmen untuk memenuhi hak-hak anak,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga.
Seorang anak memiliki hak hidup, hak tumbuh berkembang, hak mendapatkan perlindungan dari diskriminasi dan hak berpartisipasi. Tentu di dalamnya termasuk hak mendapatkan pendidikan yang memadai.
Fakta menunjukkan masih banyak anak-anak yang hidupnya telantar dan tidak mendapatkan hak-haknya secara layak. Umumnya karena faktor ekonomi, perceraian, dan pendidikan orangtua, sehingga anak disia-siakan, dieksploitasi, bahkan dicabuli, disakiti dan dihabisi.
Kementerian Sosial mencatat ada 67.368 anak telantar di Indonesia pada tahun 2020. Sementara di Kaltim terdapat enam ribu lebih atau 10 persen dari angka nasional.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, ada 4 masalah penting yang perlu mendapatkan perhatian ekstra soal anak saat ini. Di antaranya kejahatan seksual, kejahatan berbasis siber, pengabaian pemenuhan hak dasar anak akibat perceraian dan konflik orang tua, serta radikalisme.
Hidup di era digital, membuat anak rentan terkena kejahatan. Sosial media menjadi “jembatan” yang mempertemukan anak dengan pelaku tindak kejahatan. “Pintu masuk kasus-kasus kekerasan seksual polanya bergeser melalui media sosial,” kata Susanto.
Angka perceraian yang tinggi di Indonesia termasuk di Kaltim dan Balikpapan juga sangat berpengaruh pada anak. Bahkan anak menjadi korban terbesar. Soal kelangsungan pendidikannya, pemenuhan kesehatan, hak bermain serta pengembangan bakatnya terhambat akibat beban psikologis dan ekonomi.
Sementara itu, saat ini semakin banyak media bermain anak tidak aman untuk tumbuh kembang anak. Banyak media bermain anak bermuatan konten sadisme, kekerasan, bermuatan judi, pornografi, berbau SARA dan kebencian, sehingga membentuk kepribadian anak yang tidak sehat.
Kita semua bersedih dan tak habis pikir, kejadian tragis dialami ibu dan anak di Muara Muntai, Kukar, Selasa (5/7). Persis di saat listrik padam karena blackout, seorang ayah berinisial LH menghabisi anak istrinya. Alasan LH tidak mampu menghidupi karena kesulitan ekonomi. LH baru bisa ditangkap setelah didor petugas.
Orangtua menghabisi anaknya untuk keluar dari kesulitan hidup terjadi di mana-mana. Anak-anak mendapat kekerasan seks begitu juga maraknya. Dengan semangat Hari Anak, mari kita lindungi anak-anak kita. Bukan sebaliknya kita yang menjadi predator. Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2022.(*)