Hingga sekarang jejak dan bekas Kampung Eropa masih mudah dikenali baik berdasarkan bangunan kolonial, museum, monumen yang tersebar di sejumlah titik di Surabaya.
Di Surabaya, kawasan Kampung Eropa sendiri ada di tiga titik, yakni Kampung Eropa pertama membentang di sekitar kawasan Jalan Rajawali, Kalisosok, Jalan Garuda, Internatio, Taman Sejarah, PTPN 11-12, Gedung Singa, Jembatan Merah, Jalan Veteran, Polrestabes, Jalan Merak, Jalan Kepanjen, Jalan Pahlawan, kawasan Gubernuran, dan Kemayoran.
Pada masa pendudukan Belanda di Surabaya, Jalan Rajawali bernama Heerenstraat atau berarti jalan para tuan. Derah ini menjadi kawasan pusat kegiatan ekonomi maupun pemerintahan. Banyak bangunan tua yang berfungsi sebagai perkantoran, seperti Gedung Internatio yang digunakan oleh Asosiasi Perdagangan dan Kredit Internasional Rotterdam. Di sana ada bunker, Gedung Gubernuran dan Penjara Kalisosok.
Jembatan Merah (Willemskade) juga menyimpan kisah heroik pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Selain itu, Jembatan Merah juga sebagai pemisah antara daerah tempat tinggal etnis Belanda dengan etnis pendatang seperti etnis China, Arab dan Melayu.
Kampung Eropa kedua, meliputi kawasan Siola, Jalan Tunjungan, Hotel Majapahit, Gedung BPN, Inna Simpang, eks Apotek Simpang, Gedung Grahadi, Balai Pemuda, eks Balai Kota, dan Delta Plaza.
Kawasan Tunjungan mulai menjadi pusat niaga pada 1923, setelah sebuah perusahaan perdagangan Inggris Whiteaway Laidlaw & Co, membangun toko di kawasan ini. Selain itu terdapat juga toko Aurora yang berganti menjadi gedung bioskop, Toko Mattalitti yang menjual piringan hitam gramaphone dan terdapat Hotel Oranye yang sekarang menjadi Hotel Majapahit.
Untuk mengoptimalkan kawasan Jalan Tunjungan menjadi destinasi wisata, salah satunya dengan mengubah konsep Jalan Tunjungan menjadi “Tunjungan Romansa” yang menyuguhkan perpaduan konsep lifestyle, modern dan heritage. Tunjungan Romansa telah diluncurkan Wali Kota Surabaya, Eri Cahaydi, pada Minggu malam, 21 November 2021.
Di tempat itu, disuguhkan kuliner dari para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Surabaya. Bahkan, suguhan ini semakin lengkap dengan beragam jenis pertunjukan seni dan budaya.
Sedangkan Gedung Siola merupakan mal pertama di Surabaya yang berdiri pada tahun 1877. Saat ini, Siola difungsikan sebagai mal pelayanan publik bagi masyarakat Surabaya.
Begitu juga dengan Hotel Majapahit yang dulunya bernama Hotel Yamato. Hotel ini sebagai tempat berlangsungnya kejadian ikonik dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ada juga Gedung Grahadi yang menjadi kediaman penguasa VOC Gezaghebber sekarang menjadi kantor Gubernur Jawa Timur. Sedangkan Balai Pemuda dahulunya atau tempat pesta kini menjadi tempat kegiatan seni dan budaya.
Kampung Eropa ketiga meliputi kawasan sekitar Jalan Darmo, Rumah Sakit Darmo, SMA Santa Maria, Graha Wismilak, Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, SMA St. Loius, dan Jalan Polisi Istimewa.
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus merupakan Gereja Katedral Surabaya yang berdiri sejak tahun 1921. Gereja ini menjadi pusat aktivitas keuskupan. Pada tahun 2013, gereja ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemkot Surabaya.
Graha Wismilak dulunya merupakan sebuah toko. Toko itu menjual barang kebutuhan orang-orang Belanda seperti rokok, minuman keras, dan perabotan rumah yang indah.
Kampung Arab
Beberapa daerah di Indonesia memiliki kampung yang sebagian besar dihuni etnis Arab. Seperti di Jakarta, Palembang, Pekalongan dan Surabaya. Kampung Arab di Surabaya berada di kawasan wisata religi Sunan Ampel.
Dahulunya Kampung Arab dihuni oleh Sunan Ampel yang punya nama kecil Raden Rahmat Rahmatullah, putra Sunan Gresik dengan putri Raja Champa, Dewi Candrawulan. Di kawasan tersebut kemudian dibangun masjid dan juga pondok pesantren yang kemudian berkembang luas dan berpengaruh di Indonesia. Memang sejak tahun 1451, orang-orang Timur Tengah mulai datang ke wilayah Ampel.
Gelombang pertama ini datang untuk berdagang selain karena mendengar ada wali di wilayah itu. Gelombang selanjutnya terjadi pada tahun 1820, ketika pendatang dari Hadhami datang dari Hadramaut, Yaman Selatan datang ke Surabaya.
Pada era 1900, lebih banyak lagi Hadhami yang datang karena negara asal mereka terjadi konflik politik. Sejak itu wilayah Ampel juga dikenal sebagai Kampung Arab. Apalagi karena usahanya meningkat, mereka bisa membeli rumah-rumah di kawasan Ampel.
Meski namanya Kampung Arab, tapi banyak bangunannya bercorak Hindu Jawa seperti terlihat dari Masjid Ampel. Banyak juga bangunan bercorak Eropa, China, dan Melayu seperti yang terlihat di Jalan Panggung, kawasan Kampung Arab.
Di wilayah Ampel, sebenarnya adalah Kampung Melayu yang dihuni oleh masyarakat Melayu dari Sumatera seperti Palembang bahkan Malaysia. Menurut arsip sejarah, koloni berdasar etnis itu dibuat pemerintah Belanda sejak abad 19.
Kawasan Ampel memang banyak didatangi karena roda perekonomian dan pelayanan masyarakat bisa berputar sendiri. Selama puluhan tahun, Kampung Arab Ampel Surabaya merupakan kawasan mandiri.
Salah satu magnet terkuat masyarakat Arab memilih tinggal di Kampung Arab karena keberadaan makam Sunan Ampel. Sehingga keberadaan sejarah dan perkembangan wilayah Ampel itu membuat para wisatawan tertarik datang ke sana.
Di sepanjang jalan menuju ke kompleks makam dan masjid Ampel, banyak penduduk lokal yang menawarkan barang khas kampung Arab semisal perlengkapan ibadah, siwak (sikat gigi zaman Rasul), minyak wangi, kacang Arab dan kurma.
Pengembangan Heritage Tematik
Wisata heritage di Surabaya merupakan salah satu sektor yang butuh perhatian serius dari pemerintah kota setempat. Selain upaya menghidupkan wisata heritage, juga menyusun berbagai event atau kegiatan untuk menarik wisatawan datang serta menciptakan kawasan wisata terintegrasi.
Bahkan, konsep baru untuk mengemas destinasi wisata heritage perlu disiapkan. Tidak hanya sekadar melestarikan, melainkan tempat-tempat bersejerah itu bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, tengah melakukan penataan kawasan bangunan bersejarah yang ada di sisi utara Kota Pahlawan meliputi kawasan Jalan Karet, Jembatan Merah, dan sekitarnya. Kawasan itu nantinya bakal disulap menjadi tempat wisata kota tua. Rencananya, nama yang diusung adalah Suroboyo Kutho Lawas.
Sepanjang Jalan Karet nantinya akan ada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), aneka olahan kopi yang berjajar. Wali Kota Eri menargetkan sebelum 31 Desember 2023 sudah jadi.
Untuk itu, bangunan-bangunan di sekitarnya akan didata terlebih dahulu. Jalan Karet dan sekitarnya dipaving. Sedangkan ornamen yang ada di wisata Suroboyo Kutho Lawas dibedakan, agar tidak sama seperti Tunjungan Romansa.
Cak Eri–panggilan akrab Eri Cahyadi–optimistis ketika wisata itu dibuka, dipastikan bakal ramai dan menarik banyak masyarakat untuk berkunjung. Ia juga berharap tempat-tempat wisata yang ada di Kota Surabaya bisa saling terintegrasi satu sama lain.
Saat ini ada wisata susur Sungai Kalimas yang bisa saling terkoneksi dengan tempat-tempat wisata lainnya, seperti Monumen Kapal Selam, Alun-Alun Suroboyo, Tunjungan Romansa, Rumah Bung Karno, Kya-Kya, hingga ke kawasan kota tua.
Sementara itu, Pemerhati sejarah dari Komunitas Begandring Soerabaia, Nanang Purwono, menilai wilayah Surabaya Utara sangat potensial dalam pengembangan wisata heritage. Selain Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel, terdapat tiga lokasi lain yang perlu direvitalisasi, yaitu kawasan di Jalan Panggung, Jalan Kalimas Udik, dan Jalan Kalimas Timur.
Tiga lokasi tersebut merupakan segitiga emasnya wisata heritage yang memiliki kisah sejarah yang berbeda, tetapi saling berhubungan. Selain itu, ada Jalan Kalimas Udik dan bangunan Langgar Gipo di lokasi tersebut. Terakhir adalah Jalan Kalimas Timur. Lokasi itu sangat dekat dengan Sungai Kalimas. Wisatawan bisa menikmati pemandangan Surabaya dengan menyusuri sungai menggunakan perahu.
Tidak hanya itu, Pemkot Surabaya saat ini juga telah mengkoneksikan destinasi wisata sejarah sekaligus sejumlah peristiwa heroik perjuangan dari Kota Pahlawan. Peristiwa heroik yang dimaksud seperti peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (kini hotel Majapahit) hingga pertempuran 10 November 1945.
Upaya tersebut dinamai Wisata Perjuangan Surabaya. Hal itu sudah dimulai dengan digelarnya teatrikal Parade Surabaya Juang pada 2022. Selain itu, ada juga teatrikal peristiwa Perobekan Bendera Belanda di Hotel Majapahit, Surabaya yang baru saja digelar pada Minggu, 17 September 2023.
Melihat semaraknya kegiatan itu, Pemkot Surabaya pun mendaftarkan teatrikal Perobekan Bendera dan event 10 November ke dalam Kharisma Event Nasional (KEN) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI.
Revitalisasi tematik bangunan bersejarah di Kota Surabaya akan menciptakan ikon-ikon Surabaya yang menarik perhatian warga dan pengunjung. Melalui semangat itu, maka sudah saatnya semua bergandengan bersama dalam melacak, menghidupkan, mengembangkan dan memanfaatkan potensi kota itu demi menjaga identitas diri dan kesejahteraan warga.
Oleh Abdul Hakim
Editor : Slamet Hadi Purnomo