Oleh: Aldy Artrian
Ketua Bawaslu Kota Bontang
Istilah Salus populi suprema lex (ada menyebut Salus populi suprema lex esto dan Salus populi suprema est) sempat populer dimedio tahun 2020 karena kerap dilontarkan oleh para petinggi dan pengamat dalam berbagai pernyataannya, yang kurang lebih artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Hal ini berkenaan pada saat pandemi covid-19 terjadi, dan bersamaan juga dalam tahap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020. Dalam sebuah tulisan seorang peneliti senior di Mahkamah Konstitusi, Pan Mohammad Faiz menguraikan bahwa adagium latin ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus”.
Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum. Tambahnya, menurut Benjamin Straumann dalam bukunya “Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016), prinsip Cicero tersebut banyak disalahartikan dengan menempatkan tujuan keselamatan rakyat tanpa mengandalkan hukum dan konstitusi, namun lebih bergantung pada karakter kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan.
Sebenarnya konsep ini bukan hal baru. Dalam perspektif keIndonesiaan, adagium ini telah tercemin dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat yakni untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Tujuan ini harus mampu diterjemahkan dan menjadi arah dan nilai dalam setiap sendi kehidupan berbangsa serta bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan dan perumusan kebijakan.
Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk memaknai adagium tersebut dalam rangka penanganan pandemi dalam lingkup konstitusi, melainkan mencoba melihatnya dari perspektif Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai salah satu instrumen menyelamatkan segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.
Pemilu hadir bukan untuk menggugurkan syarat amanat UUD 1945, namun urgensinya adalah sarana penguatan kedaulatan rakyat. Konsep demokrasi memandang bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks kenegaraan, Indonesia sebagai negara hukum demokratis memandang bahwa pemilu juga membawa misi dalam upaya mencapai cita-cita bersama.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Secara universal, tujuan hukum adalah untuk mencapai kepastian, keadilan dan kebermanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka dalam konsep penyelenggaraan kekuasaan, dapat timbul pertanyaan mengenai bagaimana peran Pemilu dalam memenuhi tujuan tersebut?
Untuk memulai diskusi, dapat dipantik dengan gagasan sebagai berikut: Pertama, pemilu memberi kepastian dalam mekanisme dan prosedur transisi kekuasaan. Kekuasaan membutuhkan legitimasi dalam melaksanakan fungsinya, dan pemilu dapat memberikan efek tersebut. Legitimasi memiliki korelasi tegak lurus dengan partisipasi, begitu pun sebaliknya.
Konstitusi telah memberi batasan mengenai masa jabatan kepemimpinan, kepatuhan dan ketaatan secara kolektif akan mencegah terjadinya kekosongan kekuasaan maupun kepemimpinan secara absolut. Suksesi tidak semata sebagai gelanggang adu intrik dan akurasi kalkulasi, melainkan penegakkan supremasi hukum dan konsolidasi demokrasi.
Kedua, pemilu dapat menjadi sarana mendekatkan dan memperoleh keadilan. Pada momentum ini, kepada para pemimpin, elit, dan partai politik yang tidak amanah, tidak berkomitmen memerangi korupsi, memerintah secara ugal-ugalan, pengingkar janji kampanye, pelindung para oligarki dan seterusnya harus diberi sanksi oleh rakyat untuk tidak berkuasa lagi. Setidak-tidaknya, kerusakannya tidak keterusan. Rakyat dapat mencegahnya dengan tidak memilih pihak-kelompok yang tidak kompeten untuk berkuasa. Kekuatan moral rakyat dapat menghukum penguasa yang tidak adil.
Ketiga, pemilu yang diselenggarakan secara berintegritas akan mendekatkan kepemimpinan dan perwakilan yang diharapkan. Mereka hadir sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat. Menjadikan kebijakan sebagai alat memerangi kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Sehingga cita-cita kesejahteraan semakin pantas dibicarakan dan diwujudkan. Kepemimpinan efektif yang mampu memberikan keteladanan sekaligus menggerakkan. Pemimpin dan kepemimpinan yang senyata-nyatanya membawa kemaslahatan.
Artinya, pemilu secara jelas berdampak nyata dalam kehidupan bersama. Pemilu bukan tentang keriuhan pesta demokrasi, pemilu juga perlu dipandang sebagai instrumen koreksi. Rakyat sebagai pemilik kuasa (kedaulatan), perlu menyadari nilai tawar ini untuk kemudian dengan kesadaran tinggi memberikan keputusan: siapa yang dapat diandalkan dan siapa yang harus ditinggalkan.
Mengutip istilah latin, Concordia civium murus urbium yang artinya “harmoni antar warga negara adalah tembok kota”. Maknanya, dalam mempertahankan kota, alat yang paling baik adalah persatuan antar warganya. Jika diperkenankan, boleh kita menyimpulkan dalam adagium baru: keselamatan rakyat dirawat dari kekuatan persatuan rakyat. (**)