Beranda BONTANG Memaknai Kisah Nabiyullah Ibrahim dengan Putranya Dalam Realitas Sosial di Era Modern

Memaknai Kisah Nabiyullah Ibrahim dengan Putranya Dalam Realitas Sosial di Era Modern

0
Ustaz. ZULKIFLI

(Muhasabah Bagi Orang Tua dan Generasi Milenial)

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Salam sehat, salam literasi, salam generasi milenial.
Saat ini kita sudah berada pada pertengahan bulan Dzulhijah 1442 H, sekaligus kita sedang menanti tahun 1443 H. Artinya, tinggal beberapa hari lagi kita akan berjumpa hari Raya Idul Qurban dan pelaksanaan ibadah haji. Sesungguhnya kedua rangkaian ibadah ini merupakan esensialitas kehidupan umat manusia.

Jika ibadah kurban membebaskan jiwa dari sifat bakhil, sementara ibadah haji merupakan sarana introspeksi diri. Jika keduanya telah ditunaikan dengan benar, maka akan tumbuh benih-benih ketakwaan, sehingga akan tampak pancaran nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupan kita.

Histori nabiyyuna Ibrahim Alaihissalam bersama dengan putranya, dapat diilustrasikan sebagai bibit atau benih yang kecil, kemudian tumbuh menjadi kelopak yang akhirnya membesar menjadi batang atau pohon, daun dan dahannya rimbun menjulang tinggi ke langit, urat dan akarnya menghunjam ke perut bumi dengan subur dan kokoh, sehingga keduanya telah diabadikan di dalam Al-Quran sekaligus nabiyullah Ibrahim Alaihissalam sebagai salah satu tokoh pendidikan yang sukses mendidik putranya. Lalu nilai-nilai apa yang dapat kita ambil pada peristiwa bersejarah ini? Kemudian, bagaimana cara kita mengimplementasikan dalam realitas kehidupan modern?

Dua pertanyaan di atas, tentu harus didasari  argument dan cara pandang yang objektif serta sistematis,  karena persoalan mendidik bukanlah perkara yang mudah. Untuk itu, mari kita telaah dan menganalisis dialog nabi Ibrahim Alaihissalam dengan putranya yaitu Ismail, melalui pendekatan historis dalam bingkai realitas sosial di era modern.

Peristiwa yang menakjubkan yang pernah dialami oleh nabi Ibrahim Alaihissalam terhadap putranya yang pada akhirnya mendapat julukan atau telah menyandang predikat Nabi, yakni Ismail Alaihissalam. Kisahnya telah diabadikan di dalam Al-Quran, yakni bermula dari ucapan yang keluar dari lisan Nabi Ibrahim, kemudian menjadi sebuah isyarat mimpi yang pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Quran:

“Wahai anakku Ismail, sesunguhnya saya bermimpi bahwa Allah perintahkan kepadaku untuk menyembelihmu, sebagai wujud pengorbanan ku kepada Allah, dan bagaimana pendapatmu?”.

Sebagai anak penurut, akhirnya Ismail menjawab pertanyaan ayahnya tanpa ada rasa khwatir, lalu Nabiyullah  Ismail  memberikan jawaban dengan penuh keyakinan dan kesantunan.

“Wahai Ayahku! Wujudkanlah mimpi Ayah, apa yang Allah perintahkan lakukanlah, sesungguhnya engkau mendapatiku sebagai orang yang sabar”.

Sebagai anak yang santun, berhati lembut dan penurut, tentu dengan mudah mematuhi sebuah keinginan orang tuanya. Namum sebelum ia disembelih, Ismail mengajukan permohonan kepada Ayahnya. Lalu sang ayah yang bijak memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menyampaikan argumentasi, kemudian Nabi Ibrahim Alaihissalam mendengarkannya:

“Wahai ayah! Saya mohon kepadamu ikatlah kedua tanganku agar saya tidak banyak bergerak saat engkau menyembelihku”.

Sebaliknya generasi kita saat ini tidak ingin dibatasi oleh orang tuanya karena merasa dirinya lebih hebat, lebih modern, bahkan merasa lebih tinggi pendidikannya dari pada orang tuanya. Sementara kebanyakan orang tua tidak pernah peduli dengan kondisi sang anak. Kebanyakan orang tua memaksakan keinginan atau kehendak dirinya, tanpa mempertimbangkan kondisi psikis dan psikoligis  anak.

“Wahai ayah! Saya mohon kepadamu, pakailah pisau yang tajam, agar engkau lebih mudah menyembeliku.

Sebaliknya, generasi muda saat ini, hampir tidak pernah memikirkan perasaan orang tuanya, mereka hanya mampu menuntut agar kebutuhannya segara dipenuhi, layaknya teman-teman lainya. Jika tidak, mereka tidak sungkan memaksa orang tuanya bahkan berani membentak orang tuanya.

“Wahai ayah! Saya mohon kepadamu, jika engkau pulang ke rumah sampaikan salamku. Dan mohon sampaikan kepada Ibuku, agar ia bersabar menjalani perintah Allah. Saya jalani ini karena saya ingin ayah dan Ibuku kelak dimasukkan ke dalam surganya Allah”.

Sudah jarang ditemukan, anak yang mau memikirkan kondisi orang tuanya mau mengorbankan waktu untuk orang tuanya, karena mereka telah disibukkan oleh pekerjaannya, padahal orang tua sangat merindukannya. Bahkan saat ditelepon oleh orang tuanya enggan ia angkat, karena merasa terganggu bahkan mereka tidak sungkan mengatakan kepada orang tuanya.

“Mama/Bapak saya tidak ada waktu untuk pulang dan menemuimu, karena dalam waktu dekat ada sejumlah proyek besar yang harus saya tuntaskan, bahkan cukup banyak agenda pertemuan saya dengan sejumlah pejabat. Sudahlah tenang saja di sana, nanti saya transferkan uang belanja saja, karena saya tidak ada waktu untuk pulang,”ujar si anak.

“Wahai ayah! Saya mohon kepadamu, jangan sama-sekali engkau izinkan anak laki-laki mendatangi Ibuku, karena bisa jadi Ibuku akan kasihan, juga akan teringat lagi denganku sehingga akan menjadi beban pikirannya, juga akan meneteskan air mata…….khawatir itu yang akan menghalangiku masuk ke dalam surga.

Justru saat ini, banyak anak yang kita temukan hanya menambah beban pikiran orang tuanya. Ibunya tidak hanya menanggung bebanya disaat dirinya masih dalam  kandungan ibunya, bahkan setelah tumbuh remaja hingga berkeluarga masih saja menguras pikiran dan membebani hidup orang tua. Bahkan tidak sedikit anak yang menipu orang tuanya sendiri. Lebih miris lagi si anak tega menitipkan orang tuanya di panti jompo, karena ia merasa direpotkan. Itukah balasan Anda selama ini?

Selanjutnya, pada kisah proses penyembelihan Ismail, merupakan sebuah peristiwa yang amat bermakna di dalam kehidupan kita, salah satunya adalah telah mengajarkan kita bahwa sesungguhnya Allah hanya ingin menguji ketulusan dan keikhlasan hati hamba-Nya. Sebagaimana ungkapan Qs. al-Mulk [67]: 2

“…Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Betapa luar biasanya pengorbanan Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam serta ketulusan dan ketangguhan akidah Ismail. Jika kita amati,  kini generasi muda kita di era modern ini atau lazim dikenal dengan istilah generasi Milenial, akidahnya tidak lagi setangguh Ismail, sikap dan mental generasi kita tidak lagi sehebat Ismail, mereka sekan terkikis oleh perkembangan zaman.

Kini generasi muda kita hampir kehilangan identitas diri, bahkan akhlaknya telah tergadai dengan pergaulan,  sedangkan keberaniannya telah disalahgunakan. Sesuai realitas sosial generasi kita di masa kini. Mereka lebih takut jika dicap oleh temannya tidak gaul, tidak setia.

Mereka takut jika telepon dari temannya tidak dijawab, namun ia tidak takut jika panggilan orang tuanya diabaikan. Ia tidak takut jika orang tuanya dibentak, bahkan mereka tidak sungkan dan menyesal jika mereka membohongi dan menyakiti orang tuanya.

Di zaman modern ini, kian hari kian berat tantangan dan ujian yang harus kita hadapi. Terlebih lagi derasnya informasi media memberitakan kasus Covid-19, sehingga kehidupan terasa mencekam, diselimuti ketakutan yang luar biasa.

Sementara Al-Quran telah memberikan berbagai informasi secara detail tentang pedihnya balasan dan siksaan api neraka. Namun manusia tetap cuek luar biasa. Hal ini menjadi bahan introspeksi diri atau muhasabah yang tidak hanya sibuk meningkatkan imun, namun kita abai meningkatkan kualitas iman kita.

Selanjutnya, sebagai orang tua tentu kita tidak mampu mewujudkan impian untuk memiliki anak atau putra seperti kepribadian Ismail, jika sang ayah jauh dari sikap dan prinsip nabiyullah Ibrahim Alaihissalam. Dalam tulisan ini penulis mengajak seluruh orang tua untuk menelaah dan memahami hakikat kehidupan yang Allah titipkan kepada kita semua, bahwa:

  1. Semakin bertambah usia kita, ketajaman mata semakin berkurang, karena Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk menggunakan mata hati agar lebih banyak memerhatikan urusan akhirat daripada urusan dunia semata;
  2. Semakin bertambah usia kita, maka kekuatan tulang dan persendian semakin lemah bahkan mulai sakit-sakitan. Karenanya Allah mengingatkan kita bahwa sebentar lagi tubuh ini akan terbujur kaku sekaligus akan menjadi santapan cacing tanah;
  3. Semakin bertambah usia kita, satu-persatu anak mulai tumbuh remaja hingga berkeluarga dan akan berpisah dengan orang tuanya. Artinya Allah sedang mendidik kita untuk belajar melepaskan rasa cinta dan ketergantungan kepada manusia;
  4. Lambat laun ingatan kita kian hari kian menurun, hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kita harus mulai melupakan kebaikan yang pernah kita lakukan.
  5. Semakin tua usia kita, maka rambut akan semakin memutih, karena Allah sedang mengingatkan kita, bahwa sebentar lagi jasad kita akan ditutupi dengan kain putih;

Wallahu’alam bissawwab……
Wasaalaamu’alaikum wr.wb.

Oleh: Ust. ZULKIFLI, S.Pd.I., M.Pd.
Mubalig & Dosen Agama Islam STITEK Bontang

 

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version