Bunyi mesin menderu-deru di Jalan Ambalut, Kelurahan Lempake, Samarinda Utara, ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Puluhan truk Mitsubishi Colt itu lalu-lalang mengangkut batu bara sejak matahari mulai terbenam. Emas hitam diduga dikeruk dari sebuah bukit persis di belakang pemukiman. Hampir seluruh warga setempat tahu, pertambangan itu tak berizin.
Pada Sabtu (25/9/2021) malam, sebanyak 50 warga dari 5 RT di Muang Dalam akhirnya bergerak. Mereka memblokir jalan yang biasa dilewati truk pengangkut batu bara. Warga turut mendatangi lokasi galian, tidak sampai 500 meter dari perempatan Jalan Ambalut-Rapak Serda-Pampang.
Seorang sumber yang merekam kejadian itu menceritakan, warga sebenarnya jengah dengan aktivitas ini. Pengerukan emas hitam dituding sebagai biang banjir setinggi dada yang ikut menyeret ceceran batu bara ke perkampungan. Malam itu, terangnya, warga berhadap-hadapan dengan penambang. Masyarakat meminta seluruh aktivitas dihentikan.
“Warga menutup jalan yang disebut sebagai jalur hauling. Saya juga menerima informasi ini keesokan paginya,” aku Lurah Lempake, Nurharyanto, kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Selasa (28/9/2021).
Nurharyanto membenarkan, aktivitas penggalian di daerah itu sudah berjalan lama. Berdasarkan informasi yang diperoleh kelurahan, kegiatan dimulai pada 2018. Para penambang tidak datang sendiri. Beberapa oknum warga, sebut lurah, menerima dana untuk bisa “bermain” di sana.
kaltimkece.id menemui dua warga yang mengetahui duduk perkara penolakan masyarakat terhadap tambang ilegal di Muang Dalam. Keduanya mengaku, menerima intimidasi dan terancam sehingga meminta identitas mereka dirahasiakan.
Kesaksian keduanya telah dijamin dan dikonfirmasi oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) serta Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim. Kedua organisasi nirlaba yang berfokus kepada lingkungan tersebut sudah turun ke lapangan.
Menurut dua sumber ini, persoalan bermula 5 tahun silam. Sebuah perusahaan datang untuk berbisnis tanah kaveling di Muang Dalam. Perusahaan kemudian mematangkan lahan. Akan tetapi, tidak sampai beberapa bulan, justru emas hitam yang keluar dari lokasi. Sekelompok warga lantas melakukan penolakan. Sebuah organisasi kepemudaan dan ketua RT mempertemukan warga dengan perusahaan. Dalam pertemuan itu, perwakilan perusahaan mengeluarkan surat izin pematangan lahan. Perusahaan berdalih, batu bara yang dikeruk adalah limbah yang hendak dikeluarkan dari lahan kaveling. “Sejak itulah, makin banyak yang menggali batu bara di Muang Dalam,” ucap sumber tadi.
Setidaknya, ada 6 titik penggalian yang terbagi dalam dua bukaan lahan. Sumber tadi menjelaskan, lokasinya di hulu dan hilir Muang Dalam. Sejumlah pos pengamanan didirikan. Dimulai depan lokasi tambang di perempatan Jalan Ambalut-Rapak Serda-Pampang, berakhir di poros Samarinda-Bontang, tepatnya di depan gerbang Desa Budaya Pampang. Setidaknya, menurut mereka, ada 24 kelompok yang menambang di kawasan tersebut.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, justru menginformasikan, ada 30 kelompok yang menggali batu bara di Muang Dalam. Para penambang disebut berjejaring dan tergabung dalam satu grup aplikasi perpesanan. Grup ini disebut terhubung dengan setiap penambang ilegal di Bumi Etam. “Mereka bisa langsung menghindar saat ada inspeksi mendadak di lokasi,” beber Rupang.
Direktur Walhi Kaltim, Yohana Tiko menambahkan, beberapa warga menerima intimidasi setelah pemblokiran jalan. Pintu rumah warga digedor orang tak dikenal. “Yang jelas, tidak dialami satu atau dua orang. Warga sudah lelah karena persoalan ini tidak selesai sejak lama,” terang Tiko.
Lurah Lempake, Nurharyanto, membenarkan bahwa alat berat dan truk yang beroperasi di lapangan mendadak lenyap ketika pihak berwenang datang. Sementara mengenai informasi jumlah penambang, lurah menilai, masih simpang siur. Warga juga tidak bisa mengidentifikasi jumlah dan identitas pelaku tambang ilegal.
“Saya pernah dengar dari warga jumlahnya ada sembilan, pernah juga 22. Selama ini, laporan lebih banyak secara lisan. Keterangannya juga tidak detail. Mungkin karena takut-takut,” jelasnya.
Camat Samarinda Utara, Syamsu Alam, mengaku, telah diminta warga mengambil sikap. Selain biang banjir, praktik ini dikeluhkan karena memakai jalan umum. Syamsu menambahkan, warga telah menandatangani surat penolakan aktivitas tambang. Camat mendukung keinginan tersebut dan telah membuat laporan secara berjenjang.
“Saya sempat menghentikan (truk) di Lempake yang tidak ada izinnya. Saya juga pernah melaporkan hal ini sampai ke ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Kata mereka, hanya bisa disetop Polda. Sekarang, kewenangan sudah ditarik ke (pemerintah) pusat. Saya sampai dituduh macam-macam,” ungkap Camat melalui sambungan telepon.
DUA BUKAAN DARI CITRA SATELIT
Di tempat yang lain, Wali Kota Samarinda, Andi Harun, mengaku, tidak memiliki kuasa dan kewenangan. Fungsi pengawasan sepenuhnya di tangan inspektur tambang. “Kalau ada kewenangan saya, hari ini juga saya gunakan,” ucap Andi Harun kepada kaltimkece.id saat ditemui di pelataran Kompleks Perkantoran Balai Kota.
Gubernur Kaltim, Isran Noor, mengaku, tidak mengetahui mengenai persoalan tambang ilegal di Muang Dalam. Ia menjelaskan hal tersebut merupakan hak mereka. “Biar saja. Itu hak mereka. Kalau ada tambang ilegal, itu hak mereka,” kata Gubernur selepas mengikuti Dies Natalis Universitas Mulawarman, Senin (27/9/2021), di Gedung Integrated Laboratory Unmul.
Kepala Dinas ESDM Kaltim, Christianus Benny, menjelaskan bahwa dari pencitraan Satelit Sentinel 2, aktivitas pertambangan disimpulkan sudah berlangsung tiga bulan silam. Dalam kurun Januari hingga Juli 2021, dua titik lahan vegetasi berubah menjadi lahan terbuka karena aktivitas pertambangan. Hal ini disimpulkan berdasarkan tumpukan batu bara di lokasi bukaan di Muang Dalam.
“Kami juga mengonfirmasinya berdasarkan inspeksi lapangan pada Selasa, 21 September. Dipimpin Kabid Minerba, Azwar Busara,” ucapnya melalui aplikasi pesan singkat.
Setelah pengamatan dan mengecek Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Minerba One Map Indonesia (MOMI), Benny menjelaskan, lokasi penggalian tidak masuk konsesi perusahaan manapun. Dengan demikian, aktivitas pertambangan murni tanpa izin dan bersifat pidana. Temuan sudah diteruskan kepada Tim Satuan Tugas Lintas Kementerian/Lembaga Penanganan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) Komoditas Mineral dan Batu Bara.“Seharusnya pidana, tetapi yang menentukan adalah tim penanganan Satgas PETI,” kunci Benny.
Menurut salinan putusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 101.K/HK.02/MEM.B/2021, Satgas PETI berfungsi menginventarisasi lokasi kegiatan pertambangan tanpa izin dan mencari penyelesaiannya. Satgas juga berfungsi membina dan mengawasi dampak sosial, ekonomi, kewilayahan, teknis, lingkungan serta kebencanaan dari aktivitas pertambangan ilegal.
“Saling melempar kewenangan adalah pertanda bahwa Kaltim sudah menyerah menertibkan tambang ilegal,” kata Pradarma Rupang dari Jatam mengambil kesimpulan. (kk)