spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Masih adakah harapan itu?

(Bagian 9, Novel Bocah Bintan, Mengguggah Harapan dan Jiwa)

Bunyi suara sirine pagi terdengar di langit Kijang dan  seperti biasa itu menjadi pertanda geliat kegiatan tambang  bauksit  mulai kembali aktif lagi di hari itu ,terkadang aku berpikir entah sampai berapa lama lagi suara sirine itu akan terus berbunyi di bumi Kijang seiring tanah yang dikeruk sejak jaman Belanda sampai ke PT Antam pasti akan habis, itu yang selalu disampaikan bu Asma jika mengajar pelajaran  IPA kepada kami, bahwa suatu saat tambang pasti akan habis karena tidak bisa di perbaharui, entah sudah berapa banyak panci-panci di benua Eropa sana yang bahan bakunya dari bauksit Kijang, ketika Belanda mengeruk bauksit dan mengekspornya ke negera Eropa saat itu.

Pagi itu hujan rintik mulai turun membasahi tanah, semilir angin meniup  lembut  dedaunan, suara petir bersahutan menggelegar dengan kilat yang menari-nari dibalik gumpalan awan hitam yang tebal. Paduan suara kodok mulai bernyanyi mengiringi hujan yang turun, seakan – akan mereka gembira dengan suasana itu. Suasana baru di kelas 6 menjadi sedikit sejuk, nampak formasi tempat duduk kami saat di kelas 5 tidak ada yang berubah, kecuali posisi duduknya Muliono S dan Muliono J yang bertukaran, mungkin karen sering ribut mereka berdua. Pernah saat pelajarannya pak Basirun kelereng di sakunya Muliono S jatuh kelantai semua, walhasil suara lantai kelas ribut suara kelereng yang membuat pak Basirun naik pitam, entah mereka berdua yang sedang iseng curi-curi main saat pelajarannya beliau, walhasil keduanya dihukum.

Seperti biasa rembesan air hujan sudah mulai rembes di dinding kelas, kendati suasana pagi nan sejuk  itu, tetap saja jam pelajaran pertama ibu Syaf sebentar lagi akan masuk, bisa membuat suasana menjadi “hangat”.  Baru sekitar dua hari kegiatan belajar mengajar di tahun ajaran yang baru sudah kembali berjalan, setelah hampir sebulan lamanya kami menikmati masa liburan Sekolah, tetap bagi Bu Syaf pelajaran harus masuk walau biasanya penyakit semua Sekolah biasanya minggu pertama paling hanya sekedar masuk tapi belum memulai pelajaran.

Namun aku selalu melihat satu kursi yang sejak awal sekolah mulai di kelas  6 yang masih kosong, yaitu kursinya Paito, hari itu namanya tertulis di papan absen kecil disamping meja guru,  tak ada kabar  tentang alasan  dirinya tidak masuk hari itu, biasanya Rauf dan Samsul teman kelas kami yang dekat dari rumahnya tahu alasan ketidakhadirannya, entah apakah dia masih memikirkan keduakaan setelah meninggalnya ibunya atau mungkin selama liburan Paito memaksimalkan bekerja di pelabuhan  namun  yang jelas hari itu mereka tak dapat kabar dari Paito, biasanya mereka berdua yang sering mendatanginya kalau sudah tidak masuk, setidaknya mencari tahu sekalian memberikan informasi kalau-kalau ada PR yang harus di kerjakan.

BACA JUGA :  Penyebab dan Potensi Pencipta Munculnya Sebuah Isu

Seperti biasanya, tak ayal  hari itu  kegiatan pungut-memungut buku tugas di lantai pada jam pelajaran Matematikanya bu Syaf kembali dimulai dan saat itu adalah tugas pertama yang kami kerjakan di pelajaranya, tampaknya obsesi kami suatu saat seluruh siswa harus bisa mengambil dengan rasa hormat di atas mejanya masih jauh dri harapan,  kendati pelajaran di kelas 6 di awal tahun belajar saat itu tidak terlalu berbeda dengan di kelas 5 tetap saja sepertiga dari kami harus memungut bukunya di lantai.

“Kemana Paito,,!?”, tiba-tiba Ibu Syaf membuka topik lain setelah beliau rampung mengajarkan pelajarannya saat itu.

“ Siapa yang tahu, alasan dia tak masuk hari ini ?”, kembali bu Syaf  mempertegas perkatannya.

“ Kami tak dapat kabar bu, mungkin sakit bu “, jawab Rauf .

Ibu Syaf mengehala napas panjang, tampak ada sesuatu yang dipikirkan dibenaknya.

“Ibu bisa memaklumi alasan jika Paito tidak masuk, tentunya berat suasana hatinya. Ibu juga dulu pernah merasakan kehilangan Ibu saat masih kecil. Namun ibu tak ingin kalah dengan keadaan, justru ibu harus semangat ditengah kehimpitan yang menimpa keluarga ibu, itulah sebabnya Ibu menjadi disiplin dan keras karena di didik oleh keadaan. Ibu menganggap kalian itu semua seperti anak ibu sendiri, jika Ibu marah itu karena Ibu tak ingin kalian menyerah”.

Suara Ibu Syaf tiba-tiba berubah menjadi sedikit serak dan terasa seperti menahan sesuatu di kerongkongannya, kemudian seiring dengan itu beberapa butiran bening  menetes dari kelopak matanya yang tajam itu, seperti biasa kami hanya bisa terdiam seribu bahasa. “Ibu tak ingin kalian itu seperti Ibu !, cukuplah saat Ibu dahulu ketika ingin sekolah begitu sulit dan tersiksa, tak mudah bersekolah di jaman Belanda dahulu”, ujar Bu Syaf sambil mengambil sapu tangan dari tasnya dan kemudian menyeka air matanya yang keluar.

“Dahulu ayah Ibu adalah seorang petani karet saja , kemudian dipaksa oleh Belanda untuk bekerja Rodi mengelola tambang ini, sejak pagi sampai malam bekerja mencangkul mengambil tanah-tanah yang mengandung bauksit”, kalian tahu tak kerja Rodi itu?”, tutur bu syaf kepada kami dengan terbata-bata, kami tidak menjawab pertanyaannya. “Meski demikian ayah ibu tak pernah putus asa memberikan semangat kepada ibu untuk sekolah yang tinggi, karena biaya terbatas adik-adik ibu harus berhenti sekolah rakyat saat itu. Sejak itu ibu ingin menjadi seorang guru agar bisa menebus pengorbanan keluarga ibu”, sambil bu Syaf menyeka air matanya.

“Cita-cita kalian harus tinggi, harus besar, jangan kalian jadi pecundang, dah lama penjajah membodohi kita, kalian harus menggantung cita-cita setinggi langit diatas sana, namun kalian harus punya jembatan mimpi menuju kesana, seperti pelangi yang menghubungkan bumi dengan langit”, kali ini bu Syaf sudah bisa menguasai emosinya, namun tetap saja kami tak berani untuk menatap wajahnya lama-lama.

BACA JUGA :  Hindari Pelecehan dan Kekerasan Anak dan Perempuan, Pilihlah Pesantren yang Tepat

“Ibu Cuma nak inginkan kalian memiliki semangat yang tinggi, jangan terlalu manja, kalau ibu keras terhadap kalian sebenarnya untuk kalian sendiri. Tak ada orang yang memiliki cita-cita yang tinggi yang ditebusnya dengan sifat malas, tak pernah ada seperti itu”. Beberapa saat kemudian ibu Syaf terdiam, guratan dahi di wajahnya memperlihatkan keras dan sulitnya kehidupan beliau dahulu kala itu.

“Pelangi itu kebersamaan, dia menjadi indah karena keelokan warnanya, saling menyokong satu sama lainnya, Ibu nak ingin kelas ini bisa lulus seratus persen di Ebtanas mendatang, jadilah selalu yang terbaik dan saling membantu”, demikian ungkapan terakhir Ibu Syaf sebelum meninggalkan ruangan kelas kami.

******

Di dapur sekolah, tampak bi Minah sedang membuatkan secangkir kopi untuk Pak Arif yang kali itu memanfaatkan jeda keluar main pertama untuk sedikit santai di teras dapur bi Minah,  Pak Arif  hanya minta dibuatkan segelas kopi hitamnya saja di dapur dan tak perlu di antar ke ruangan guru seperti biasanya. Sambil menikmati kopi hitamnya Pak Arif  sesekali mengajak  ngobrol dengan bi Minah yang tampak sibuk mengerjakan tugasnya.

“ Pos….Pos !”, tiba-tiba  teriakan kecil terdegar   di tepi gang,  tampak seorang pegawai Pos dengan motor khas warna orangenya sedang membuka kotak surat di gandengan jok belakang motornya, seperti biasanya mengantar beberapa amplop surat ke Sekolah. “Wah kebetulan orang yang dicari ada disini, sepertinya ada surat untuk pak Guru “, sapa akrab pegawai Pos yang sudah rutin mengantar surat ke Sekolah kami. Pak Arif segera meletakkan gelas kopinya kembali ke meja dan bangkit menghampiri pak pos yang tak jauh dari tempatnya. Sambil mengucapkan terima kasih kepada pak Pos, pak Arif tampak sedikit tergesa ingin melihat isi surat di dalamnya, dilihatnya dengan seksama ternyata surat dari Rahmi yang ditujukan kepadanya.

“Dari calon isterinya yah pak Guru ?!”, seloroh bi Minah setengah bercanda sambil tetap menggoreng didapurnya. Pak Arif tak menjawabnya, hanya membalasnya dengan senyuman kepada bi Minah.

“Semoga pak Guru cepat menikah dan  segera diajak  isterinya ke Kijang, biar bibi bisa kenalan dengannya”, imbuh bi Minah sambil mematikan kompornya.

“ Terima kasih kopinya yah bi  “, segera saja pak Arif menghabiskan kopinya dan bergegas  menuju ke ruangan Guru, sepertinya beliau ingin membacanya disana.

Segera saja pak Arif  berjalan cepat menuju ruangan Guru , tanpa basa-basi beliau langsung saja masuk ke ruangan menuju kursinya di pojok , pak Basirun tampak keheranan melihat ulah pak Arif.  Beliau sudah  tak sabar membuka amplop tersebut, secarik kertas dikeluarkannya dengan penuh perhatian pak Arif mulai membaca surat tersebut :

BACA JUGA :  Kekerasan Seksual di Kampus, Sekulerisme Wajib Dihapus

Assalamu ‘alaikum

“ Uda Arif yang saya hormati, semoga uda senantiasa dalam keadaan sehat walafiat selalu, demikian pula Rahmi dan keluarga disana dalam keadaan sehat. Sebelumnya Rahmi minta maaf kepada uda karena harus menyampaikan masalah  ini . Sebulan yang lalu Ayah Rahmi didatangi teman baiknya yang tinggal di Jakarta, dulu mereka sama-sama  dinasnya di Padang sampai pensiun .

Singkat cerita mereka akhirnya sepakat  menjodohkan antara aku dengan putranya. Setelah itu Ayah memanggil dan bercerita kepadaku tentang tawaran itu, aku sudah menjelaskan kepada ayah bahwa uda Arif masih harus menunggu masa tugasnya selesai, namun ayah tak bisa menerima, alasannya apalagi ayah sudah tua ingin cepat melihat cucu, belum tentu ayah diberi umur yang panjang katanya.

Ayah tak bisa menunggu lama, sampai engkau datang melamar aku. Ayah berprinsip jika ada laki-laki yang baik dan salih datang untuk melamar maka terimalah lamarannya, apalagi ayahnya adalah teman dekat ayah. Sejak aku mengenalmu dari Masjid diKampung, engkau adalah lelaki yang baik dan selalu menjaga akhlaq, seingatku engkau hanya sekali ke rumah bertamu di hadapan ayah saat itu, sebelum keberangkatanmu ke Kijang. Engkau pernah mengatakan jika memang jodoh engkau akan segera melamarku, aku selalu menantikannya.

Aku berharap uda Arif ikhlas karena akhirnya aku ingin membuktikan baktiku juga kepada ayah dan menyetujui lamaran itu, nama calon suamiku adalah  Mukhlis dia baru saja lulus dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, sekarang dia sedang tes di beberapa perusahan dan Insya Allah dalam waktu dua minggu kedepan kami akan menikah. Rahmi doakan agar uda Arif kelak mendapatkan pasangan yang tepat dan salihah. Wassalamu ‘alaikum

Salam hormat, Adikmu Rahmi

Pak Arif menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya di kursi, wajahnya tampak seperti patah semangat. Pak Basirun dari tadi mengamatinya dengan seksama.

“Surat dari Rahmi lagi, Rif……”, tegur pak Basirun.

“Iya Pak”, sambil beliau menganggukkan kepalanya.

“Minta segera dirimu melamar dirinya lagi ?” balas pak Basirun.

“Tidak pak”, tetap sorot matanya masih kosong.

“Lantas, apa masalahnya ?”, Pak Basirun penasaran

“Dua minggu depan dia akan menikah pak”. Spontan pak Basirun tersedak saat minum kopinya mendengar jawaban pak Arif .

Tiba-tiba ruangan menjadi hening, Pak Basirun tak lagi menyambung kalimatnya, terdengar lonceng jam pelajaran berbunyi. Pak Basirun melangkah pelan ke arahnya sebelum keluar menuju kelas.

“ Ayo Rif, sudah masuk jam pelajaran, anak-anak sudah pasti menunggumu “. Tampak pak Arif masih lemas,  suasana langit Kijang yang mendung diluar sana, sepertinya turut  mewakili suasana hati pak Arif yang sedang mendung.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Html code here! Replace this with any non empty raw html code and that's it.