spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Manfaatkan Energi Bersih, Kini Desa Muara Enggelam Nikmati Listrik 24 Jam

Indonesia yang memiliki kondisi geografis kepulauan, tentunya menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk berjuang menghadirkan energi yang berkeadilan hingga ke pelosok desa. Dengan mengusung program listrik desa, kini negara hadir untuk menyediakan listrik di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara (Kukar) sekaligus mengembangkan energi baru terbarukan berbasis potensi sumber daya setempat.

MUHAMMAD RAFI’I, Media Kaltim

RATUSAN panel surya kini terpasang rapi di atas pelataran Desa Muara Enggelam. Daerah terisolir yang tak pernah menyangka mendapatkan sentuhan pemerintah, kini berubah menjadi suatu daerah yang ‘menyala’ dengan hadirnya sambungan listrik.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal ini, nampak terbangun kokoh di atas pelataran ulin dengan panjang 27,5 meter dan lebar 28 meter. Sebanyak 160 panel surya terpasang rapi. Dengan memanfaatkan cahaya matahari, ratusan panel ini mampu menghasilkan energi listrik hingga 45 Kilowatt peak (kWp).

Sumber aliran listrik ini menggunakan energi bersih yang bukan sekadar pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) saja, namun juga mampu memupus penantian warga akan kehadiran listrik 24 jam. Maka tak heran, aliran listrik inipun telah dimanfaatkan oleh 160 pelanggan, ditambah 10 fasilitas umum (fasum). Seperti masjid, sekolah hingga kantor desa.

Bagian dalam PLTS Komunal Desa Muara Enggelam.

“Alhamdulillah kini masyarakat menikmati listrik 24 jam,” ujar Wakil Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) Muara Enggelam, Ramsyah, Jumat (21/6/2024).

PLTS Komunal yang dikelola oleh BUMDes Muara Enggelam, sudah memberikan banyak manfaat bagi Desa Muara Enggelam. Penggunaan istilah ‘energi bersih’ sebagai sumber produk listrik di desa ini, karena dalam proses produksinya memang sekaligus mengubah pemanfaatan energi fosil ke EBT.

Sebelum diresmikannya PLTS Komunal pada Maret 2015, desa terisolir yang berada 4 jam dari Kecamatan Tenggarong diakui menjadi suatu kawasan pelosok yang jauh dari kenikmatan peradaban kota. Tercatat 192 Kepala Keluarga (KK) yang terbagi di 4 Rukun Tetangga (RT) ini kerap memanfaatkan penerangan melalui mesin genset. Yang mana, masing-masing RT hanya dibekali 1 mesin genset untuk para warganya.

Dengan begitu, tentu hal ini sangat membebani ratusan warga yang tinggal di desa yang terletak di tengah-tengah Danau Melintang tersebut. Bagaimana tidak, tiap harinya warga terpaksa harus merogoh kocek Rp7.500 – Rp15.000 per malamnya. Ironisnya, itupun waktu operasional gensetnya juga sangat terbatas, yakni mulai pukul 18.00 – 00.00 atau sampai pukul 06.00.

Sementara, dengan adanya PLTS Komunal, warga hanya perlu merogoh kocek Rp 3 ribu saja per malamnya. Dengan jatah penggunaan energi listrik sebesar 350 Watt per hari, warga sudah bisa memanfaatkan listrik 24 jam. Jadi, tidak hanya dapat digunakan untuk lampu penerangan saja, tapi juga sudah bisa untuk menggunakan televisi, mesin cuci dan setrika.

Jika dihitung-hitung, penurunan pengeluaran yang didapat oleh warga dari energi bersih dari alam ini terbilang signifikan. Hampir memangkas Rp 135 ribu per bulannya. “Sekarang genset hanya untuk acara-acara besar saja, baru digunakan,” celetuk Ramsyah.

Oleh sebab itu, kehadiran listrik ini benar-benar menjadi suatu berkah tak terkira yang patut disyukuri oleh segenap warga Desa Muara Enggelam. Mengingat, penantian warga terhadap kebutuhan listrik ini bukanlah waktu yang singkat. Berulang kali perwakilan masyarakat saling berjuang melalui sejumlah Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), hingga akhirnya dikabulkan dan dibangun di salah satu sudut Desa Muara Enggelam, yang secara bebas menerima cahaya matahari.

Hebatnya, kesuksesan pengelolaan PLTS Komunal di Desa Muara Enggelam ternyata juga menjadi pilot projects desa-desa lainnya yang tidak terjangkau jaringan dari PLN.

“Bahkan PLTS Komunal masuk dalam Top 15 Inovasi Pelayanan Publik dari Desa Muara Enggelam,” ucapnya.

Pun disampaikan oleh Arianto, kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kukar. Pemanfaatan PLTS komunal yang menggunakan energi bersih ini, mampu menjadi solusi dan jalan keluar permasalahan listrik di Kukar. Mengingat kondisi geografis Kukar yang unik, seperti Desa Muara Enggelam yang tidak terjangkau PLN.

“(Desa dan dusun) Wilayah di pedalaman, sungai dan danau yang tidak terjangkau PLN harus berpikir inovasi listrik, kebijakan Kukar dengan menggunakan PLTS komunal seperti di Desa Muara Enggelam,” jelas Arianto.

Keberhasilan pemanfaatan PLTS komunal di Desa Muara Enggelam, pun menjadi pilot project di wilayah lainnya. Pemkab Kukar pun serius membangun PLTS komunal di sejumlah titik. Seperti di Desa Memang Kanan, Desa Menamang Kiri, Desa Tunjungan, Dusun Mekar Sari dan Desa Enggelam.

“Komitmen Pemkab Kukar tertuang dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), seluruh Kukar itu harus dapat listrik 24 jam segera terpenuhi,” lanjutnya.

Proses perawatan PLTS Komunal yang berada di Muara Enggelam.

POTENSI BESAR YANG BELUM TERMANFAATKAN

Di sisi lain, transisi energi fosil menuju energi bersih atau EBT, yakni pemanfaatan PLTS menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Seperti yang dilakukan di Desa Muara Enggelam. Langkah konkret untuk mengurangi emisi dari Gas Rumah Kaca (GRK) dan dampak perubahan iklim. Terlebih, adanya target Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) atau emisi nol bersih pada tahun 2060.

Dalam lokakarya yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR), belum lama ini, Analisis Ketenagalistrikan IESR, Abraham Octama, mengatakan potensi EBT di Indonesia sangatlah besar. Meski pemanfaatannya yang terbilang masih sangat minim. Padahal sejumlah keuntungan dengan memanfaatkan EBT ini, seperti kurangnya ketergantungan terhadap energi fosil dan impor BBM.

Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian ESDM (2023) dan Ditjen EBTKE (2024), energi surya (PLTS) baru termanfaatkan 0,6 Gigawatt (GW) (0,02 persen) dari potensi 3.295 GW. Diikuti energi air sebesar 6,78 GW (7,14 persen) dari potensi 95 GW, Bioenergi baru termanfaatkan 3,2 GW (5,61 persen) dari potensi 57 GW.

Selanjutnya energi bayu atau angin baru termanfaatkan sebesar 0,15 GW (0,1 persen) dari potensi 155 GW.  Energi panas bumi tercatat baru termanfaatkan 2,41 GW (10,04 persen) dari potensi yang bisa dihasilkan 24 GW. Terakhir, energi laut belum sama sekali termanfaatkan, padahal bisa menghasilkan potensi energi mencapai 60 GW.

Proses perawatan PLTS Komunal yang berada di Muara Enggelam.

Tak hanya itu, harga teknologi EBT kini bisa dikatakan semakin rumah, baik secara global maupun domestik. Indonesia pun diketahui, memiliki kesempatan luas dalam mengembangkan tranformasi energi ini, setelah mendapatkan kucuran pendanaan internasional mencapai USD 24,05 miliar. Diharapkan menjadi daya tarik industri keberlanjutan untuk investor.

Didukung pula dengan regulasi pemerintah pusat, melalui Perpres nomor 112 tahun 2022 yang terkait Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Yakni, peraturan untuk mengakhiri masa operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Di mana hasil pembakaran batu bara yang merupakan energi fosil, menjadi salah satu penyumbang emisi di Indonesia.

“Meningkatnya kesadaran masyarakat dan pelaku industri akan isu iklim, lapangan kerja baru di industri EBT dan mengurangi dampak buruk GRK pada lingkungan,” tutup Abraham Octama. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti