spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Malangnya Sangatta! Lahan Eksploitasi Lebih Luas Dibanding Luas Kabupaten

SANGATTA – Sang surya sebentar lagi terbenam ketika Sukir bermain bersama cucunya di teras rumah. Tiba-tiba saja, kegembiraan lelaki berusia 51 tahun yang sehari-hari sibuk memelihara sapi itu lenyap. Air seketika masuk ke rumah. Rumah Sukir tergenang dengan ketinggian 60 sentimeter dalam hitungan menit.

Sabtu, 19 Maret 2022, hujan deras baru saja mengguyur Dusun Gunung Teknik, Desa Sangatta Selatan, Kecamatan Sangatta Selatan, Kutai Timur. Sukir yang merupakan ketua RT 05 di dusun tersebut bilang, langit menumpahkan air nyaris tanpa henti pada Jumat malam hingga Sabtu pagi.

“Di pekarangan, air sudah sedada (orang dewasa). Padahal, rumah saya ini lebih tinggi dibandingkan pemukiman sekitar,” jelas Sukir kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Selasa, 22 Maret 2022.

Sukir menambahkan, sebanyak 60-an kepala keluarga di Dusun Gunung Teknik mengungsi ke Kantor Desa Sangatta Selatan. Air juga baru turun sedikit. Empat hari sejak banjir datang, ketinggian air hanya berkurang 20 sentimeter. Aliran listrik pun masih padam.

“Banjir kali ini aneh. Memang, beberapa kali dusun ini kebanjiran tapi tidak separah sampai-sampai warga mengungsi,” terangnya.

Bencana alam yang melanda ibu kota Kutai Timur ini disebut yang terbesar. Di Kecamatan Sangatta Selatan saja, menurut perhitungan Vita Nur Hasanah selaku camat, sebanyak 10.095 kepala keluarga di tiga desa terdampak banjir. Sebanyak 4.000-an orang terpaksa mengungsi sehingga harus dilayani 15 dapur umum.

Faktor alam tentu saja penyebab banjir yang pertama. Sepanjang 18 Maret 2022, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat, curah hujan di Sangatta mencapai 73 milimeter sehingga masuk kategori deras. Intensitas curah hujan ini adalah yang tertinggi di Kutai Timur pada tahun ini.

BACA JUGA :  Toyota Sangatta Virtual “Ngovi”, Ngobrol Bareng Auto 2000 Family

Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Erika Mardiyanti, menjelaskan, hujan bermula dari pertemuan angin atau konvergensi. Kondisi ini memicu peningkatan pertumbuhan awan-awan konvektif atau cumulonimbus. Hasilnya adalah hujan berintensitas sedang hingga deras yang dapat disertai petir.

Akan tetapi, hujan saja semestinya tidak mengundang banjir sebesar ini bagi Sangatta. BMKG pernah mencatat curah hujan yang jauh lebih tinggi dibanding pada Jumat lalu. Pada 2 Desember 2021, curah hujan menembus 95 milimeter.

Padahal, curah hujan di Kutim hanya 2.000-4.000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 130-150 hari per tahun (Satu Data Kutai Timur, diakses Maret 2022). Dengan demikian, curah hujan rata-rata di Kutim hanya 15 mm per hari hujan. Derasnya hujan pada 2 Desember 2021 mencapai enam kali lipat dari biasanya sedangkan hujan pada 18 Maret 2022 ‘hanya’ lima kali lebih besar.

Masalahnya adalah curah hujan yang tinggi tadi bertepatan dengan pasang surut air laut. Masih menurut BMKG, pasang surut tertinggi di Teluk Sangkulirang terjadi pada 21 hingga 31 Maret 2022. Pasang tertinggi mencapai 2,3 meter pada pukul 07.00 Wita dan 08.00 Wita sementara pasang terendah 0,4 meter pada pukul 01.00 Wita.

BACA JUGA :  Relawan BR Wahau dan Kongbeng Deklarasi Dukungan untuk Irwan

“Prakiraan pasang surut tersebut adalah yang tertinggi pada Maret ini. Untuk bulan sebelumnya, masih dalam pendataan,” kata Erika dari BMKG.

Hujan deras disertai pasang-surut air laut yang tinggi menyebabkan Sungai Sangatta meluap. Walaupun demikian, faktor cuaca ditengarai bukan penyebab tunggal. Baru kali ini Sungai Sangatta meluap sehingga menyebabkan genangan yang luas. Air sungai yang keruh dan kecokelatan itu mengindikasikan hal lain.

Kutai Timur disebut sebagai kabupaten yang sejak lama mengeksploitasi sumber daya alam. Menurut catatan kaltimkece.id, kabupaten ini telah berstempel 1,39 juta hektare izin kehutanan, 1,6 juta hektare izin pertambangan batu bara, dan 700 ribu hektare izin perkebunan kelapa sawit. Luas izin pengelolaan sumber daya alam di seluruh Kutai Timur mencapai 3,7 juta hektare. Padahal, luas kabupaten ini hanya 35 ribu kilometer persegi atau 3,5 juta hektare. Adalah tumpang tindih perizinan, penyebab total konsesi lebih banyak dari luas kabupaten.

Berkaca dari data di atas, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, Yohana Tiko, menilai, akar permasalahan banjir Sangatta harus dilihat utuh. Cuaca ekstrem di Kutai Timur sebenarnya disebabkan penggundulan hutan yang masif. Selain itu, degradasi lingkungan terlihat di Sungai Sangatta. Di bagian hulu, pembabatan kayu pada masa lalu telah melenyapkan pohon yang berfungsi sebagai daya tampung air.

Pada masa selanjutnya, alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit disebut terjadi di sisi tengah sungai. Tiko meminta pemerintah memeriksa aktivitas perkebunan kepala sawit tersebut. “Contohnya, jarak perkebunan dari badan sungai sesuai aturan atau tidak. Dokumen lingkungannya juga,” tegas Tiko.

BACA JUGA :  Rekatkan Hubungan Bersama Jurnalis, Firdaus Sharing Program untuk Kemajuan Kutim

Terakhir, aktivitas pertambangan batu bara di Kutai Timur sangat besar. Sekitar 46 persen daratan kabupaten ini adalah izin pertambangan. Jika menyusuri Sungai Sangatta, penggalian emas hitam ditemukan di hilir.

“Yang terjadi di Sungai Sangatta adalah sisi hulu ditebangi, sisi tengah sungai berubah jadi perkebunan, kawasan hilir ditambang,” tegas Tiko kemudian melanjutkan, “Kondisi seperti ini juga banyak ditemukan di daerah lain di Kaltim.”

Degradasi lingkungan yang masif tidak dibantah Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kutim, Aji Wijaya Effendie. Ia mengakui, banjir hebat kali ini tidak disebabkan faktor cuaca belaka.

“Saya tidak cerita baik-baiknya saja. Memang begitu adanya,” terang Aji melalui saluran telepon. Menurutnya, pemerintah daerah saat ini masih memprioritaskan penanganan darurat. Setelah itu, ada evaluasi dampak lingkungan. Informasi yang lain, Effendie menyatakan, tidak ada tanggul perusahaan pertambangan yang jebol sehingga menyebabkan banjir.

Kembali ke persoalan alih fungsi lahan, Effendie menjelaskan, degradasi lingkungan sudah terlihat di Sungai Sangatta. Sebelum era 2000-an, kedalaman Sungai Sangatta tercatat mencapai 15 meter. Sekarang, menurut pengukuran dinas, tidak lebih 9 meter dalamnya.

“Banjir kali ini terbesar sejak 1983. Sebenarnya, pernah terjadi banjir besar pada 2013 tetapi tidak separah sekarang,” jelas Effendie. Dinas disebut akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan provinsi untuk mencari akar permasalahan sekaligus solusi penanganan banjir. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img