Oleh: Ust. ZULKIFLI, S.Pd.I., M.Pd.
(Dosen, Peneliti, Penulis & Mubalig Kota Bontang)
Mutu di pendidikan tinggi kian hari kian dipacu agar dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan; 1) academic knowledge, 2) skill of thinking, 3) management skill, 4) communication skill. Untuk mencapai keempat kompetensi tersebut tidaklah mudah, harus memerlukan kerja keras, sinergisitas dan loyalitas akademik serta berbagai pendekatan edukasi yang bersifat komprehensif. Kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis, bertindak serta berkomunikasi, setidaknya ada tiga faktor, yaitu: pikiran, perasaan, keterampilan dan sikap.
Dalam faktor pikiran terdapat imajinasi, persepsi dan nalar. Faktor perasaan terdiri dari emosi, dan estetika. Adapun faktor keterampilan berkaitan dengan bakat dan pengalaman. Sedangkan sikap yakni menyangkut moralitas secara personal. Hal ini dapat diidentifikasi melalui kemampuan mahasiswa dalam merespons, menyikapi dan memetakan berbagai persoalan yang dihadapinya. Adapun kreativitas seorang mahasiswa akan terlihat dan terukur saat berinteraksi baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.
Dengan demikian, mahasiswa dapat mengolaborasikan keempat faktor tersebut melalui istilah “MASKER”, yakni “Mahasiswa harus Kreatif”. Kreativitas mahasiswa merupakan salah satu sarana untuk mencapai kesuksesan belajar di perguruan tinggi. Berdasarkan hasil observasi penulis, maka ada beberapa indikator dan yang harus diperhatikan oleh mahasiswa agar memiliki kreativitas yang tinggi, diantaranya:
- Mahasiswa harus dapat menggali kreativitas dirinya melalui proses membaca dan menganalisis sejumlah pandangan atau teori. Mahasiswa yang enggan atau malas membaca akan terlihat sikap dan kemampuannya dalam menyampaikan argumentasi saat berdiskusi di kelas.
- Mahasiswa harus membiasakan diri untuk berpikir dan bersikap ilmiah. Dunia akademisi, mahasiswa dituntut berpikir ilmiah. Proses Berfikir ilmiah harus berdasarkan ukuran kebenaran, logis, sistematis dan berdasarkan pada pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah yaitu berdasarkan pada intuisi (bisikan hati atau perasaan) yang memiliki kecenderungan pada keyakinan diri semata. Ciri-ciri mahasiswa yang memiliki analisis yang rendah, terkadang tugas yang telah disampaikan oleh dosen telah tercantum secara jelas, namun masih belum paham bahkan kerap keliru apa yang telah disampaikan oleh dosen.
- Mahasiswa harus memahami etika berkomunikasi. Banyak diantara mahasiswa yang belum dapat memosisikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa harus dapat menunjukkan sikap kedewasaannya, khususnya ketika mengirim pesan melalui via WhatsApp dengan dosen. Mahasiswa harus dapat memahami untuk apa mereka bertanya, dengan siapa ia berkomunikasi, dimana ia berkomunikasi, kapan ia harus berkomunikasi dan bagaimana ia harus mengomunikasikannya. Hal tersebut masih kerap diabaikan oleh sejumlah mahasiswa.
- Mahasiswa harus memiliki sikap responsif (cepat tanggap). Di masa pandemi Covid -19 ini, semua aktivitas kampus atau kegiatan akademik telah dilaksanakan di rumah atau WFH (Work From Home), sehingga intensitas penggunaan media sosial cukup tinggi. Namun hal ini kerap diabaikan oleh mahasiswa. Sejumlah dosen mengeluhkan atas sikap mahasiswa yang acap kali mengabaikan informasi atau tidak respons, akibatnya sering kali kehilangan informasi dan kerap mendapat teguran dari dosen.
- Mahasiswa harus dapat memanfaatkan waktu. Tidak sedikit mahasiswa yang gagal disebabkan ketidakmampuannya dalam mengatur waktunya, khususnya bagi mahasiswa yang telah bekerja. Cara terbaik dalam menyikapinya, ialah jangan pernah menunda-nunda waktu. Sebagaimana ungkapan (Qs. al-Insyirah: 7). “Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. Ayat tersebut telah mamacu kita agar selalu menjadi insan yang produktif.
- Mahasiswa harus mampu mengolaborasikan antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Ketiga kecerdasan tersebut tidak dapat dipisahkan namun harus dapat dipadukan. Jika seseorang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, maka mahasiswa akan lambat bahkan sulit dalam melakukan analisis, adapun mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang rendah, maka mahasiswa akan kesulitan menyampaikan argumentasinya (isi pikirannya), sedangkan bagi mahasiswa yang memiliki kecerdasan spiritual yang rendah (SQ) di antaranya malas beribadah, maka mahasiswa tersebut cenderung labil (mudah goyah atau bersikap negatif/sinis bahkan ucapannya kerap kurang menyenangkan).
Sejumlah indikator yang telah disebutkan di atas, khususnya di era modern ini, mahasiswa memiliki peluang yang amat besar dalam mengoptimalkan kreativitas yang dimilikinya, sekaligus dapat mengimplementasikan kemampuan atau keahlian yang dimiliki sesuai bidang ilmu yang ditekuninya. Untuk itu, mahasiswa disarankan agar selalu memerhatikan sejumlah faktor yang dapat memengaruhi sikap dan karakternya baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal.
Namun di samping itu, seorang dosen juga memiliki kewajiban untuk memasilitasi mahasiswa sekaligus harus dapat mengantarkan mahasiswa mencapai taraf kreativitas dan inovasi berlandaskan ilmu pengetahuan/teknologi dan iman dan taqwa (IPTEK & IMTAK). Seorang dosen tidak hanya sekedar memenuhi tugas dan kewajibannya untuk menyampaikan sejumlah materi yang akan disukusikan serta memenuhi jumlah tatap muka di kelas, melainkan harus mampu menampilkan nilai-nilai kreativitas diri, diantaranya; karya yang dimiliki oleh dosen, kualitas materi yang disajikan kepada mahasiswa, bobot tugas dan kualitas soal yang diberikan kepada mahasiswa. Hal tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh seorang pendidik/dosen, agar mahasiswa dapat mengoptimalkan diri menjadi lulusan atau generasi yang siap menjadi pemimpin masa depan atau cendekiawan muslim, dan generasi yang berjiwa mandiri, sesuai dengan bakat dan kreativitas serta kesempatan yang dimilikinya. (**)