SAMARINDA – Pasca longsor Minggu (25/4/2021), mulai muncul retakan tanah di sekitar lokasi kejadian. Puncaknya Senin (26/4) kemarin, jalan cor beton pun ikut ambles. Tinjauan di lokasi, ada proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kalhold yang berada di sekitar bawah jembatan. Diduga, proyek itu mengakibatkan tanah bawah jembatan menjadi tidak stabil.
Kondisi ini juga menyebabkan bagian bawah pylon Jembatan Mahakam Kota II ikut terpapar arus Sungai Mahakam. Gerusan air dalam waktu panjang di bagian bawah pilar utama menyimpan bahaya. Bergesernya pylon atau menara jembatan sejauh 40 milimeter bisa dijadikan indikasi awal.
Pemkot Samarinda telah mengambil langkah cepat. Struktur yang dibangun pada 2002 dan baru selesai pada 2017 itu diperiksa kondisinya. Lalu lintas di atas jembatan juga dihentikan. Wali Kota Andi Harun bilang, dari pemeriksaan awal, pylon bergeser 40 milimeter; 7 milimeter ke kanan dan 33 milimeter ke bawah.
[irp posts=”13656″ name=”Walikota Andi Harun Putuskan Jembatan Mahkota II Ditutup, Inilah Alasannya”]
Dalam disiplin ilmu teknik sipil, pylon memegang andil amat penting bagi jembatan bertipe cable stayed (kabel tetap) seperti Mahkota II. Pylon bertugas menahan beban mati dan hidup. Kedua beban tersebut berasal dari gaya vertikal kabel yang menarik badan jembatan atau dek. Beban dari kabel diterima di puncak pylon lantas didistribusikan ke tanah oleh fondasi (Desain dan Analisis Jembatan Cable Stayed Dengan Bentang 800 Meter, Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain – Universitas Lampung, 2018, hlm 412).
Bergesernya pylon di Jembatan Mahkota II bisa dikategorikan berbahaya apabila melewati batas-batas yang dimaklumkan. “Seberapa bahayanya itu? Perlu dihitung ulang karena ada faktor keamanan yang didesain perencana. Faktor tersebut bisa dianalisis setelah melihat data keseluruhan, apakah membahayakan atau tidak,” demikian akademikus dari Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman, Dr Tiopan Gultom saat diwawancarai kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.
Dosen program studi teknik sipil ini menjelaskan, pada dasarnya distribusi beban dalam struktur seperti jembatan telah dihitung matang sejak direncanakan. Akan tetapi, karena satu dan lain sebab, pylon atau pilar bisa bergeser. Jika melewati batas toleransi, pergeseran ini dapat menyebabkan distribusi beban terganggu.
Di bagian fondasi, contohnya, beban diterima di titik pusat kelompok tiang fondasi. Ketika fondasi atau tiang menara bergeser, beban yang harusnya diterima di titik pusat fondasi ikut bergeser. Itu berarti, ada sebagian gaya yang harusnya diterima fondasi tersebut berpindah ke bagian lain.
“Maka bagian yang lain itu, bisa fondasi pilar atau pylon yang lain, menerima momen tambahan. Jika momen tambahan tersebut melebihi dari kekuatan, bisa menyebabkan fondasi gagal dan patah,” ulasnya, seraya mengingatkan, “Akan tetapi, harus diketahui dulu besar pergeseran yang bisa menyebabkan hal itu. Datanya ada di pihak perencana jembatan.”
Menurut penelitian Jefri Supardi Simanulang dkk dari Politeknik Negeri Samarinda (2015), fondasi Jembatan Mahkota II menggunakan sistem tiang pancang. Adapun pylon-nya, mengambil bentuk menara A yang dilengkapi sayap atas agar tidak goyang.
Bagian bawah pylon Jembatan Mahkota II menjadi perhatian lantaran terbuka setelah tanah di sekitarnya ambrol. Dugaan sementara, ada hubungan antara fondasi pilar utama yang terkena abrasi dengan pergeseran pylon.
Abrasi di pilar jembatan sebenarnya jarang terjadi jika berkaca dari empat jembatan lain yang melintang di Sungai Mahakam. Tentu saja hal itu disebabkan karena Jembatan Mahkota IV (Jembatan Kembar), Jembatan Mahakam, Jembatan Mahulu, Jembatan Kukar, dan Jembatan Martadipura di Kota Bangun, kaki-kakinya di atas Sungai Mahakam. Berbeda dengan fondasi salah satu pilar utama Jembatan Mahkota II yang justru di permukaan tanah.
“(Karena di permukaan tanah), ketika abrasi, tiang fondasi kelihatan dan berada di atas permukaan air,” jelas Gultom dari Fakultas Teknik Unmul. Fondasi pilar yang terpapar air sungai segera menerima gaya horizontal dari arus Mahakam. Menurut Gultom, kejadian ini bisa jadi luput dari pengamatan desain awal. Yang jelas, pemilihan fondasi di darat tentu sudah dihitung dengan cermat dan itu adalah yang terbaik.
“Fondasi jembatan sepertinya tidak didesain untuk menerima gaya horizontal dari air sungai. Perlu penurapan dan pengurukan atau dikembalikan seperti semula,” sambungnya.
Gultom menambahkan, langkah Pemkot Samarinda sudah tepat. Dia menyarankan, pemerintah turut melibatkan perguruan tinggi di Samarinda dalam mengkaji konstruksi tersebut. “Aspek evaluasi konstruksi perlu melibatkan akademikus,” terangnya.
Satu tahun silam, proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Kalhold dimulai. Pekerjaan yang ditangani PT Nindya Karya selaku kontraktor itu berlokasi dekat Jembatan Mahkota II. Penanggung jawab proyek, Rensi, mengatakan bahwa kontraktor membangun instalasi pengolahan lumpur. Untuk itu, tanah di tepi sungai dikeruk terlebih dahulu sebelum menanam tiang pancang. Setelah diuruk, tepian sungai akan diturap.
“Penimbunan sudah berjalan sejak Februari 2020,” ucapnya. Belum sempat diturap, terjadi abrasi yang menyebabkan longsor. Rensi mengatakan, metode penurapan sebenarnya sudah dibahas dengan pengelola jembatan hingga Balai Wilayah Sungai. Kontraktor menguruk tanah sepanjang 5 meter dari pinggir jalan hingga ke tepi sungai.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, tidak ingin berspekulasi mengenai penyebab abrasi maupun bergesernya pylon jembatan. Proses investigasi masih berjalan. “Sampai sudah detail hasil dari konsultan dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan, saya tidak ingin berspekulasi,” tegas Andi Harun.
Sebagai informasi, panjang total Jembatan Mahkota II adalah 1.388,5 meter dengan bentang utama 740 meter. Lebar jembatan adalah 13 meter dengan ketinggian dari muka air 25 meter. Struktur yang menghubungkan wilayah Sambutan-Palaran ini memiliki dua pylon. Jarak antar-pylon sejauh 300 meter. Biaya pembangunannya disebut sekitar Rp 600 miliar yang bersumber dari APBN dan APBD Samarinda.
Konstruksi ini dinamai Mahakam Kota II karena jembatan kedua yang dibangun di Samarinda setelah Jembatan Mahakam. Akan tetapi, pembangunan yang dimulai pada 2002 memakan waktu hingga 15 tahun. Penyelesaian proyek jembatan ini justru disalip Jembatan Mahulu yang pembangunannya dimulai belakangan. (kk)