Beranda OPINI Lonceng Maut

Lonceng Maut

0

(Bagian 11, Novel Bocah Bintan, Menggugah Harapan dan Jiwa)

Menjadi pemukul lonceng sekolah adalah satu kebanggaan tersendiri bagi lelaki di kelas 6, khususnya yang duduk di barisan depan. Memukul dengan pukulan terbaik agar lonceng itu menghasilkan bunyi yang keras sehingga terdengar ke seluruh sekolah, kendati harus agak sedikit menjinjit untuk menjangkaunya.

Saat itu jam pelajaran pak Basirun sudah usai dan waktunya untuk istirahat jam pertama, pukul 10.30 pagi. Setelah pak Basirun meninggalkan ruang kelas, spontan berebutlah tiga teman kami yang duduk di depan Bambang, Ismail dan si kecil Sumihar. Mereka bertiga segera berlomba mengambil pemukul duluan, biasanya mereka atur damai untuk bergilir pukulan pertama, kedua yang panjang dan pukulan terakhir.

Kami yang di dalam kelas sibuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas. “Teng ! teng..!,” bunyi pukulan pertama begitu keras, sepertinya Bambang yang memukulnya. Setelah itu bunyi panjang tanda pukulan kedua, “teng! teng! teng! teng! teng!” namun kami dikejutkan dengan teriakan yang keras dari luar,”Aduuuuuuuuooooooh, kepalaku!!!” suara meringis kesakitan terdengar sampai kedalam kelas, bunyi pukulan terakhir tidak terdengar.

Bambang masuk ke kelas, sambil kedua tangannya memegang jidatnya, entah apa yang disembunyikannya di balik kedua telapak tangannya, yang jelas raut wajahnya tampak menahan rasa sakit yang teramat sangat dialaminya. Disusul oleh Sumihar dan Ismail yang sambil masuk dorong mendorong keduanya sambil bertengkar kecil, “ ini gara-gara engkaulah mail !” tuduh Sumihar kepadanya.”Eh,,macam manapula kau ini, engkau yang pukul tuh lonceng,” Mail berkelit.

Sementara Bambang menuju kursinya sambil meringis kesakitan, spontan kami semua akhirnya mengerumuni kursinya. Sambil Bambang merintih kesakitan, “Aduuh kepalaku,,,aduh jidatku,” sambil dia membuka keduatangannya yang menutupi jidatnya,
“Masyaaa Allahhh……..!!” tiba-tiba semuanya terkejut dan langsung tertawa spontan, sebenarnya tak tega melihat sakit yang menimpanya, namun dengan melihat benjolan yang begitu besar di jidat Bambang seukuran setengah bola tenis membuat kami tak bisa menahan tawa.

“Kalian ini janganlah hanya tertawa, kasian teman kita ini menahan kesakitan!” ujar Anhar. “Macam mana kami tak tertawa Har…, liat benjol sebesar itu, teruk sangatlah,” Dawam menimpali sementara Bambang hanya terkulai lemas duduk di kursinya. Spontan Anto menuju dapur bu Minah dan mengambil air minum segelas, sementara belum satupun guru yang tahu kejadian itu. Aku kemudian berinisiatif untuk membawanya ke UKS saat itu, di gotong oleh Mason dan Paito, Bambang kami gotong ke UKS, sementara Anhar melapor ke Bu Raidarwati, guru pendidikan jasmani sekaligus penanggung jawab UKS di sekolah kami.
Sementara Sumihar dan Ismail disidang sejenak di kelas oleh teman-teman.

“Macam mana kalian bisa buat bakso tenis sebesar itu di jidatnya Bambang !?” Roni dengan gayanya yang khas bertanya kepada Mail. “Kami tak sengajalah, ini karena Sumihar nak memukul terakhir dia melompat, karena lonceng masih goyang, pukulannya meleset, mendaratlah di jidat Bambang tuh besi pemukul,” jelas Mail. Sumihar tak dapat mengelak, dia merasa bersalah.

“Mihar, kalau pukulan engkau tuh parah, mungkin Bambang tak jadi pintar lagi dia, bisa-bisa sel-sel otaknya banyak yang putus ulah kau itu,” Arga menimpali dari kursi belakang, disambut ketawa beberapa teman-teman saat itu.

”Mungkin itu kualat untuk Bambang, sebab seringkali usil sama kami murid perempuan,” celetuk Nur dewi yang paling sering diganggu oleh Bambang. “Semoga saja Bambang tak parah sakitnya, hanya benjol saja dan engkau sumihar dan mail mulai hari ini tak boleh lagi pukul lonceng,” ketus Anhar kepada keduanya.

Setelah mendapatkan perawatan pertama di UKS, akhirnya Bambang masuk ke dalam kelas, saat itu jidatnya tidak dia tutupi lagi, Nampak bekas olesan obat merah di jidatnya. “suit..! suit!” Dari belakang Paito memainkan siulan, “wah penampilan baru, Bang..!” ujar Agus berseloroh.”Hafalan engkau tak hilang kan Bang?” ujar Herdi. Soalnya Bambang adalah teman kami yang paling menguasi soal dan jawaban di buku Himpunan

Pengetahuan Umum (HPU) sampai jilid 6 saat itu, jika cerdas cermat di kelas, Bambang selalu memborong pertanyaan dari pak Basirun. “Jangan kuatir kawan, kalaupun benjol engkau tak hilang, tetap bisa jadi polisi nanti !” ujar Riko setengah mengejek.

Bambang hanya senyam senyum kecut mendengar celotehan teman-teman, dia juga sama sekali tidak marah kepada Sumihar dan Ismail, walau keduanya tampak menyembunyikan wajah bersalah, setelah duduk Mihar dan Mail mendatanginya dan meminta maaf kepadanya. Seiring hari berjalan, bekas benjolan di jidat Bambang masih membekas kecil, sehingga sejak kejadian itu teman-teman memanggilnya dengan nama barunya Codot, yah codot akibat terkena pemukul lonceng. (**)

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version