JAKARTA – MK hanya mengabulkan 17 gugatan Pilkada baik dengan amar kabul sebagian atau kabul seluruhnya. Secara rinci, MK memerintahkan pemungutan suara ulang pada 16 gugatan dan penghitungan suara ulang terhadap 1 gugatan.
Peneliti KoDe Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menyatakan dari 17 gugatan Pilkada tersebut, 4 di antaranya melebihi syarat Pasal 158 UU Pilkada.
Diketahui berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada, syarat selisih suara paslon yang menggugat hasil Pilkada dengan paslon pemenang, tak boleh melebihi 0,5 hingga 2 persen yang dihitung berdasarkan total suara sah.
“Empat perkara yang tidak terpenuhi ambang batas tapi MK memutuskan dikabulkan ada di Kota Banjarmasin dikabulkan sebagian, Kabupaten Nabire dikabulkan sebagian, Kabupaten Yalimo dikabulkan sebagian, dan Kabupaten Boven Digoel meski tidak terpenuhi ambang batas, tapi karena ada syarat pencalonan tidak terpenuhi dikabulkan seluruhnya,” ujar Ihsan dalam konferensi pers daring pada Selasa (23/3).
Berikut 4 gugatan Pilkada yang melebihi syarat selisih suara tapi dikabulkan MK, dikutip kumparan.com:
- Pilwalkot Banjarmasin
Paslon nomor 4 selaku penggugat, Ananda dan Mushaffa Zaki, meraih 74.154 suara. Ananda-Mushaffa kalah dari paslon nomor 2, Ibnu Sina-Arifin Noor, yang mendapatkan 90.980 suara. Artinya selisih kedua paslon mencapai 16.826 atau 7,23%.
Namun MK tetap mengabulkan sebagian gugatan Ananda-Mushaffa dengan memerintahkan pemungutan suara ulang di Kelurahan Mantuil, Kelurahan Murung Raya, dan Kelurahan Basirih Selatan, Kecamatan Banjarmasin Selatan. - Pilbup Yalimo
Paslon nomor 2 selaku penggugat, Lakius Peyon dan Nahum Mabel, mendapatkan 43.067 suara dalam Pilbup Yalimo. Lakius-Nahum kalah dari rivalnya paslon nomor 1, Erdi Dabi dan John Willi, yang mendapatkan 47.881. Selisih kedua paslon sebanyak 4.814 suara atau sekitar 5,29%. Meski demikian, MK mengabulkan sebagian gugatan Lakius-Nahum dan memerintahkan pemungutan suara ulang di 105 TPS. - Pilbup Nabire (perkara nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021)
Terdapat 2 gugatan Pilkada Nabire yang diputus MK yakni perkara nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021 dan 101/PHP.BUP-XIX/2021. Dari 2 perkara tersebut, gugatan nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021 yang melebihi syarat selisih suara.
Gugatan nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021 diajukan paslon nomor 3, Fransiscus Xaverius Mote dan Tabroni Bin M Cahya. Dalam Pilbup Nabire, Fransiscus-Tabroni mendapatkan 46.224 suara, kalah dari paslon nomor 2, Mesak Magai dan Ismail Djamaludin, yang meraup 61.729 suara.
Artinya, selisih kedua paslon sebesar 15.505 suara atau sekitar 9,15%. Walau demikian, MK tetap mengabulkan sebagian gugatan Fransiscus-Tabroni dan memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS dan perbaikan DPT. - Pilbup Boven Digoel
Sengketa hasil Pilbup Boven Digoel menjadi satu-satunya dari 17 gugatan Pilkada yang dikabulkan seluruhnya. Gugatan itu diajukan paslon nomor 3, Martinus Wagi dan Isak Bangri.
Berdasarkan hasil Pilbup Boven Digoel, paslon Martinus-Isak meraih 9.156 suara. Martinus-Isak kalah dari paslon nomor 4, Yusak Yaluwo dan Yakob Weremba, yang mendapatkan 16.319 suara. Sehingga selisih kedua paslon sebanyak 7.163 suara atau 23.21%.
Sekalipun selisih kedua paslon sangat jauh, MK pada akhirnya tetap mengabulkan seluruhnya gugatan Martinus-Isak. Sebab MK menilai ada pelanggaran mengenai syarat pencalonan Yusak Yaluwo. Yusak belum selesai menjalani jeda 5 tahun bagi eks napi korupsi untuk maju Pilkada. Hal itu sesuai putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 terhadap pemaknaan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.
Alhasil MK mendiskualifikasi paslon Yusak-Yakob dan memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS.
Sementara itu Koordinator Bidang Konstitusi dan Kenegaraan KoDe Inisiatif, Violla Reininda, memberikan beberapa catatan terhadap sidang putusan MK terhadap 32 gugatan Pilkada. Violla membagi catatan menjadi 2 yakni catatan biru atau baik dan merah atau buruk.
Catatan biru dalam sidang putusan tersebut, kata Violla, yakni perintah pencoblosan dan penghitungan ulang yang diperintahkan MK pada umumnya didasarkan pada pelanggaran terhadap proses pemilihan.
“Yaitu persoalan teknis prosedural yang khususnya berkaitan dengan proses pemungutan suara, daftar pemilih, dan syarat pencalonan,” kata Violla.
Violla menyebut catatan biru yang lain yakni MK tak hanya memerintahkan pemungutan atau penghitungan ulang, tetapi juga memerintahkan mengganti dan menetapkan KPPS serta PPK baru karena ketidakcermatan, tidak profesional, atau tidak netral penyelenggara Pilkada.
“Seperti di Pilwalkot Banjarmasin, Pilgub Kalsel, Pilbup Labuhanbatu Selatan. Mahkamah memberikan pesan penting untuk mengingat kapasitas, kapabilitas, dan netralitas penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Adapun catatan buruknya, kata Violla, yakni persoalan pelanggaran yang bersifat TSM, penyalahgunaan kewenangan petahana atau fasilitas negara, keterlibatan ASN, politik uang tidak menjadi dasar dilakukannya pemungutan suara ulang.
“Menyayangkan pertimbangan Mahkamah yang didasarkan pada syarat formil yang tidak terpenuhi seperti kedudukan hukum, syarat ambang batas. Padahal sudah memasuki pemeriksaan pokok perkara, alat bukti, saksi-saksi, tetapi dinyatakan tidak dapat diterima/NO,” kata Violla.
“Mahkamah melakukan proses penilaian terhadap pokok perkara dan menyatakan beberapa permohonan tidak beralasan menurut hukum seperti di kasus Pilbup Tasikmalaya, Pilbup Samosir, Pilbup Bandung. Semestinya sejak awal sudah dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak saat tahap pemeriksaan awal,” tutup Violla. (red)