spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Laden, Rina, dan Lou Benuaq

Catatan Rizal Effendi

SAYA lama tak bertemu  Pak Laden Mering. Dia tokoh senior Dayak di Kalimantan Timur. Saya dikabari oleh sahabat saya, Bu Meiliana atau Bu Mei ada Pak Laden hadir dalam acara muat ori (pendirian tiang) Lou Pusat Budaya Sempekat Tonyooi Benuaq (STB) Kaltim di Lobang Sembilan RT 10, Kelurahan Loa Buah, Kecamatan Sungai Kunjang Samarinda, Senin (3/7).

Pak Laden hadir selain sebagai tokoh yang dituakan, kebetulan istrinya Dra Rina Laden Mering adalah ketua panitia acara tersebut. Ini acara membangun rumah lamin atau lou sebagai pusat budaya etnis Dayak Benuaq, yang banyak mendiami Kutai Barat (Kubar). Itu sebabnya yang datang Bupati Kubar FX Yapan, SH, MH, yang juga ketua STB Kaltim bersama istrinya, Yayuk Seri Rahayu, S.ST.

Di Kubar sendiri ada lamin yang sangat terkenal. Namanya Lamin Mancong atau Lou Mancunk  di Desa Mancong, Kecamatan Jempang. Banyak turis datang ke sini.  Lamin seluas 1.005 meter persegi ini dibangun tahun 1920 dan pernah dipugar oleh Equatorial Heritage International Foundation (EHIF).

Saya kenal  Pak Laden karena kami sama-sama pernah menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah masa bakti 1999-2004. Sedang Bu Rina  akrab dengan Bu Mei. Mereka sama-sama dari kampus Unmul. Bahkan masih ada satu teman mereka, yaitu Bu Linda Hartani dari Colorado. Sayang Bu Linda lebih dulu tiada. “Terima kasih Bu Mei bisa hadir, kita bekawal mulai bahari ketika masih imut dan langsing,” kata Bu Rina tertawa.

Pak Laden dan Bu Rina, pasangan hebat. Usianya sama-sama sudah di atas kepala tujuh. Bahkan Pak Laden sudah 86 tahun, sedang Bu Rina 72 tahun. Mereka dikaruniai 7 anak dan 16 cucu. Ada yang jadi camat, kepala dinas sampai kapolres, ada juga yang anggota DPRD Kaltim. Sedang cucunya ada yang sudah mahasiswa dan sarjana.

Bayangkan sampai sekarang dua-duanya tetap sehat. Saya pernah tanya dengan Pak Laden, apa ramuannya kok tetap segar dan panjang umur. Apa pakai minyak bintang atau bawang tiwai, yang dikenal sebagai bawang dayak.

Minyak bintang terkenal belakangan ini setelah Ibu Ida Dayak menggunakannya sebagai obat mujarab untuk penyembuhan berbagai penyakit. Sedang bawang tiwai dipercaya bisa meningkatkan stamina dan vitalitas laki-laki. Tapi juga baik untuk mencegah kanker dan meningkatkan kepadatan tulang wanita usia menopause.

Gaya Pak Laden memang kalem. Tetapi dia sangat bersahaja dan kaya pengalaman. Bu Rina juga menunjukkan kualitas wanita Dayak yang cerdas, cantik, dan aktif. Dia sempat menjadi anggota DPRD Kaltim dan  dosen bahasa Inggris di FKIP Unmul.

Pak Laden boleh dibilang notaris pertama di Samarinda. Dia mulai aktif di tahun 1970. Setelah 32 tahun bertugas, sejak 2002 memasuki masa purnatugas. Tetapi dia tetap aktif berhubungan dengan dunia hukum, alih medan sebagai pengacara.

Di tengah tugas dan profesinya, Pak Laden dan Bu Rina terus menerus aktif dalam organisasi pengembangan budaya etnis Dayak. Bu Rina menjadi ketua harian Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) pada era Marthin Billa sebagai ketua umum, dan Dewan Permusyawarahan  Adat Kalimantan.

Mereka berdua termasuk tokoh di balik pembangunan desa budaya  Pampang di Samarinda. Penghuni Desa Pampang adalah warga Dayak Apokayan dan Kenyah, di mana Pak Laden salah satu tokohnya. Bu Rina yang dari etnis Benuaq juga bahu membahu mengembangkan desa budaya Pampang sampai dikenal oleh berbagai turis mancanegara.

Belakangan ini mereka juga terlibat dalam pembangunan Lou Pusat Budaya STB, yang dilakukan oleh Yayasan  Pusat Budaya Sempekat Tonyooi Benuaq (YPB-STB) diketuai  Adrianus Sengkoi dan sekretaris Paulus Suryadi. Yayasan sudah membeli tanah seluas 12 hektare di kawasan Lobang Sembilan, Loa Buah Samarinda.

Di atas tanah itu mulai dibangun  lou sepanjang 100 meter dengan lebar 25 meter dan tinggi 3 meter yang terdiri  dari Museum STB, ruang pertemuan, kantor,  ruang tidur, dan dapur. Ketinggian lou sekitar 3 meter dari permukaan tanah dengan halaman yang luas untuk upacara adat.

Pendirian tiang lou  atau muat tori berlangsung dalam upacara adat Dayak Tonyooi dan Benuaq. Tiang setinggi 10,5 meter dengan lebar keliling 210 cm itu dibuat dari kayu ulin, yang sudah dipahat dengan ukiran. Karena tiangnya sangat berat, maka pendirian dibantu dengan mobil crane.

“Kita bersyukur pembangunan sudah bisa dimulakan dan diharapkan rampung dua tahun lagi,” kata Yapan bersemangat. Hal yang sama juga diutarakan Staf Ahli Gubernur Didi Rudiansyah mewakili Gubernur. “Pemerintah Provinsi  sangat mendukung program ini,” tandasnya.

Sejumlah tokoh Dayak yang hadir juga menyambut baik dimulakannya pembangunan Lou Pusat Budaya STB di Samarinda. Termasuk Ketua Umum PDKT Dr H Syaharie Jaang, SH, MH bersama istrinya, Hj Puji Setyowati, yang juga anggota DPRD Kaltim. “Kita sangat mendukung, karena menambah icon kota Samarinda,” kata Jaang, yang pernah menjadi wali Kota Samarinda dua periode.

Menurut  Bu Rina, pembangunan Lou Pusat Budaya STB menghabiskan biaya Rp 37 miliar. Dananya dihimpun secara gotong royong. Ada dukungan dari Pemerintah Kubar dan Pemerintah Provinsi, ada juga dari kalangan pengusaha, dan tokoh-tokoh adat serta masyarakat. “Kita membuat Gerakan 1.000 Warga untuk menghimpun dana bersama. Pak Gubernur Isran juga siap membantu,” jelasnya.

SEJARAH BENUAQ

Mengutip dari Wikipedia, etnis Dayak Benuaq  dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalteng. Benuaq tidak lain dari kata benua, suatu wilayah atau teritori tertentu. Konon yang menyebut pertama adalah orang Kutai, karena dinilai telah meninggalkan gaya hidup nomaden.

Tapi cerita versi lain dari penuturan beberapa leluhur, mereka sejak dulu sudah bermukim di wilayah Kutai Barat. Jadi bukan migrasi dari wilayah lain. Malah menurut orang Dayak Benuaq, merekalah yang pertama kali menjejakkan kaki di tanah Samarinda sebelum Kerajaan Kutai resmi berdiri pada abad 4 Masehi.

Menurut legenda Ningkah Olo, ada daerah bernama Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling).  Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang. Orang Dayak Benuaq ada di situ lalu akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benanga.

Orang Dayak Benuaq juga punya hubungan kekerabatan dengan orang Paser. Karena itu orang Benuaq di Kecamatan Bongan, Kubar berbahasa Benuaq dialek Paser Bawo.

Banyak kesenian Dayak Benuaq yang populer. Di antaranya tarian gantar dan tari pengobatan belian. Ada juga upacara Kwangkai. Selain itu, suku Dayak Benuaq terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Mirip ulos-nya orang Batak. Ulap doyo yang juga dikembangkan sebagai hiasan dinding dan taplak meja dibuat dari daun doyo yang banyak tumbuh di Danau Jempang.

Orang Benuaq banyak yang berkarier tinggi dan punya prestasi. Selain Pak Yapan dan Bu Rina, sebelumnya ada Drs Yurnalis Ngayoh (gubernur Kaltim 2006-2008), sastrawan Korrie Layun Rampan, Bupati Kubar pertama Ir Rama A Asia, Prof Laurentius Dyson (guru besar antropologi Universitas Airlangga Surabaya), dan Prof Paulus Matius (guru besar Fakultas Kehutanan Unmul Samarinda).

Begitu juga Petrus Asuy (pejuang hutan adat yang menerima penghargaaan Equator Prize dari UNDP) dan Dahrani (Empu Gelow), yang dikenal sebagai seniman pengukir patung Belontang, pengrajin mandau dan penggagas Parade 1.000 Mandau di Samarinda.

Di Balikpapan, saya akrab dengan Ketua Persekutuan Adat Dayak (PDKT) Lampang Bilung. Dia juga hadir dalam acara  muat ori. Lampang dikenal aktif menjaga dan mengembangkan kesenian etnis Dayak. Sering tampil di depan tamu-tamu resmi. Sepertinya Balikpapan juga perlu dibangun Lamin Budaya. Karena di sini awalnya juga ada suku Dayak Paser atau Paser Balik.(*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti