spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Krisis Calon Perempuan di Pilkada Kaltim 2024

DALAM demokrasi yang sehat, partisipasi semua kelompok masyarakat dalam proses politik adalah esensial. Namun, di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kalimantan Timur (Kaltim) 2024, kita dihadapkan pada kenyataan yang mengecewakan: krisis calon perempuan. Krisis ini bukan sekadar isu representasi, melainkan mencerminkan masalah yang lebih mendalam tentang kesetaraan gender dan keadilan sosial di Indonesia. Sejauh ini, beberapa calon laki-laki yang telah diisukan akan maju dalam Pilkada Kaltim 2024 termasuk: Isran Noor, Hadi Mulyadi, Safaruddin, dan Awang Faroek Ishak

Sejalan dengan minimnya partisipasi perempuan dalam politik, hingga saat ini jumlah calon perempuan yang diisukan ikut berkontestasi dalam Pilkada Kaltim 2024 sangat minim bahkan tidak ada. Ini adalah tren yang terus berlanjut dari Pilkada-Pilkada sebelumnya, di mana perempuan sering kali terpinggirkan dari posisi kepemimpinan politik untuk daerah sebesar Kalimantan Timur. Alasan utama di balik rendahnya partisipasi ini bervariasi, mulai dari stigma sosial, kurangnya dukungan partai politik, hingga hambatan finansial dan logistik

Di banyak daerah di Indonesia, termasuk Kaltim, budaya patriarki masih sangat kuat. Perempuan sering kali dianggap tidak cocok untuk posisi kepemimpinan. Budaya ini juga memperkuat stigma bahwa politik adalah dunia laki-laki, sehingga perempuan merasa enggan atau tidak percaya diri untuk terjun ke dalamnya. Padahal partai politik memiliki peran krusial dalam mencalonkan dan mendukung kandidat perempuan. Sayangnya, banyak partai masih belum memberikan dukungan yang memadai.

Struktur partai yang didominasi laki-laki sering kali mengabaikan potensi kandidat perempuan atau tidak memberikan mereka kesempatan yang sama untuk maju. Selain itu, proses seleksi internal yang cenderung tidak transparan juga sering menjadi hambatan tambahan bagi calon perempuan.

Hal tersebut diperparah dengan biaya kampanye politik yang tinggi menjadi salah satu hambatan utama bagi perempuan untuk maju sebagai calon. Banyak perempuan yang tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber daya finansial dibandingkan laki-laki, yang membuat mereka sulit untuk membiayai kampanye mereka sendiri.

BACA JUGA :  Efek Elektoral Dukungan Demokrat Terhadap Prabowo

Secara legal, partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia didukung oleh berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengamanatkan bahwa partai politik harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam kepengurusan tingkat pusat. Selain itu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum juga menyebutkan bahwa daftar calon legislatif harus memuat sekurang-kurangnya 30persen keterwakilan perempuan. Namun, meskipun aturan ini ada, implementasinya masih sering menemui kendala. Banyak partai politik yang sekadar memenuhi kuota secara administratif tanpa benar-benar memberikan dukungan yang berarti bagi calon perempuan.

Dalam konteks politik lokal di Kalimantan Timur, representasi perempuan masih sangat minim, terutama dalam posisi strategis seperti Gubernur. Hingga saat ini, belum pernah ada sosok perempuan yang terpilih sebagai Gubernur di provinsi ini. Namun, di tengah krisis representasi tersebut, ada satu nama yang sebenarnya layak diperhitungkan dan mampu membawa perubahan signifikan: Hetifah Sjaifudian.

Hetifah Sosok Terbaik Untuk Berkontestasi

Hetifah Sjaifudian bukanlah nama baru dalam dunia politik. Saat ini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI, yang menangani bidang pendidikan, kebudayaan, kepemudaan, olahraga, pariwisata, kesenian, ekonomi kreatif dan literasi. Posisi ini menunjukkan kapabilitasnya dalam mengelola berbagai sektor penting yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat.

Selama empat periode berturut-turut, Hetifah terpilih sebagai anggota legislatif dari Kalimantan Timur. Rekam jejak ini tidak hanya menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadapnya, tetapi juga konsistensi dan komitmennya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Kalimantan Timur di tingkat nasional.

Sebagai seorang politisi perempuan dengan segudang prestasi dan pengalaman, masyarakat juga mengenal sosok Hetifah dengan komitmen dan dedikasinya terhadap isu-isu pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan pembangunan daerah baik dari segi pariwisata dan ekonomi kreatif. Popularitas dan rekam jejaknya tentu membuat banyak masyarakat Kaltim percaya dialah yang seharusnya didapuk oleh partai politik sebagai calon gubernur.

BACA JUGA :  Mengetahui Bakat Anak Sejak Dini

Hetifah telah menunjukkan prestasi gemilang selama berkarir di dunia politik. Sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI, ia berperan aktif dalam berbagai program peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu prestasinya adalah mendorong program beasiswa yang lebih inklusif dan memperjuangkan anggaran pendidikan yang lebih besar. Ia juga terlibat dalam pengembangan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman, termasuk integrasi teknologi dalam pembelajaran.

Bahkan di bidang pemberdayaan perempuan, Hetifah telah melakukan berbagai inisiatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi dan politik. Ia aktif dalam berbagai organisasi perempuan dan sering menginisiasi seminar dan workshop yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perempuandan masyarakat Kalimantan Timur. Komitmennya terhadap kesetaraan gender juga terlihat dari berbagai usulan kebijakan yang ia ajukan di parlemen.

Selain itu, Hetifah juga berperan dalam pembangunan daerah, khususnya di Kaltim. Ia telah berhasil mengadvokasi peningkatan infrastruktur di daerah pedalaman dan mendukung program-program yang mempromosikan keberlanjutan lingkungan. Kegigihannya untuk mengangkat kesejahteraan guru dan tenaga pendidikan serta peran aktifnya dalam mendorong pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif di Kaltim juga patut diapresiasi.

Belum Pernah Ada Gubernur Perempuan di Kaltim

Sampai saat ini Kaltim belum pernah memiliki gubernur perempuan. Hal ini mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi perempuan dalam politik lokal. Tidak adanya gubernur perempuan dapat dilihat sebagai bukti bahwa sistem politik kita masih belum sepenuhnya inklusif dan adil bagi semua gender.

BACA JUGA :  Ketika Sungai Telah Membawamu Pulang

Ketiadaan gubernur perempuan di Kaltim juga menunjukkan bahwa partai politik dan masyarakat masih harus bekerja keras untuk mendobrak hambatan-hambatan yang ada. Partai politik harus lebih berani dalam mencalonkan perempuan untuk posisi strategis dan memberikan mereka dukungan penuh. Di sisi lain, masyarakat juga perlu lebih terbuka dan mendukung calon-calon perempuan yang memiliki kapasitas dan integritas.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak. Pertama, partai politik harus lebih proaktif dalam merekrut dan mendukung calon perempuan. Penting juga untuk mengubah persepsi publik tentang peran perempuan dalam politik. Media massa, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil dapat berperan besar dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam politik. Dengan begitu, diharapkan akan tumbuh kesadaran kolektif bahwa perempuan memiliki kapasitas dan hak yang sama untuk memimpin.

Mendukung tokoh seperti Hetifah Sjaifudian bukan hanya tentang mendorong sosok calon perempuan, tetapi tentang memberikan kesempatan kepada individu yang telah terbukti mampu dan memiliki visi yang jelas untuk kemajuan daerah. Dengan rekam jejaknya yang mengesankan, Hetifah bisa menjadi pemimpin yang membawa perubahan positif bagi Kaltim dan menjadi inspirasi bagi perempuan lain di seluruh Indonesia.

Akhirnya, krisis calon perempuan di Pilkada Kaltim 2024 adalah refleksi dari tantangan yang lebih luas dalam mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Namun, dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, perubahan positif bisa diwujudkan. Perempuan bukan hanya pelengkap dalam politik, tetapi mereka adalah kekuatan penting yang harus diakui dan didukung sepenuhnya. Dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, kita tidak hanya memperkuat demokrasi, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan mencerminkan kebutuhan seluruh masyarakat. (*)

Penulis :
Muh. Alfian, MPA
Peneliti Politik dan Kebijakan Publik UGM

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img