BALIKPAPAN – Aksi unjuk rasa memprotes pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di Balikpapan berbuntut panjang. Seorang mahasiswa yang ikut demo tersebut ditetapkan tersangka oleh kepolisian menggunakan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Kepala Kepolisian Resor Kota Balikpapan, Komisaris Besar Polisi Turmudi, membenarkan bahwa pihaknya telah menjadikan seorang pendemo PPKM sebagai tersangka. Tersangka, sebut dia, dijerat pasal berlapis. Yakni Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan atau Pasal 93 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan atau Pasal 212, 216, dan 218 KUHP. Namun dia belum mau berbicara banyak soal kasus ini.
“Benar, satu orang kami jadikan tersangka tapi tidak ditahan karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun,” kata Turmudi kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Sabtu (24/7/ 2021).
Sebelumnya, Kombespol Turmudi menerangkan, kepolisian telah mengamankan dan memeriksa 17 orang yang terlibat demo PPKM di Balikpapan pada Kamis (22/7/2021). Selain diperiksa, ke-17 demonstran itu juga dites Covid-19 menggunakan rapid antigen. “Hasil tesnya negatif semua,” beber Turmudi pada Jumat (23/7/2021).
Turmudi mengancam mempidanakan para pendemo tersebut menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan. Alasannya, para pendemo dituding melanggar protokol kesehatan (prokes). “Ya, kemungkinan akan ada yang dijadikan tersangka karena mengundang kerumunan. Itu sudah melanggar prokes dan UU Kekarantinaan,” ucapnya.
Informasi yang berhasil dihimpun, 16 dari 17 pendemo sudah dibebaskan polisi. Polisi hanya memanggil orangtuanya dan meminta kepada 16 pendemo tersebut membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Adapun pendemo yang dijadikan tersangka adalah SH, mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Minyak dan Gas Bumi, Balikpapan. Saat demo, SH bertindak sebagai koordinator lapangan atau korlap. Hal tersebut disampaikan kuasa hukum SH, Rinto.
Advokat dari Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Universitas Balikpapan (LKBH Uniba) itu membenarkan kliennya dituding melanggar prokes saat demo PPKM. Akan tetapi, semua tuduhan yang dialamatkan kepada SH dinilai keliru. Mempidanakan pelanggar prokes, kata Rinto, adalah tindakan berlebihan. Pasalnya, menurut perundang-undangan, sanksi pidana terhadap pelanggar prokes hanya bersifat ultimum remedium, yang artinya pidana adalah upaya terakhir.
Kemudian Pasal 216 dan 218 KUHP, juga dipastikan Rinto tidak benar. Kedua pasal tersebut mengatur soal massa dilarang tidak menghormati perintah petugas kepolisian. Pun dengan pasal 212 KUHP yang mengatur soal melawan aparat. Menurut Rinto, saat unjuk rasa terjadi, aparat lah yang lebih dulu menyerang para demonstran. Dia mengaku punya bukti soal ini. “Kami punya bukti video,” sebutnya.
Atas dasar tersebut, Rinto mendesak kepolisian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan kasus ini. Sebab, kata dia, tuduhan aparat terhadap kliennya sama sekali tidak berdasar. Tindakan mempidanakan SH juga disebut bisa menimbulkan kemarahan publik.
“Ini sudah mencederai keadilan. Ini bisa memancing gelombang (demo) mahasiswa yang lebih besar,” pungkasnya.
KRIMINALISASI ATAS NAMA UU KEKARANTINAAN
Pemidanaan SH menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan membuat pengamat hukum asal Samarinda, Herdiansyah Hamzah, berang. Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, itu menilai, pemidanaan tersebut hanyalah akal-akalan aparat. Sebab, sesungguhnya aparat tidak punya dasar memidanakan pelanggar PPKM. Karena PPKM bukan karantina kesehatan.
“Bagi saya, penetapan tersangka menggunakan delik UU Kekarantinaan Kesehatan, adalah bentuk kriminalisasi. Hukum positif tidak mengatur pidana bagi pelanggar PPKM,” kata Castro, panggilan pendek Herdiansyah Hamzah.
Oleh karena itu, atas nama hukum, kata Castro, status tersangka terhadap SH mesti dicabut tanpa syarat. Jika tidak, dia menganjurkan agar pihak SH menggugat kepolisian melalui praperadilan atau malaporkan kasus ini kepada Ombudsman. Karena penetapan tersangka tersebut diyakini sarat mala-administrasi
“Tidak boleh warga negara direnggut kebebasannya tanpa aturan hukum yang jelas. Itu bentuk abuse of power,” jelas Castro.
Fathul Huda Wiyashadi, pengamat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Samarinda, menjelaskan lebih rinci perbedaan PPKM dengan UU Kekarantinaan Kesehatan. PPKM, kata Fathul, bukanlah undang-undang. PPKM hanyalah instruksi pemerintah pusat yang dilanjutkan pemerintah daerah melalui surat edaran atau SE.
“SE ini, sebenarnya, hanya berlaku untuk internal pemda saja, tidak untuk umum. Jadi, SE tidak punya kekuatan hukum. Kecuali, menggunakan perda (peraturan daerah) atau undang-undang,” terang Fathul.
Dengan demikian, Fathul mengimbau agar masyarakat tidak perlu takut untuk menyuarakan aspirasi terkait PPKM meski diancam dengan pidana. Karena sesungguhnya, ancaman tersebut hanyalah omong kosong. “Yang penting, tetap mematuhi prokes saat aksi. Karena itu untuk kesehatan kita,” ujarnya.
Dikonfirmasi mengenai tidak mungkinnya pelanggar PPKM dipidanakan menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, Kombespol Turmudi tidak banyak memberikan tanggapan. Ia hanya minta agar publik menunggu sampai proses hukum kasus ini selesai. “Nanti kita lihat fakta hukumnya, ya. Ini masih proses,” tutup Kapolresta Balikpapan. (kk)