spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kontrasnya Balikpapan-Bontang dan Samarinda, Saat Ibu Kota Kaltim Keteteran Hadapi Perubahan Perilaku Warganya

Keringat yang mengucur deras melunturkan bedak dingin di pipi Karihana, 48 tahun, yang sedang menyapu trotoar di Jalan Jenderal Sudirman, Balikpapan. Petugas kebersihan itu sudah berjalan sejauh 500 meter, sedari Pasar Baru menuju Klandasan. ‘Bersenjata’ pengki dan sapu lidi, Karihana dengan cekatan membuang dedaunan gugur ke tempat pembuang sementara.

Pada Sabtu (23/10/2021), Karihana mengaku, belum mengetahui bahwa Balikpapan –bersama dengan Bontang– baru saja menerima penghargaan ASEAN Environmentally Sustainable City Award 2021. Jika benar adanya, ibu lima anak ini mengaku bangga. Pekerjaannya bisa ikut mengharumkan nama kota.

“Saya mencintai pekerjaan ini. Walaupun kadang dipandang rendah dan sebelah mata, saya bisa membantu banyak orang,” tuturnya kepada reporter kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.

Kota Beriman sudah langganan prestasi dan penghargaan. Adipura hampir selalu mampir, persisnya 18 kali. Balikpapan telah diakui sebagai kota paling dicintai sedunia versi World Wildlife Fund pada 2015. Bandaranya, SAMS Sepinggan, dua kali dinobatkan sebagai yang terbaik di dunia untuk kategori 5-15 juta penumpang per tahun oleh Airport Council International.

Balikpapan juga menyandang kota paling layak huni ketiga di Indonesia menurut penilaian Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia. Sementara yang terbaru, Balikpapan meraih ASEAN Environmentally Sustainable City Award 2021 yang diserahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, kepada Wali Kota Balikpapan, Rahmad Masud.

Wajah yang jauh berbeda terpancar dari Samarinda. Ibu kota provinsi sekaligus tetangga dekat Balikpapan ini seringkali dijadikan perbandingan. Ketika Kota Minyak terus-menerus menerima penghargaan tingkat dunia, Kota Tepian kesulitan bahkan untuk “sekadar” menyabet Adipura.

Lahirnya wajah yang bertolak belakang di kota-kota tersebut sebenarnya bisa ditarik jauh ke belakang. Menurut sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, satu di antara penyebabnya adalah sejarah perkembangan kota masing-masing. Balikpapan, Samarinda, termasuk Bontang, adalah tiga kota di pesisir timur Kalimantan. Sebelum menjadi kota definitif, ketiganya bukan terra incognita atau lahan kosong tak berpenghuni. Penduduknya ada, tapi relatif sedikit. Pada linimasa yang berlainan, ketiga kota berkembang sampai memiliki sistem birokrasi, fasilitas umum, serta kegiatan ekonomi skala luas.

BACA JUGA :  Besok, Perumda Tirta Manuntung Balikpapan Mulai Turunkan Kapasitas Produksi Air

TERBENTUKNYA PENDUDUK PERKOTAAN

Samarinda lebih dahulu menjadi kota bandar pelabuhan Kesultanan Kutai Kertanegara pada tiga perempat abad ke-18. Sebagai kota niaga, masyarakat Samarinda terbentuk dari komunitas pedagang etnik Banjar, Bugis, dan Tionghoa. Kedatangan Belanda pada pertengahan abad ke-19 menjadikan kota ini lebih terencana.

Lagi pula, pada 1896, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Samarinda sebagai vierkante paal alias kota sepirkan (dua kilometer persegi). Samarinda menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda di Borneo Timur. Etnis Jawa juga datang sebagai tenaga kerja pertambangan yang dibangun Belanda. Populasi penduduk Samarinda pada 1930 berkisar 11 ribu jiwa.

Bisnis perkayuan dan industri kayu lapis yang meledak pada Orde Baru berdampak besar bagi Samarinda. Penduduk kota bertambah luar biasa. Jika pada 1970 dihuni 121 ribu jiwa, sepuluh tahun kemudian, populasi Samarinda menjadi hampir 264 ribu jiwa. Baik pedagang maupun buruh perusahaan kayu ini tidak terlalu mementingkan latar pendidikan.

“Karena industri kayu lapis lebih memerlukan tenaga kerja lapangan nonskill,” jelas Sarip, Senin (25/10/2021).

Sementara itu, Balikpapan yang berstatus kampung berubah menjadi kota modern seiring penemuan sumber minyak pada pengujung abad ke-19. Masyarakat Balikpapan pun terbentuk dari kalangan pekerja industri perminyakan. Kebanyakan berasal dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Perkembangan Balikpapan ini mirip dengan Bontang. Sebermula dari kecamatan, Bontang menjadi kota industri gas bumi dan pupuk. Masyarakat yang mewarnai karakter kota ini, umumnya, dari kalangan berpendidikan yang relatif tinggi.

Dalam perjalanannya, wajah Balikpapan, Samarinda, termasuk Bontang, begitu kontras dalam 30 tahun belakangan. Balikpapan dan Bontang secara fisik menjadi kota yang relatif bagus dari aspek lingkungan. Samarinda, kata Sarip, meraih penghargaan regional saja sukar apalagi Adipura.

Sarip menyodorkan hipotesis penyebab perbedaan orientasi awal pembangunan kota. Menurutnya, Balikpapan dan Bontang dari awal dibangun oleh eksistensi pusat industri strategis skala nasional atau internasional. Masyarakat yang terbentuk umumnya kaum terpelajar. Kaum ini terpola sebagai komunitas yang tertib. Tata ruang kota juga lebih teratur.

BACA JUGA :  Libatkan 11 Agen, Operasi Pasar Elpiji 3 Kg Salurkan Lebih dari 7.000 Tabung

“Berbeda dengan Samarinda yang dibangun dari tempat bertemu dan interaksi para pedagang lintas pulau dan lintas pedalaman,” ulasnya.

Kota seperti ini cenderung kurang teratur. Komoditas alam dari pedalaman terkumpul di area sekitar pelabuhan. Barang-barang dari luar pulau tertumpuk juga di situ. Pemukiman dan fasilitas publik akhirnya terpusat di kawasan dekat dermaga.

Ledakan populasi di Samarinda pada era perkayuan turut melahirkan kawasan pemukiman yang bebas dengan regulasi minim. Sehabis era kejayaan kayu, kata Sarip, bumi Samarinda kembali digali untuk pertambangan batu bara. Aktivitas kupas bumi ini, yang legal maupun ilegal, ditengarai makin membuat runyam lingkungan kota.

“Perbedaan orientasi kota dagang dan kota industri strategis inilah yang boleh jadi membedakan kontrasnya wajah Samarinda dengan Balikpapan dan Bontang. Boleh setuju, boleh tidak,” jelasnya.

Menurutnya, karakter dan problematik Samarinda mirip dengan Banjarmasin. Kedua kota ini sama-sama kota bandar sejak masa Kesultanan Banjar dan Kutai. Sama-sama menjadi ibu kota provinsi pula. Yang berbeda adalah Pemprov Kalsel menyiasatinya dengan mendirikan kota baru sebagai kawasan pemerintahan. Kota Banjarbaru di tenggara Banjarmasin diresmikan pada 1999 dengan perencanaan pembangunan yang teratur. Sekarang pun, kantor gubernur dan bandara juga di Banjarbaru.

TERBENTUKNYA KARAKTER YANG BERBEDA

Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, membenarkan bahwa sejarah perkembangan kota memengaruhi kualitas penduduk. Balikpapan, kata dia, dibangun Belanda dengan master plan yang baik. Pola perencanaan tersebut tetap dipertahankan hingga sekarang. Tata ruangnya jelas dan dipatuhi dalam setiap pengembangan kota.

“Memang kualitas penduduk, terutama tingkat pendidikan, berpengaruh terhadap kedisiplinan. Itu modal penting Balikpapan dan Bontang yang berkembang sebagai kota industri,” terang akademikus perempuan bergelar doktor tersebut.

Ditengok dari ilmu sosiologi, Sri Murlianti menyadur hasil penelitian koleganya dari Program Studi Pembangunan Sosial. Ditemukan bahwa pengetahuan kebersihan masyarakat Samarinda hanya berkisar di lingkungan rumah dan halaman. Artinya, wawasan kepedulian terhadap lingkungan masih di seputar lingkungan sendiri dan keluarga. Menurutnya, Samarinda memiliki pekerjaan rumah besar untuk mengubah perilaku penduduk agar memikirkan kenyamanan bersama. Mulai pengelolaan sampah, lalu lintas, budaya mengantre, hingga kesadaran ruang hidup yang adil.

BACA JUGA :  SKK Migas Siap Fasilitasi Pabrikan Lokal Pasok Kebutuhan Industri Hulu Migas

“Saya kira, sampai titik ini, pernyataan bahwa karakter penduduk Samarinda berbeda dengan Samarinda dan Bontang karena alasan historis, benar adanya,” paparnya.

Akan tetapi, Sri Murlianti menilai, perbedaan wajah kota ini bukan sepenuhnya soal kualitas penduduk. Kepemimpinan kota yang mumpuni, perencanaan kota yang bagus, disertai kinerja birokrasi dan aparat yang tegas, adalah faktor penting berikutnya. Ia mengambil beberapa contoh kasus yang sebenarnya bisa dirasakan semua warga kota.

Yang pertama, pengelolaan sampah di Samarinda. Kota Tepian memiliki peraturan daerah sampah. Ancaman hukumannya tak main-main, denda puluhan jutaan rupiah. Dari penelitian mahasiswanya, Sri Murlianti mengatakan, sosialisasi perda ini hanya berupa pemasangan plakat jangan buang sembarangan dengan denda sekian. Faktanya, sampah berserakan di  jalan tanpa ada yang ditindak.

Contoh kedua adalah perbedaan disiplin lalu lintas. Menurut Sri Murlianti, siapapun akan bisa merasakan perbedaan kedisiplinan di jalan antara Samarinda dengan Balikpapan dan Bontang. Contoh-contoh seperti ini masih banyak lagi. Buang sampah di sungai, berjualan di tempat yang tidak pas, mendirikan bangunan seenaknya, termasuk yang jauh lebih serius seperti tambang ilegal di dalam kota. Ketika semuanya dikumpulkan, perbedaan wajah di antara ketiga kota akan terlihat. Pada akhirnya, berujung perbedaan pengakuan di tingkat nasional maupun dunia.

Sri Murlianti menilai, mengubah perilaku yang sudah membudaya tidak bisa instan dan harus sangat terencana. Ia menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki kajian di bidang pemberdayaan atau pembangunan masyarakat. Sosialisasi selama ini masih dianggap standar untuk Samarinda. Pengorganisasian yang terencana dan melibatkan ahli-ahli pembangunan, masyarakat, dan mahasiswa akan lebih berguna. Di negara-negara maju, terang Sri, program pendampingan warga sampai ke rumah-rumah adalah hal yang lazim.

“Termasuk penegakan aturan yang ketat dan tegas serta layanan dan fasilitas publik yang harus ditingkatkan jika Samarinda ingin berubah ke arah yang baik,” sarannya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img