spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Konflik Internal dan Kasus Hukum Kurangi Elektabilitas

SEMUA partai politik (parpol) sudah siap menghadapi Pemilu 2024. Yang membedakan tinggal tingkat kesiapan mereka, baik secara nasional maupun di daerah. Karena masa pandemi Covid-19, parpol-parpol baru diperkirakan kesulitan melakukan konsolidasi dan bisa jadi belum banyak meraih suara pada Pemilu 2024. Pandangan itu disampaikan akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Sonny Sudiar.

“Prediksi saya parpol baru belum bisa banyak berbicara, baik nasional maupun daerah. Proses rekrutmen (kader, Red.) sebagai tupoksi mereka tidak berjalan maksimal karena variabel pandemi Covid-19. Nantinya parpol baru kemungkinan akan berafiliasi dengan arus besar, dengan partai yang sudah punya raihan suara besar, tergantung kesamaan visi dan lainnya,” jelasnya kepada Media Kaltim, Minggu (16/1/2022)

Terkait survei sejumlah lembaga indipenden yang menyatakan beberapa parpol baru melampaui elektabilitas parpol pendahulunya, Sonny mengatakan salah satu penyebabnya adalah konflik di internal partai. Di antaranya dualisme kepengurusan yang menyebabkan perpecahan, seperti yang terjadi pada Partai Amanat Nasional (PAN). Publik memberikan penilaian yang linier dengan konflik mereka sehingga berpengaruh pada elektabilitas.

Meski demikian, ia menilai parpol yang ditinggalkan kadernya dan membentuk parpol baru, semestinya tak akan mengalami kendala besar dalam perolehan elektoral mereka. Menurutnya, parpol yang profesional tidak hanya bergantung pada figur. “Partai yang ditinggal kadernya tidak semudah itu hancur. Mereka punya perangkat yang sudah ada sehingga tidak besar pengaruhnya. Persentase yang pindah juga tidak banyak,” ucapnya.

Secara nasional, elektabilitas PDIP jauh di atas Gerindra dan Golkar. Menurut Sonny, hal itu buah dari pengaruh figur yang menduduki jabatan publik. Mulai presiden hingga kepala daerah. Banyak kebijakan yang menyentuh masyarakat dan membentuk opini publik. “Misalnya, banyak kadernya menjadi kepala daerah, mau tidak mau PDIP yang menjadi tempat figur itu bernaung, mendapat free ride (menumpang, Red.) pencitraan mereka,” terangnya.

Di Kaltim, Golkar mendominasi di legislatif. Menurutnya karena Golkar sudah “mengakar” di Bumi Etam. Secara historis, publik Kaltim tidak bisa dipisahkan dengan sepak terjang Golkar. Golkar juga dinilai memiliki platform dan mekanisme yang baik, siapapun kader partai ini bisa melahirkan figur yang berkiprah di Kaltim, khususnya pada legislatif. “Dengan begitu mereka (Golkar, Red.) banyak mengendalikan program pembangunan,” terangnya.

Meski demikian, ia menilai saat partai berlambang pohon beringin ini dalam posisi rawan di Kaltim. Mengingat terjadinya kisruh di internal mereka yang mengakibatkan terbentuknya faksi-faksi. Bila tak kunjung “islah” dominasi Golkar di Kaltim bisa saja diambil alih pesaingnya. Kisruh yang dimaksud Sonny adalah pelengseran politisi Golkar Makmur HAPK sebagai ketua DPRD Kaltim.

Sonny juga menyinggung elektabilitas Partai Demokrat yang cukup baik, meski terjadi konflik internal. Peran Agus Harimurti Yudhoyono sebagai sosok muda dan kharismatik menjadi faktor penyebabnya. Hanya saja di Kaltim, elektabilitas Demokrat berpotensi menurun. Terutama imbas kasus korupsi yang menjerat bakal calon Ketua DPD Demokrat Kaltim Abdul Gafur Mas’ud. “Publik mungkin jadi berpikir ulang untuk memilih yang muda,” ujarnya.(eky)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti