spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Konflik dan ‘Perceraian’ SMA 10 Samarinda, Siswa-Guru Menolak Dipindah, Isran Tetap Dukung Yayasan 

Orasi orangtua siswa masih terdengar berapi-api ketika Ahmad Ihwan (15), berdiri di halaman Kampus A, SMA 10 Samarinda. Bersama teman-teman sekelasnya, siswa Kelas X IPA itu ikut dalam demonstrasi menolak instruksi Gubernur Kaltim Isran Noor. Ihwan tidak setuju jika SMA 10 dipindah ke Jalan Perjuangan, Samarinda Utara, lokasi Kampus B.

Ihwan bersama ratusan siswa, orangtua, dan wali murid mendatangi kampus di Jalan HAMM Rifaddin, Samarinda Seberang, Senin (20/9/2021). Mereka menamakan diri Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan (AMMP) Kaltim. Kelompok ini sempat mencabut atribut Yayasan Melati di depan sekolah dalam unjuk rasa.

Koordinator Lapangan, Muhammad Ali menjelaskan, aksi ini dipicu tindakan oknum yayasan sepekan sebelumnya. Guru-guru SMA 10 diminta meninggalkan area Kampus A menuju Kampus B. Padahal, dalam anggapan AMMP, pemindahan sekolah masih bermasalah.

“Ini menyangkut 700 siswa yang mau dipindah. Bagaimana bisa, anak saya baru masuk langsung disuruh pindah? Pemerintah harus membatalkan niatnya,” ucap Ali. Pemindahan tersebut memang menimbulkan masalah lain. Siswa baru SMA 10 yang tahun ini diterima berdasarkan sistem zonasi. Mereka tinggal tak jauh dari sekolah. Jika dipindah ke Kampus B, para siswa berarti harus bersekolah sejauh 17 kilometer menyeberangi Sungai Mahakam.

Lagi pula, tambah Ketua AMMP, Sukarian, kondisi Kampus B di Jalan Perjuangan tidak memadai. Daya tampung kelas hanya 400 siswa dengan dua kelas tersisa. Padahal, total satu angkatan di Kampus A terdiri dari 12 kelas dengan 750 siswa.

“Bayangkan jika dipindah. Apakah kapasitasnya cukup? Lokasinya curam, musala tidak ada. Semua faktor menunjukkan (Kampus B) tidak layak dijadikan lokasi aktivitas pendidikan,” terangnya kepada kaltimkece.id, jaringan mediakaltim.com.

Kedua, sambung Sukarian, berdasarkan amar putusan Mahkamah Agung Nomor 64 K.TUN/2016 tentang Keputusan PTUN Samarinda, mengesahkan Keputusan Gubernur Kaltim Nomor 180/K.745/2014. Status lahan Kampus A disebut sudah jelas milik Pemprov Kaltim. Memang pernah ada informasi bahwa gedung-gedungnya milik yayasan yang dikerjasamakan melalui skema pinjam lahan. Akan tetapi, Sukarian menegaskan, Gubernur Awang Faroek Ishak sudah memutus hubungan itu pada 2014.

“Termasuk pencabutan skema kerja sama dan pendanaan. Hal ini dibenarkan putusan MA. Jadi, seharusnya mereka (yayasan) yang pindah, bukan kami,” ucapnya. Pemindahan ini juga mengacaukan sistem zonasi. Hanya ada dua SMA di kawasan tersebut yaitu SMA 4 dan SMA 17. Adapun SMA 10 merupakan sekolah sentra zona Palaran.

Saat dihubungi, Pelaksana Harian Kepala SMA 10 Samarinda, Mushadi Iksan  mengatakan, siswa dan orangtua murid berdemonstrasi atas inisiatif masing-masing. Berdasarkan instruksi Kepala Dinas Pendidikan Kaltim, Iksan menjelaskan, sekolah diminta belajar-mengajar secara daring. Kemudian, secara administratif, SMA 10 memindahkan pelayanannya di Kampus B. Iksan mengaku, baru sebulan menjabat sebagai plh kepala sekolah. Dia tidak mengetahui duduk perkara konflik ini. Akan tetapi, lewat dialog person to person, Iksan mengklaim, guru-guru SMA 10 tidak menolak pemindahan sekolah.

Ketua Yayasan Melati Kaltim, Murjani, mengklaim bahwa demonstrasi pada Senin pagi menyebabkan hampir semua atribut yayasan hilang. Kursi-kursi di ruang tamu rusak ditendang demonstran. Murjani mengecam pengerusakan dan menyatakan membawa persoalan ini ke pihak berwenang. Pria berpeci tersebut sedang melaporkan AMMP kepada kepolisian.

Kepala Kepolisian Sektor Kota Samarinda Seberang, Komisaris Polisi Made Anwara mengatakan, tidak menahan pelajar maupun orangtua siswa. Kapolsek berharap, persoalan bisa diselesaikan secara musyawarah dan dalam koridor aturan.

Yayasan Melati didirikan 9 tokoh Kaltim pada 1994. Mereka adalah Prof Ir Rahmad Hernadi selaku dekan Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman; Drs Nukthah Afawie Kurde sebagai dekan Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Samarinda; Drs Awang Adriani selaku kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; KH Sabranity  yang menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia Kaltim, Drs Djafar Ahmad sebagai Kepala Bappeda Kaltim; H Saleh Nafsi sebagai sekretaris Wilayah Provinsi Kaltim), Prof Dr H Mohammad Yunus Rasyid selaku Rektor Universitas Mulawarman; Kolonel Hartadi Pram yang duduk sebagai ketua DPRD Kaltim, dan H Mohammad Ardans yang waktu itu Gubernur Kaltim. Ardans pula yang menjadi kepala yayasan pertama (Teguh Hati di Kampus Melati: Sebuah Edugrafi Perjuangan Tokoh Kaltim Mendirikan SMA Unggul, 2015, hlm, 29).

Sembilan tokoh ini melihat perlunya sebuah lembaga pendidikan yang kelak menghasilkan lulusan yang memajukan daerah. Mereka lantas menginisasi konsep sekolah unggulan pertama di Kaltim. Pendiriannya lewat kerja sama Yayasan Melati dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I. Model kerja sama “perkawinan” swasta dan pemerintah ini dibantu dana kas pemerintah daerah baik APBN maupun APBD.

Dalam Pasal 4 Perjanjian Kerja Sama, yayasan disebut bertanggung jawab dalam memberikan beasiswa, penelusuran lulusan, membangun dan mengelola asrama, membangun dan menyediakan sarana pendidikan, ikut membantu meningkatkan mutu dan kesejahteraan kependidikan dan peserta didik, serta membangun kegiatan ekstrakurikuler (hlm, 41).

Ketua Yayasan Melati Kaltim, Murjani menjelaskan, pasal tersebut adalah dasar pembagian pengelolaan sekolah. Sektor pendidikan dikelola pemerintah, Murjani melanjutkan, “Sementara biaya operasionalnya mulai listrik hingga air dikelola yayasan.”

Kerja sama juga dinaungi Surat Keputusan Gubernur 341/1994 tentang Penyerahan Hak Pakai/Penggunaan Tanah Milik/Dikuasai Hak Pakai/Penggunaan Tanah Milik Dikuasai Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. Seluas 12 hektare lahan dipinjamkan tanpa batas waktu untuk sarana SMA Unggulan.

“Perkawinan” antara yayasan dengan pemprov telah berusia 20 tahun kemudian berakhir. Pada 2014, Gubernur Awang Faroek Ishak mencabut SK yang mengakhiri kerja sama hak pakai lahan. Menjadi “talak tiga” setelah Mahkamah Agung memperkuat keputusan Gubernur Faroek.

Menurut Murjani, pencabutan ini disebabkan Awang Faroek yang ingin mengajukan SMA 10 Melati sebagai sekolah bertaraf internasional (SBI). Syarat menuju SBI adalah melalui tahapan Rintisan SBI (RSBI). Dalam pengajuannya, RSBI tidak akan memungkinkan bagi SMA 10 Melati jika berstatus swasta. Sekolah bertaraf internasional harus dikelola murni oleh pemerintah.

Klaim berbeda disampaikan Sukarian selaku ketua AMMP. Menurutnya, pencabutan hak pakai oleh Gubernur Faroek disebabkan yayasan tidak komit memenuhi fasilitas siswa. Komite sekolah pun mengajukan “talak”. Dari sinilah, polemik adu klaim lahan dimulai. “Kecuali ada hukum lagi di atas MA, harusnya putusan itu dijalankan. Jika tidak, benturan terus,” terangnya.

Menanggapi hal tersebut, Murjani dari Yayasan Melati membenarkan keputusan MA. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa aset gedung adalah milik yayasan. Sejumlah berkas telah membuktikannya. “Itu lengkap semua. Kepemilikan tanah, ‘kan beda dengan keterangan kepemilikan gedung. Kalau tidak tahu masalah sebenarnya, konfirmasi saja ke yayasan. Data dan fakta, kami punya, kok,” bebernya.

“Perceraian” pemprov dengan Yayasan Melati menyebabkan konflik pada 2016. Alumnus SMA Negeri 10 Samarinda, Alfin Huda, mengingatnya dengan jelas pada 2016. Ratusan siswa SMA 10 waktu itu berdemonstrasi di Kampus A dan Kampus B.  “Kami turun hampir semua angkatan. Bawa banner dan lain-lain untuk membela kampus. Penyebabnya karena anak Kampus A tidak bisa memakai kelas-kelas di sana,” terang siswa angkatan 2014 tersebut.

GUBERNUR ISRAN BERSIKUKUH
Belum selesai konflik itu, Gubernur Isran Noor mengeluarkan instruksi tepat tujuh tahun setelah perceraian tadi. Isran memutuskan memindahkan SMA 10 ke Kampus B di Jalan Perjuangan. “Pindah, tetap pindah. Itu kebijakan, ya. Karena (statusnya) sudah lama bermasalah,” tegas Isran ketika ditemui kaltimkece.id di depan ruang kerjanya, Senin, 20 September 2021.

Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Ya’qub, melihat bahwa konflik kedua pihak sudah tidak lagi berbicara klaim lahan. Persoalan status kepemilikan tidak bisa dipersoalkan karena milik Pemprov Kaltim. Sementara untuk status gedung, meskipun diklaim hibah, bersifat tidak jelas dan bisa diperdebatkan.“Bukti autentik itu tidak ditemukan. Kalau mau berdebat soal itu, tidak ada ujungnya,” kata Rusman.

Politikus PPP ini melihat, sesungguhnya terdapat dua pertimbangan yang lebih penting dan seharusnya dipikirkan. Pertama, jaminan kesiapan fasilitas dan kapasitas Kampus B. Kedua, ketersediaan kuota SMA negeri di Kecamatan Samarinda Sebrang, Loa Janan Ilir, serta Palaran. Dengan begitu, ketika SMA 10 dipindah, masyarakat tidak kehilangan kuota.“Persoalannya bukan status gedung dan lahan. Ini soal kebutuhan masyarakat,” tegasnya.

Kepala Dinas Pendidikan Kaltim, Anwar Sanusi, mengatakan bahwa ia semata-mata menjalankan instruksi Gubernur Kaltim. “Masalah gedung ini, gedung itu, urusannya (bagian) aset. Bukan saya. Kami hanya menjalankan instruksi Pak Gub (gubernur),” ucapnya dihubungi via telepon.

Mengenai kebijakan penerimaan siswa baru pada Juli 2021 yang dipersoalkan orangtua siswa, Anwar menyatakan, sudah sesuai prosedur. Penerimaan berdasarkan zonasi sebelum terbitnya instruksi pemindahan dari gubernur. Disdik Kaltim telah mengadakan sosialisasi dan berupaya persuasif kepada guru SMA 10 dalam pemindahan ini.

“Saya memberitahu pelan-pelan kemudian menyurati guru-guru yang masih menolak. Nah, kalau orangtua siswa tetap tidak mau, ya, tanya ke yang lebih tinggi dari saya seperti sekda atau pak asisten,” terangnya. Anwar mengaku, belum menerima penjelasan mengenai alasan gubernur menginstruksikan pemindahan tersebut. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti