spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kisah Sedih Warga HBS yang 43 Tahun Lalu Digusur Demi Tepian Mahakam Tanpa Ganti Rugi, Kini Kesal Lihat PKL

SAMARINDA – Suara isak tangis para tetangga yang menyayat hati masih terekam jelas di dalam kepala Riduan Hoesin. Ia masih berusia 15 tahun dan duduk di kelas tiga SMP 1 Samarinda ketika rumahnya yang berukuran 400 meter persegi dan bergaya Eropa, akhirnya dibongkar. Di antara tangisan para jiran, Riduan dan keluarga besarnya mengangkut barang-barang.

Pada September 1978 itu, atau 43 tahun lampau, Riduan dan keluarga meninggalkan kediaman yang dihuni turun-temurun di kawasan Tepian Mahakam. Dulunya, permukiman ini bernama Kampoeng HBS, kependekan dari Handel Maatshappij Borneo Samarinda. Rumah Riduan Hoesin berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan Kantor Cabang BRI Samarinda, sekarang Jalan Gajah Mada, Kelurahan Pasar Pagi.

Saya masih ingat benar rumah itu. Bentuknya menjorok ke belakang hingga tepi Sungai Mahakam. Ada tiga kamar, sementara di belakang ada batang untuk tempat mandi dan mencuci,” tutur Riduan Hoesin, kini 58 tahun, kepada reporter kaltimkece.id, Senin, 28 Juni 2021. Laki-laki yang mulai sepuh ini adalah sosok yang mengetahui betul perjalanan relokasi Kampung HBS hingga sekarang menjadi Tepian Mahakam.

Cikal-bakal Kampung HBS adalah sembilan rumah para saudagar. Pemukiman awal adalah dari tusuk sate Jalan Veteran di Pasar Pagi hingga tepi sungai Bank Rakyat (kini BRI). Semua saudagar ini masih memiliki ikatan keluarga. Satu di antaranya adalah Haji Anwar Barack, pengusaha damar, rotan, dan hasil hutan yang lain. Seiring waktu, Kampung HBS meluas. Permukiman tumbuh sedari kawasan Selili hingga Jembatan Mahakam. Panjang permukiman itu, menurut Google Maps, adalah 9,8 kilometer.

Wacana pembongkaran seluruh Kampung HBS dimulai pada 1968. Samarinda waktu itu dipimpin wali kota ternama, Kadrie Oening. Wali Kota Samarinda dari warga sipil pertama yang dilantik pada 8 November 1967 dan menjabat dua periode atau 13 tahun. Rencana pembongkaran pemukiman di bantaran sungai ini mencuat karena keinginan pemerintah pusat. Sungai Mahakam akan direklamasi dengan cara penurapan. Kawasan ini, sebagaimana surat yang ditandatangani Kadrie Oening dan dikirimkan kepada orangtua Riduan Hoesin, juga direncanakan sebagai daerah hijau.

“Sebagian besar warga menolak wacana itu. Pemkot tidak memberi ganti rugi waktu itu. Beliau (almarhum Kadrie Oening) cuma main tunjuk-tunjuk. Sementara warga, ingin mempertahankan rumah pribadi,” kenang Riduan Hoesin seraya mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Dua tahun setelah wacana pembongkaran, Wali Kota Daerah Tingkat II Samarinda mengeluarkan surat keputusan pada 1 Juni 1970. Surat beromor 33/SK-TH/1970 itu berisi larangan membangun di sepanjang tepi Sei Mahakam. Sejak itulah, rencana pembongkaran Kampung HBS terus disosialisasikan. Sebagian warga yang menolak bukannya diam. Beberapa kali rumah hendak dieksekusi, warga Kampung HBS melawan. Mereka menggunakan benda-benda tajam untuk mempertahankan kediaman.

Pemerintah bersikukuh membongkar permukiman HBS. Yang paling awal adalah empat bangunan, termasuk rumah Riduan Hoesin. Empat rumah ini diberi tenggat untuk dibongkar pada 1 Juli hingga 11 September 1978. Keluarga Riduan Hoesin  mengantisipasi pembongkaran tersebut. Mereka membangun kediaman di Jalan Antasari, Gang Nusa Indah.

“Akhirnya pada 1978, kami pindah dengan berat hati. Saya masih ingat waktu mengangkat barang. Keluarga dan tetangga menangis semua,” kenang lelaki yang lahir RSUD Samarinda di Jalan Gurami, kini Rumah Sakit Islam, tersebut.

Semasa Wali Kota Anang Hasyim yang menggantikan Kadrie Oening pada 1980, Pemerintah Daerah Kota Madya Samarinda akhirnya mengganti rumah penduduk Kampung HBS. Warga yang dulu tinggal di Selili dipindah ke Jalan Proklamasi. Sementara itu, Kampung HBS hingga bawah Jembatan Mahakam dipindah ke Perumahan Griya Tepian Lestari (Karpotek) di Jalan Untung Suropati.

“Karena ingin Samarinda bagus, kami mengalah,” kata Riduan Hoesin seraya membetulkan letak kopiahnya. Kampung HBS akhirnya lenyap, berganti kawasan Tepian Mahakam dengan janji dijadikan kawasan hijau.

Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut Riduan ketika disinggung kondisi Tepian Mahakam sekarang. PKL berjualan di banyak titik di kawasan tersebut. Kondisi itu sudah berlangsung sejak awal 2000-an. Riduan hanya bilang, Tepian Mahakam tidak seperti cita-cita Samarinda terdahulu.

“Mewakili masyarakat Samarinda yang sejak awal, sejak lahir, hidup di Kampung HBS, saya merasa sakit hati. Kenapa? Karena pemerintah tidak memikirkan perasaan dan perjuangan kami ketika mempertahankan kampung itu dulu. Setelah kami sukarela membongkar rumah, kawasan tersebut malah diperuntukkan lain,” tutur ayah tiga anak tersebut.

Alumnus Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ini bercerita, warga eks Kampung HBS pernah menyomasi Pemkot Samarinda. Pada waktu itu, katanya, pemkot berencana membangun kios-kios dagang dan rumah makan di Tepian Mahakam, tepatnya di depan Pasar Pagi. Rencana itu akhirnya dibatalkan.

“Memang benar, kami sudah tidak ada hak lagi atas tanah itu. Sudah hak pemerintah. Akan tetapi, kami merasa jika lahan itu diperuntukkan untuk bisnis atau segala macam, ya, kami merasa dinodai. Kalau memang itu diperuntukkan sebagai jalur hijau, ya, sesuaikan. Itu saja permintaan kami, enggak muluk-muluk,” katanya.

Di tempat terpisah, Wakil Wali Kota Samarinda, Rusmadi Wongso, mengatakan bahwa setelah ia dan wali kota Andi Harun dilantik, PKL di sepanjang Tepian Mahakam memang sudah ada. Waktu itu, kawasan tersebut terlihat kumuh. Aktivitas PKL juga sering menyebabkan kemacetan jalan.

“Itu berarti, Tepian Mahakam tidak memberikan manfaat sesuai dengan fungsinya. Warga tidak bisa menikmati taman dan fungsi lingkungan juga berkurang,” jelas Rusmadi.

Menurut mantan sekretaris provinsi Kaltim ini, situasi awal tadi menyebabkan pemkot harus berhati-hati mengambil kebijakan. “Situasinya sudah seperti itu, sudah terjadi sejak lama. Apa mau dihabisi?” katanya.

Rusmadi menambahkan, kondisi Covid-19 turut menjadi pertimbangan pemerintah. “Kami ingin memuliakan pedagang dengan cara menatanya. Awalnya ada 130 PKL (di Tepian Mahakam). Setelah ditata, nanti tinggal 27 PKL,” jelasnya.

Pemkot Samarinda berpendapat, fungsi utama Tepian Mahakam adalah ruang terbuka publik yang sekaligus memiliki fungsi lingkungan. Sebagai ruang terbuka publik, ruang ekonomi terbuka. Di sinilah masyarakat pengusaha kecil berperan.

“Rasanya, di dunia ini tidak ada ruang terbuka hijau tanpa ruang ekonomi. Misalnya orang bersantai di ruang publik, pasti ada yang berjualan minuman, kue kecil, dan lainnya. Di Eropa, Malaysia, Singapura, hingga Thailand, tidak ada tepian sungai tanpa ruang ekonomi,” tegas Rusmadi. Ia menekankan, yang terpenting adalah fungsi ruang terbuka hijau harus dijalankan. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img